Satu Islam Untuk Semua

Monday, 23 December 2013

Catatan dari Diskusi Pondok Gede


Max van Der Werrf dan Anhar Gonggong saat bertemu di Pondok Gede (foto:hendijo)

Bagaimana dua manusia dari dua bangsa yang pernah berseteru bicara tentang cita-cita yang sama untuk masa depan (Pertemuan antara Max van der Werff Jr,blogger Belanda dengan Anhar Gonggong, sejarawan Indonesia)

Beberapa bulan lalu,  wajah  Anhar Gonggong sempat muncul di Televisi Nasional Belanda. Dalam tayangan yang berdurasi hanya beberapa menit itu dikatakan jika sejarawan Indonesia asal Pinrang, Sulawesi Selatan tersebut menyarankan pemerintah Indonesia untuk menolak permintaan maaf dari pemerintah Belanda terkait berbagai praktek pelanggaran HAM  yang terjadi pada era Perang Kemerdekaan (1945-1949).

Pernyataan yang “diklaim” dinyatakan oleh Anhar itu membuat Max van der Werff Jr merasa kaget dan bersedih. Sebagai warga negara Belanda yang ingin mewujudkan rekonsiliasi sejarah di antara kedua bangsa, “pernyataan Anhar” itu adalah suatu hal yang harus ia respon secepatnya.

 
Atas dasar itulah, Max lantas menulis sebuah surat terbuka untuk Anhar (dalam versi bahasa Indonesia, surat ini pernah dimuat di situs Islam Indonesia). Dalam surat tersebut, Max menyatakan rasa malu dan maafnya atas berbagai praktek pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Ia juga menyebut “luka” tersebut sesungguhnya dirasakan juga oleh bangsa Belanda, terutama oleh orang-orang Belanda yang sanak saudaranya menjadi “korban perang” di  Indonesia. 

” Tapi saya optimis, proses dekolonialisasi di kepala orang Belanda pasti akan terjadi juga pada akhirnya. Namun ini butuh waktu untuk mencapainya…” tulis Max.

Surat dari Max, disambut baik oleh Anhar. Lewat saya, Anhar menitipkan pesan kepada Max bahwa apa yang ia dapat dari pers Belanda adalah sebuah “kekeliruan persepsi”. Untuk lebih memastikan soal sikapnya itu, Anhar bahkan mengundang Max untuk berjumpa dengan dirinya.

Undangan dari Anhar dipenuhi oleh Max pada Sabtu, 7 Desember 2013. Bertempat di Pondok Gede, Jakarta Timur (tempat tinggal Anhar), selama 3 jam ( Pukul 14.00 s/d Pukul 17.00) keduanya terlibat dalam diskusi hangat sekitar perseteruan Indonesia-Belanda di era Perang Kemerdekaan dan masa depan rekonsiliasi kedua bangsa tersebut.

Saat dikonfirmasi secara langsung oleh Max tentang pernyataannya di media Belanda, Anhar menolak keras jika ia dikesankan sebagai “sejarawan yang menyarankan pemerintah Indonesia untuk menolak permintaan maaf pemerintah Belanda”. “Kalaupun mereka tidak bermaksud jelek, setidaknya mereka salah persepsi tentang pendapat saya,”ujar lelaki yang sebagian keluarganya di Pinrang (termasuk sang ayah) tewas dihabisi oleh pasukan Kapten Westerling itu.

Alih-alih menolak permintaan maaf pemerintah Belanda, jauh hari (saat duduk di bangku SMA pada 1963), Anhar sudah menyatakan   ” urusan dirinya dengan Westerling” sudah selesai. “Itu adalah situasi perang, saat itu ayah saya dan Westerling memiliki tugas yang sama: harus saling bunuh karena mereka adalah musuh. Dalam hal ini, ayah sayalah yang ternyata harus menjadi korban, dibunuh oleh Westerling,”ujarnya.

Namun demikian, Anhar tidak setuju jika “masa lalu” itu  harus dilupakan begitu saja. Itu seperti menafikan suatu pembelajaran sejarah. Karena itu, ketika berbicara di depan Televisi Nasional Belanda, Anhar mengkritik pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Belanda Marsudi yang menyatakan dalam soal ini ” Indonesia lebih memilih untuk melihat masa depan…”

“Jika memang benar ia menyatakan demikian, itu sebuah pernyataan yang sangat bodoh,”kata Anhar.

Anhar sangat yakin, jika sebagian besar orang Indonesia hari ini sudah memberi maaf terhadap semua “kekelaman Belanda” di Indonesia pada masa lalu. Sebaliknya, ia justru mengkritik pemerintah Belanda yang tak mau jua mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

“Saya pikir itu karena pemerintah Belanda “takut” uang mereka habis jika mereka melakukan itu,” jawab Max.

Sekitar 4 Milyar Gulden plus bunga harus dikeluarkan oleh pemerintah Belanda jika mereka mengakui 17-8-45 sebagai hari kemerdekaan bekas jajahannya itu. Itu sebagai bentuk kompensasi dari “pengakuan” Belanda melakukan invasi mliter lengjkap dengan kejahatan perangnya terhadap sebuah bangsa yang sudah merdeka.

Anhar hanya tertawa ketika mendengar penjelaan dari Max tersebut. Salah besar, kata Anhar, jika pemerintah Belanda selalu menghubungkan segala hal yang terkait kejahatan perang mereka melulu dengan uang. “Mereka pikir, dengan memberi uang lalu saya bisa melupakan hal-hal menyedihkan dari keluarga saya yang terbantai puluhan tahun lalu?”katanya.

Yang diinginkan oleh Anhar hari ini adalah niat baik dari kedua bangsa. Tanpa harus melupakan “hal-hal pahit” di masa lalu, ia menyatakan betapa perlunya kedua bangsa ini sekarang bergerak ke arah rekonsiliasi dan perdamaian. Ia sangat yakin, ini pastinya menjadi keinginan semua orang yang berpikiran waras dan  orang-orang Belanda yang menginginkan itu, pastinya bukan hanya Max dan kawan-kawannya semata.

Ya, masa lalu tidak harus membunuh masa depan, justru sebaliknya: harus membangun peradaban masa depan yang lebih baik…Rakyat Belanda dan Rakyat Indonesia layak mendapatkan ini!

Sumber:Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *