Satu Islam Untuk Semua

Friday, 21 September 2018

Kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz


islamindonesia.id – Kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz

 

Oleh sejarawan dari Mesir, dari Universitas al-Azhar, Khalid Muhammad Khalid, Umar bin Abdul Aziz dikatakan sebagai “mu’jizat” pada masanya. Karena di tengah berkuasanya Bani Umayyah sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz adalah satu-satunya khalifah dari Bani Umayyah yang meninggalkan segala kemewahan duniawi dan hidup dalam kezuhudan.

Terkait keluarganya sendiri, Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz mencabut semua hal yang menjadi pondasi kekuasaan mereka. Pertama, Bani Umayyah dari generasi ke generasi menggunakan propaganda syair – yang pada masa itu sangat populer di jazirah Arab – sebagai media untuk menyanjung dan meninggikan keluarga mereka sendiri, memutarbalikkan kebenaran, dan melestarikan kekuasaan. Umar bin Abdul Aziz mengusir seluruh penyair besar istana dan melarang mereka untuk membuat syair kembali.

Kedua, khalifah-khalifah sebelumnya menciptakan sebuah tradisi untuk mencela Ali bin Abu Thalib KW di setiap mimbar. Sebagaimana kita ketahui, pendiri Kekhalifahan Umayyah adalah Muawiyah bin Abu Sofyan yang merupakan lawan politik Ali bin Abu Thalib KW. Sebagai bentuk legitimasi atas kemenangan Bani Umayyah dan untuk mencegah munculnya kembali oposisi politik, maka Bani Umayyah menciptakan sebuah tradisi pencelaan terhadap Ali bin Abu Thalib KW.

Umar bin Abdul Aziz melarang pencelaan terhadap Ali bin Abu Thalib KW di mimbar manapun, dan sebagai gantinya dia mewajibkan pembacaan ayat al-Quran:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S An-Nahl Ayat 90)

Ketiga, penghapusan hak istimewa Bani Umayyah terhadap Baitul Mal. Keluarga Bani Umayyah terbiasa hidup mewah dengan hak-hak istimewa atas penggunaan Baitul Mal khusus untuk keluarga mereka. Terkait hal ini ada sebuah kisah yang menggambarkannya:

Ummu ‘Amr bin Marwan (bibi Umar bin Abdul Aziz) adalah seorang wanita manja di kalangan pembesar keluarga Marwan (khalifah terdahulu). Selain itu dia juga salah seorang yang sangat dihormati dan disayangi oleh Umar bin Abdul Aziz.

Setelah hak-hak istimewa Bani Umayyah dicabut oleh Umar bin Abdul Aziz, Ummu ‘Amr bin Marwan mendatanginya. Ketika dia menemui Umar, yang saat itu sedang makan malam, matanya terbelalak melihat pemandangan di hadapannya. Didapatinya Umar sedang memakan beberapa kerat roti basi dan semangkuk kuah.

Dia menangis di hadapan Umar, dan berkata, “Aku datang kemari karena ada keperluan kepadamu, tetapi aku tidak akan menyampaikan hal itu sebelum memulai dengan dirimu terlebih dahulu.”

“Apa yang ingin bibi lakukan?” tanya Umar.

“Dapatkah engkau mengambil makanan yang lebih baik daripada ini?”

“Tetapi aku memang tidak punya apapun selain ini bibi. Kalau ada tentulah aku akan mengambilnya.”

“Pamanmu, Abdul Malik telah memberikan semua yang kubutuhkan. Kakakmu, Walid, malahan menambahnya, dan demikian pula dengan Sulaiman. Kemudian kekuasaan berpindah ke tanganmu, lalu engkau memutuskan bantuan itu.”

“Bibi, pamanku Abdul Malik dan kedua saudaraku, Walid dan Sulaiman, telah memberikan harta kekayaan kaum Muslimin sebagai bantuan kepada bibi. Sedangkan semua itu bukanlah milikku. Akan tetapi kalau bibi mau, aku dapat memberikan harta milikku sendiri.”

“Berapa banyak kekayaan yang engkau miliki hai Amirul Mukminin?”

“Gajiku…., dua ratus dinar setahun, ambillah.”

“Cukup untuk apa uang sekecil itu bagiku!?” kata Ummu ‘Amr bin Marwan dengan jengkel.

Wanita itu kemudian pulang dengan kekecewaan.

Usia kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz hanya selama 29 bulan, dan akhir kekhalifahannya diakhiri dengan tragis, dia diracun oleh keluarganya sendiri dari Bani Umayyah yang merasa sangat terganggu dengan kebijakan-kebijakan Umar bin Abdul Aziz.

 

PH/IslamIndonesia/Sumber: Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984).

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *