Satu Islam Untuk Semua

Monday, 28 August 2023

Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 2)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 2)

Ada sebagian orang, yang banyak di antaranya juga menghormati Habib Umar, bertanya-tanya: kenapa Habib Umar, dan banyak di antara para ulama ‘Alawiyin lainnya dari Hadhramawt, seperti membatasi dakwah mereka hanya pada masalah ruhani dan ukhrawi belaka, sambil melupakan masalah-masalah duniawi, termasuk masalah pentingnya umat Islam mengejar ilmu-ilmu modern serta menanggulangi keterbelakangan di bidang sains, teknologi, dan ekonomi?

Jawaban terhadap pertanyaan ini sebetulnya bisa dicari pada pemahaman tentang prinsip-prinsip Thariqah ‘Alawiyah.

Kenyataannya, jika kita kejar ke sana, kita memang akan mendapati bahwa Thariqah ‘Alawiyah adalah thariqah yang sepenuhnya bersifat ruhaniyah.

Seperti didefinisikan oleh para tokoh Thariqah ‘Alawiyah, thariqah ini batinnya – yakni hakikat ruhani yang dikejarnya – mengikuti Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili, sedang lahir/metode mencapainya mengikuti Imam Ghazali.

Nah, pertanyaannya, apa hakikat bertasawuf a la Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili yang hendak dikejar dalam Thariqah ‘Alawiyah?

Secara ringkas hal-hal itu dirumuskan sebagai meliputi :

Syiddatul-Iftiqar atau Shidqul Iftiqar (kepemilikan perasaan yang kuat/lurus dalam hati bahwa kita senantiasa merasa sangat butuh/faqir kepada Allah),

Syuhudul-Minnah. Yakni, kemampuan hati kita untuk senantiasa menyaksikan bahwa berbagai anugerah tak henti terlimpah kepada kita, dan bahwa semuanya datang dari Allah.

Ru’yah al-Taqshir ma’a al-Tasymir. Yakni, hati senantiasa menyadari tidak mampu melaksanakan kewajiban dari Allah dengan baik seraya terus berusaha sungguh-sungguh untuk meningkatkannya.

Al-Inkisar. Yakni, hati senantiasa bersedih meratapi perbuatan-perbuatan dosa yang kita lakukan sambil senantiasa mengharap rahmat Allah SWT semata.

Habib Anis bin ‘Alwy bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Solo), ketika dimintai pendapatnya mengenai Thariqah ‘Alawiyah, secara lebih praktis menjelaskan bahwa Thariqah ‘Alawiyah meliputi 4 (empat) hal utama, yaitu;

1. ‘Amal khallash ‘anisy-syawa-ib. Yakni, amal-shaleh – yang bersih dari niat-niat atau hal-hal yang tercela.

2. ‘Ilm, yakni pentingnya mencari ilmu dan beramal berdasarkan itu. (Mengenai hal ilmu ini, saya akan menguraikannya lebih jauh di bawah ini)

3. Akhlaq (perilaku) sehari-hari yang terpuji, dan

4. Katsratul-awrad. Yakni banyak membaca dzikir untuk senantiasa mendekat kepada Allah.

Lihatlah, betapa serba-ruhaninya aspek batin dan praktik Thariqah ‘Alawiyah ini.

Belum lagi jika kita lihat pandangan Imam Ghazali – sebagai sumber mu’amalat (tasawuf) Thariqah ‘Alawiyah – yakni, tentang metode mencapainya lewat suluk.

Terkait dengan ini, sebuah catatan kiranya perlu kita berikan terkait pandangan dan karya Imam Ghazali tentang ilmu-ilmu agama (tasawuf atau suluk) vs ilmu-ilmu umum (non ruhani).

Seperti kita ketahui, meski Imam Ghazali menulis buku-buku khusus tentang Logika, Ushul Fiqh, Tafsir, Filsafat, bahkan irfan (tasawuf filosofis), dan lain-lain, buku-buku Sang Hujjatul Islam yang khususnya dijadikan rujukan oleh Thariqah ‘Alawiyah adalah memang yang mengenai mu’amalat (metode) bertasawuf atau bersuluk (melakoni tasawuf), demi pembenahan ruhani dan keselamatan ukhrawi. Utamanya, Ihya’ dan Minhajul ‘Abidin.

Saya tak terlalu yakin bahwa buku-buku Al-Mustashfa (tentang usul fiqh), atau Mi’yar al-‘Ilm (tentang logika), banyak dibaca luas di kalangan umum Thariqah ‘Alawiyah.

Tentu bukan karena mereka tidak mampu membacanya, melainkan lebih karena, sekali lagi, yang diambil dari Imam Ghazali adalah aspek mu’amalah (metode bersuluk) itu. Dan itu adalah hal yang lumrah saja, mengingat penekanan Thariqah ‘Alawiyah adalah pada aspek ruhani dan ukhrawi tersebut.

Memang sebagian kita mungkin mencatat bahwa ada konteks khusus historis yang di dalamnya Imam Ghazali terdorong untuk mengutamakan ilmu-ilmu ruhani sedemikian. Yakni, penulisan Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan – Ilmu-ilmu Agama), sesungguhnya terdorong oleh kenyataan bahwa pada masa Sang Hujjatul Islam, justru ilmu-ilmu umum seperti filsafat, kedokteran, teknik, dan lain-lain, sudah berkembang sangat maju. Sementara ilmu-ilmu agama cenderung terabaikan. Maka beliau pun melakukan upaya untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama itu.

Sedangkan di masa sekarang, banyak agamawan sudah memiliki panggung yang luas untuk mendakwahkan agama, sementara masyarakat-masyarakat Muslim tertinggal dalam hal ilmu-ilmu umum.

Tapi bagi sebagian yang lain, kapan pun, ilmu-ilmu agama memang sudah seharusnya diutamakan di atas ilmu-ilmu umum.

Sikap demikian juga terkesan kuat dari Imam Ghazali sendiri. Meski beliau mengapresiasi ilmu-ilmu umum sebagai kewajiban kifayah, tetap saya ada kesan bahwa ilmu-ilmu umum ini berada di nomer dua, lebih sebagai sarana untuk menjamin kelangsungan hidup manusia, sedang tujuannya adalah penguasaan ilmu-ilmu agama, untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

Nah, Habib Umar secara luar-dalam adalah tokoh (rajul) Thariqah ‘Alawiyah. Maka beliau secara sadar mengambil peran dan berfokus pada masalah ini: menghidupkan ilmu-ilmu agama (tasawuf), sejalan dengan ajaran Thariqah’ Alawiyah yang diuraikan di atas.

Memang akan salah jika beliau menganggap buruk ilmu-ilmu umum. Kenyataannya tidak demikian. Dalam salah satu ceramahya, Habib Umar mengatakan: “Jadilah kalian… Insinyur, pebisnis, industriawan, dokter, pekerja kantor dan pabrik, serta lainnya, asal tetap di dalam rel Thariqah Salafunas – shaleh (Thariqah ‘ Alawiyah). Adakan waktu khusus untuk Allah dan RasulNya, hadiri dan ambil manfaat serta faidah dari majlis ilmu dan majlis dzikir yang ada di sekitarmu.”

(Dalam versi lain yang saya dengar, Habib Umar juga menekankan bahwa orang bisa berdakwah melalui profesi-profesi yang disebut Habib Umar tersebut – bukan hanya ustadz-ustadz).

Maka, tak sulit untuk menyimpulkan bahwa, lepas dari kita setuju atau tidak, tak ada yang salah di sini. Selain memang itu saya duga adalah peran yang dengan sadar diambil Habib Umar, memang masyarakat selalu memerlukan guru-guru agama yang menekankan pada hal-hal ruhani seperti pembersihan hati – yang, sesungguhnya, merupakan arti literal tasawuf – seperti ini.

Apalagi di zaman ketika keruhanian dan akhlak (moralitas) telah begitu jauh tergerus oleh keserakahan materialistik dan syahwat mengejar popularitas dan kekuasaan manusia.

Dakwah keruhanian ini kiranya juga diperlukan untuk membantu masyarakat yang makin merasakan kehampaan spiritual, hingga menderita berbagai jenis gangguan kejiwaan. Bahkan, bisa kita katakan, kesadaran untuk mengambil peran inilah yang telah menjadi kunci keberhasilan dakwah Habib Umar.

Dalam konteka ini juga, bisa dipahami jika Habib Umar, dan para ulama Thariqah ‘Alawiyah lainnya, memilih jalan merangkul semua orang – termasuk orang-orang yang dipandang sebelah mata atau bahkan buruk oleh masyarakat. Karena, hanya dengan jalan merangkul inilah tujuan ruhaniah dakwah beliau bisa dicapai.

Sikap eksklusif, apalagi yang diwarnai dengan menstigma sebagian kelompok masyarakat yang dianggap buruk, yang biasanya disertai keyakinan akan kelebihan diri – yang terkadang juga menyimpan arogansi – hanyalah akan menabrak prinsip-prinsip ruhaniah utama Thariqah ‘Alawiyah.

Meski demikian, tentu tak salah pula jika kita berharap ada peran lain yang bisa diambil da’i-da’i  Thariqah’ Alawiyah dari Hadhramawt, dalam memperluas tema-tema dakwahnya dengan menekankan aspek-aspek lain yang dibutuhkan masyarakat Islam saat ini. Khususnya aspek penguasaan ilmu-ilmu umum, demi mengejar ketertinggalan mereka dibidang sains dan teknologi.

Kenyataannya, audiens dakwah para ulama Thariqah ‘Alawiyah membutuhkan hal ini. Tak sedikit di antara mereka yang hidup dalam keterbelakangan, bahkan kemiskinan.

Alhamdulillah, kita melihat sedikit banyak peran ini telah dikembangkan oleh Habib Ali Aljiffri, misalnya.  Mungkin juga oleh Alm. Habib Abubakar ‘Adni Almasyhur. Barangkali termasuk juga Habib Hasan Assegaf di Jordan atau ulama seperti Hamzah Yusuf dan beberapa da’i/pemikir Barat – yang dikenal dekat dengan komunitas Thariqah ‘Alawiyah.

Misal, Hamzah Yusuf di AS, serta beberapa da’i lainnya di wilayah tersebut. Bukankah Alquran pun, pada kenyataannya, tak luput dari menganjurkan pengejaran ilmu-ilmu umum, demi memahami tanda-tandanya, dan membangun peradaban dunia.

Lihatlah betapa ulul albab dalam Alquran digambarkan sebagai orang-orang yang memahami tanda-tanda Allah di alam fisik, dan juga pejuang peradaban dan kemanusiaan?

Akhirnya, bukankah Allah sendiri memfirmankan: “Carilah, pada apa-apa yang dikaruniakan Allah kepadamu, rumah (kebahagiaan di akhirat), (tapi) jangan lupa akan bagian (nasib)-mu dari (kehidupan) dunia.” (QS al-Qashash:77)?

(Bersambung)

Sebelumnya:

AL/ Islam Indonesia/ Featured Image: kalam.sindonews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *