Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 30 August 2023

Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 3)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 3)

Sejauh yang bisa kita lihat dan rasakan, Habib Umar adalah teladan, seorang guru Alim atau sufi. Dan seorang sufi bukanlah sekadar orang yang menguasai teori-teori tasawuf, apalagi sekadar sarjana ilmu tasawuf.

Penguasan teori-teori tasawuf bukanlah tidak penting, tapi ia hanya bermanfaat jika menjadi landasan bagi pencapaian tujuan akhir bertasawuf. Yakni, kepemilikan hati yang bersih, yang terwujud dalam kepemilikan akhlak mulia.

Maka sampailah kita kepada penjernihan makna akhlak mulia. Akhlak mulia jelaslah tidak identik dengan adab, dalam makna etiket, atau sekadar sopan santun dalam pergaulan – meski hal ini juga bukannya tidak punya nilai.

Orang bisa sopan santun di luaran tapi hatinya dipenuhi nafsu; Nafsu berkuasa, nafsu dihormati, nafsu mengumpulkan harta-benda, nafsu syahwat badan, nafsu dianggap pintar dan baik, dan sebagainya.

Tampak di sini bahwa makna akhlak memang tak bisa dilepaskan dari kebersihan hati – yang tak lain adalah tujuan bertasawuf.  Kadang akhlak dalam pemahaman seperti ini disebut sebagai ‘adalah (keadilan atau kebijaksanaan).

Dan apa wujud akhlak sebagai pengejawantahan kebersihan hati ini?

Hidup sederhana (zuhud), wara’, tawadhu’, perasaan faqir dan serba tergantung pada Allah dalam hal apa pun – bahkan dalam hal pencapaian amal shaleh – persis seperti prinsip-prinsip tasawuf Syaikh Abul Hasan al-Syadzili, yang diadopsi oleh Thariqah ‘Alawiyah. Dan sifat-sifat sufi seperti ini menjadi lebih penting dimiliki oleh penghulu umat dan para guru atau ustadz.

Tentu tidak mudah mencapai maqam spiritual tinggi seperti ini. Maka mu’amalah al-tasawuf, sebagai metode bersuluk, menjadi sangat krusial.

Di sinilah ajaran Imam Ghazali – yang juga menjadi pegangan Thariqah ‘Alawiyah – mengambil peran.

Ajaran Imam Ghazali ini dengan sangat baik – dan tanpa mengurangi kedalaman maknanya – diringkaskan dan dibumikan oleh Habib Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad, lalu diteruskan oleh murid-muridnya – termasuk Habib Abdurrahman bin Abdillah Bilfaqih, penulis al-Rashafat, dan banyak risalah-risalah pendek lainnya. Juga Habib Ahmad bin Zayn al-Habsyi, penulis Syarh ‘Ayniyah dan berbagai risalah lainnya. Sebelum itu ada Imam Abdullah Alaydrus (al-Akbar) yang juga menulis al-Kibrit al-Ahmar. Dan banyak lagi.

Karena itu, saya bayangkan, untuk melahirkan penerus-penerus Habib Umar di berbagai belahan dunia Islam – seharusnya pengajaran tasawuf hingga praktik-praktik bersuluk, melewati penguasaan akan mua’amalah al-tasawuf, menjadi sentral kurikulum pengajaran di berbagai ma’had di Hadhramawt, maupun di Indonesia – yang mengikuti tradisi Thariqah ‘Alawiyah di Hadhramawt itu.

Kita bisa memahami jika Universitas seperti al-Ahgaf ditujukan untuk melahirkan sarjana-sarjana  dan teoretisi-teoretisi di bidang ilmu-ilmu keislaman.

Tapi, ma’had-ma’had atau pesantren-pesantren yang ada seharusnya melahirkan guru-guru yang, selain punya bekal yang kuat di bidang pengetahuan keagamaan, utamanya memiliki kebersihan hati dari berbagai bentuk hawa nafsu, dan akhlak mulia.

Maka, selain belajar ilmu, dan melazimkan membaca awrad (wirid-wirid) – yang tentu amat penting – serta qashidah-qashidah (diwan-diwan) yang penuh pencerahan, semestinya para siswa di ma’had digembleng dengan kegiatan mujahadah meniti jalan-suluk dan maqamat secara praktis.

Dalam hubungan ini, para sufi, termasuk al-‘Aydrus al-Akbar (dalam al-Kibrit al-Ahmar), menyebut sedikitnya empat unsur mujahadah ini – di samping pasangannya yang berbentuk menyelenggara riyadhah  (menjalankan ibadah2 wajib (fara’idh) dan Sunah (nawafil) dengan sebaik-baiknya.

Keempat unsur ini meliputi:

– Zuhud (qillat al-tha’am atau makan sekadarnya), yang secara lebih luas dalam konteks zaman kita bisa dipahami sebagai konsumsi secara minimalis (baik konsumsi makanan atau barang-barang).

– As-Sahar (qillat al-manam atau tidur secukupnya saja).

– Al-shamt (qillat al-kalam atau sedikit berbual)

– ‘Uzlah (i’tizal al-anam atau menghindar dari terlalu banyak bercampur dengan manusia).

Melalui mujahadah dan riyadhah melewati berbagai maqamat (dan hal) yang dilakukan secara terus-menerus tanpa henti ini, diharapkan akan lahir Habib Umar- Habib Umar baru yang akan menjadi cahaya kehidupan umat manusia.

Kalau tidak, jangan sampai yang terjadi adalah, banyaknya ma’had atau pesantren yang lahir dari rahim tradisi Thariqah ‘Alawiyah di Hadhramawt, justru melahirkan banyak ustad yang terperangkap dalam pengejaran maqam sosial (popularitas) – termasuk dengan memamerkan pengikut, benda-benda mewah: rumah, mobil, gaya hidup hedonik; merasa pintar dan baik sendiri, yang merupakan bentuk ‘ujub dan sum’ah; bahkan, sadar atau tidak, menjadikan dakwah dan jamaah mereka sebagai sumber mengumpulkan kekayaan.

Kalau sampai ini yang terjadi, maka harapan kita akan lahirnya banyak orang shalih dan teladan kehidupan keilmuan dan kesufian seperti yang selama ini dibesarkan dalam tradisi Thariqah ‘Alawiyah Hadhramawt – seperti Habib Umar, Habib Abdulqadir bin Ahmad, Habib Ahmad Masyhur al-Haddad, Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, dan banyak guru-sufi lain – hanya akan bertepuk sebelah tangan.

Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi. Atau kalau pun sebagian orang melihat sudah munculnya tanda-tanda ke arah ini, segera bisa diambil langkah-langkah untuk mengoreksi. Karena ini sama sekali bukanlah jiwa ajaran Thariqah ‘Alawiyah yang dikembangkan dalam tradisi Hadhramawt.

Semoga Allah SWT memberikan hidayah, ‘inayah, dan tawfiq-Nya kepada para guru kita di Hadhramawt dan kepada para murid mereka yang kini banyak tersebar di mana-mana… 

(Bersambung)

Sebelumnya:

AL/ Islam Indonesia/ Featured Image: republika.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *