Satu Islam Untuk Semua

Friday, 03 November 2023

Kolom Haidar Bagir – Aspek  Ruhani Rasulullah Saw Dalam Bacaan Maulud Simthud-Durar Karya Habib Ali Bin Muhammad Alhabsyi (Bagian 2)


Islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Aspek  Ruhani Rasulullah Saw Dalam Bacaan Maulud Simthud-Durar Karya Habib Ali Bin Muhammad Alhabsyi (Bagian 2)

Di bagian lain Simthud Durar, disebutkan bahwa ketika Mi’raj, Rasulullah kembali kepada Allah, dengan melihat Allah dalam Hadirat Ithlaq -Nya. Yakni, Hadirat Ahadiyah itu.

Dalam Alquran disebutkan:

ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى

Kemudian Dia (Allah)”) mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad Saw. sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (An-Najm 53:8-9).

Inilah pengalaman kebersatuan Rasul Saw dan Allah SWT. Dalam konteks inilah para urafa’ memahami makna metafor qaaba qawsayn (dua ujung busur anak panah), yang dipakai al-Quran dalam ayat di atas.[*]

Inilah ringkasan penjelasan Ibn ‘Arabi mengenai hal ini:

Jika dua busur disatukan, maka akan terbentuk lingkaran. Dan, berbeda dengan garis – yang di dalamnya ada titik berangkat (Muhamad Saw) dan ada titik akhir/tujuan (Allah SWT. – dalam lingkaran semua titik bisa menjadi titik awal, dan semua titik dapat menjadi titik akhir. Tak jelas lagi di situ mana Allah SWT. (yang menjadi tujuan) dan mana Rasul Saw (yang berangkat menuju-Nya).

Semua titik dalam lingkaran bisa menjadi titik berangkat, dan semua titik bisa menjadi tempat tujuan. Meski tetap ada jarak, yang menunjukkan bahwa tidak dengan demikian Rasul Saw menjadi identik dengan Allah SWT. Masih ada jarak tak terbatas antara Martabat Ahadiyah yang dicapai Nabi Saw dengan Martabat Dzat yang sepenuhnya Gaib.

Meskipun demikian, karena begitu dekatnya, ayat itu menunjukkan posisi keberadaan keduanya lebih dekat lagi dari qaaba qawsayn itu. Karena, betapa pun, lingkaran masih menyisakan jarak.

Maka, selanjutnya, dengan tingkatannya yang begitu mulia itu, disebutkan dalam Simthud-Durar:

و هدى الله به من الامت بشرا كثيرا

… umat dalam jumlah besar. Beroleh hidayah Allah dengan perantaraannya.”

Dengan kata lain, Nabi Saw adalah wakil-Nya Allah, perantara kita dengan Allah. Jika kita hendak sampai kepada Allah, maka sampainya kita itu adalah melalui Nabi Muhammad Saw. Bahkan, dalam Thariqah ‘Alawiyah – sebagaimana dikesankan dalam syair-syair Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi sendiri – kita  mencapai Allah dengan cara (melalui) martabat Wahdah atau Nur Muhammad itu.

Penutup

Bagaimana cara mencapai Allah dengan melalui Nabi Muhammad Saw itu?

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian’“. (QS. Ali Imran: 31).

Kata ittibaa’ dalam ayat itu bermakna menempatkan kaki kita, dalam menjalani hidup, di atas jejak kaki yang ditinggalkan Nabi Saw. Yakni, mengikuti jejak Nabi Saw sebaik mungkin, sesempurna-sempurnanya.

Maka, meski kita tentu khusyuk dan terharu dalam membaca dan menghayati bacaan maulud Simthud-Durar ini, hal itu sama sekali tidak cukup.

Yang lebih hakiki adalah menerapkan semua aturan syari’ah Nabi Saw di semua bidang kehidupan. Bukan hanya dalam beribadah (mahdhah), atau ketika berada di masjid atau majelis-majelis keagamaan, melainkan dalam ber-mu’amalah di kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berdagang.

Di atas semuanya itu, kita harus menjadi manusia, yang seperti uraian Allah SWT tentang Nabi Saw, penuh welas asih, berempati kepada penderitaan orang, menginginkan kebaikan bagi orang lain, dan penuh kesantunan. (QS. At-Taubah: 128)

Maka, di akhir bacaan maulud, Habib Ali menguraikan dengan ringkas akhlak utama Nabi Saw.:

Selalu terdepan dalam berbuat kebajikan Lembut hatinya, luas kasih sayangnya Terutama bagi kaum beriman semuanya Teramat baik, teramat penyantun Tiada berucap sesuatu melainkan berisi kebaikan

Sederhana perangainya Singkat dan padat kalimat yang diucapkannya

Bila si miskin membutuhkannya ia selalu tanggap memenuhinya segera

Dirinya bagai ayah penuh kasih sayang Untuk si yatim-piatu atau janda yang lemah

Rendah hatinya namun amat kuat wibawanya Membuat orang paling kuat pun Gemetar berhadapan dengannya

Tiap jalan dilaluinya

Atau pun rumah yang dikunjunginya Menjadi semerbak harum baunya

Sebutan tentang pribadinya Mewangikan tiap majelis dan pertemuan

Beliau adalah pusat perpaduan. Bagi segala sifat kesempurnaan Tiada banding dalam fisik dan perilakunya Karena mendapat kekhususan termulia

Maka tiada satu pun perangai manusia terpuji Melainkan pasti bersumber dari dirinya

Insan terbaik di antara mereka semua.

Semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk dan menolong kita. WalLaah a’lam bish-shawab.

Selesai

Sebelumnya:

AL/Islam Indonesia/ Featured Image: aemagazine.pk

Catatan:


[*] Pada sebagian terjemahan Al-Quran (termasuk terjemahan versi Depag), subyek “dia” dalam ayat tersebut dipahami sebagai Jibril. Kaum ‘urafa’ – termasuk ibn ‘Arabi memahaminya secara berbeda. “Dia” di situ dipahami sebagai Allah SWT. Tentu saja, sekali lagi, bukan Allah dalam Dzat-Nya, melainkan dalam tanazzul -nya. Tapi di level ta’ayyun pertama, yaitu martabat Ahadiyah. Lagipula, jelas di dalam hadis bahwa Jibril sendiri menyampaikan bahwa dia tak bisa ikut ke Sidrat al-Muntaha, ke pohon Sidrat terjauh, tempat sang kekasih akan bertemu Sang Pengasih. Dia harus berhenti “hanya” di Langit Ketujuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *