Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 18 July 2017

Hikayat Si Bahlul (Bagian – 4)


islamindonesia.id – Hikayat Si Bahlul (Bagian – 4)

 

JALAN KELUAR YANG ANEH

Sepanjang sejarah manusia, tidak ada yang curang dan serakah melebihi orang-orang Yahudi. Sesungguhnya mereka hamba harta benda semenjak mengenalnya. Banyak kisah sedih dan senang yang menceritakan orang-orang Yahudi yang cinta dan serakah dengan harta.

Islam datang sebagaimana Nasrani dan Yahudi dengan membawakan budi pekerti luhur dan ajaran-ajaran kebajikan. Islam mengajarkan manusia asas-asas mengolah harta benda sehingga menjadikan manusia hanyalah memakannya sebagai rezeki yang halal dan penuh berkah.

Namun orang-orang Yahudi tidaklah menjalankan perintah Allah swt kepada mereka. Mereka terkenal dengan pemakan riba di seluruh dunia tanpa memperhitungkan akibatnya di hari pengadilan Allah swt. Tentu saja mereka akan dipertanyakan sumber-sumber harta dan cara menghabiskannya.

Orang-orang Yahudi hidup setelah datangnya Islam dalam keadaan aman di tengah-tengah kaum Muslimin. Mereka tidak mengalami perlakuan buruk dan kebencian sedikit pun. Mereka menjalankan perniagaan mereka sebagaimana yang mereka inginkan.

Di Baghdad hidup seorang saudagar Yahudi yang curang dan serakah. Ia senang menimbun dagangannya untuk dijual dengan harga tinggi. Ia juga senang dengan hartanya sehingga berlaku pelit dan kikir. Hal itu menjadikan hartanya sebagai alat menghina dan merendahkan manusia.

Baghdad pada masa itu merupakan kota terbesar di muka bumi dengan penuh kegemerlapan. Kota ini menjadi impian orang-orang yang ingin meraih keagungan, kekayaan dan kebahagiaan.

Dengan tumbuh kembangnya kota, maka perdagangan dan saudagar menjamur di sana.

Di samping saudagar Yahudi yang curang dan serakah, dikenal pula saudagar Muslim yang murah hati dan tidak cinta dunia. Dia menjual barang-barang yang bagus dengan harga rendah. Dia hanya mengambil sedikit keuntungan dan tidak lupa membayar zakat dan sedekah dari hartanya.

Perbedaan keduanya dalam jual beli menjadikan manusia lebih percaya kepada saudagar Muslim dan menjadi tempat berlabuh dalam niaga. Hal ini membuat pasokan barang ke tempat saudagar Yahudi terhambat.

Dari sini tertanamlah benih-benih kedengkian dan dendam di hati Yahudi. Dia berharap tibanya kesempatan untuk melampiaskan dendamnya kepada tetangganya, saudagar Muslim sebagai obat rasa iri dan dendamnya.

Kedua orang ini tidak pernah bertemu selama kehidupan mereka dalam suatu kesempatan pun. Dalam pekerjaan mereka pun tidak pernah bekerjasama baik perniagaan maupun pergaulan. Sehingga dunia mengubah kehidupan saudagar Muslim yang mengalami pengalaman sulit pada suatu hari.

Tiba-tiba saja saudagar Muslim ini bangkrut dan menjadi fakir. Ia bangun tidur terlilit hutang bukan kepalang. Dia tidak memiliki kuasa untuk bangkit. Salah satu kawannya menyarankannya untuk menghadap saudagar Yahudi dan berhutang kepadanya dengan harapan terlepas dari kerugian. Saudagar Yahudi memang dikenal luas sebagai peminjam modal… namun … bagaimanakah ia meminjamkan hartanya?

Bergegaslah saudagar Muslim ke tetangganya dan mengeluhkan keadaannya. Tersenyumlah saudagar Yahudi dengan senyuman perkawanan untuk menutupi rasa senangnya atas datangnya kesempatan membalas dendam kepadanya. Dia berkata kepada saudagar Muslim, “Aku akan membantumu wahai tetanggaku yang mulia. Namun anda tahu bahwa aku tidak meminjamkan modal tanpa keuntungan dan bunga yang besar setelah mencapai waktu tertentu. Selain itu ada jaminan atau syarat.”

Saudagar Muslim bertanya dengan parau, “Apakah syarat yang anda ajukan? Karena aku tidak mempunyai jaminan sedikit pun.”

Saudagar Yahudi melihatnya dengan tatapan buruk dan menyimpan rencana busuk. Ia berkata, “Hanya satu syarat, yaitu jika anda tidak mampu mengembalikan modal dengan keuntungan dan bunga yang ditentukan dalam waktu satu tahun sejak hari ini, maka aku akan memotong daging dari tubuhmu seukuran ini (sambil menunjukkan bulatan dengan telunjuk dan ibu jarinya).”

Saudagar Muslim terperanjat dengan yang didengarnya! Sesungguhnya syarat yang aneh untuk dilakukan. Namun apa yang dapat mengganti hutang-hutangnya kepada manusia? Pada saat yang sama, ia harus memikul beban yang tidak dapat ditanggungnya dan ia yakin bahwa ia dapat mengembalikan modal beserta keuntungan dan bunganya kepada saudagar Yahudi tepat waktu. Mengapa dia tidak setuju dengan
syarat yang aneh itu?

Saudagar Muslim keluar dari kedai saudagar Yahudi membawa harta yang membuatnya lega dan melepaskan kegalauannya untuk sementara waktu.

Hari demi hari, bulan demi bulan telah berlalu hingga tiba waktu satu tahun masa pelunasan hutangnya kepada saudagar Yahudi yang serakah.

Pada waktu yang telah disepakati, modal yang dikumpulkan saudagar Muslim tidaklah termasuk keuntungan dan bunga. Dia mulai kebingungan. Kebingungannya berubah menjadi ketakutan ketika saudagar Yahudi mengetuk pintunya untuk meminta pelunasan piutangnya.

Saudagar Muslim menunjukkan kesedihannya dan berharap saudagar Yahudi memberikan kesempatan lain sehingga ia mampu melunasi keuntungan dan bunganya. Saudagar Yahudi pun menampiknya. Bagaimana mungkin ia mengabulkan permintaannya sementara ia telah menunggu kesempatan pelampiasan dendamnya sekian lama?

Saudagar Yahudi tidak memberikan kesempatan lagi, bahkan ia mengajukan persoalan ini kepada Hakim karena yang memiliki piutang berhak menuntutnya.
Sang Hakim terperangah mendengar persoalan yang aneh ini dan meminta saudagar Muslim untuk menceritakannya.

Saudagar Muslim berdiri dengan gundah mendengarkan permintaan Hakim, “Benarkah anda meminjam modal dari Yahudi?”

Saudagar Muslim menganggukkan kepalanya sebagai tanda membenarkan setiap pertanyaan Hakim sehingga Hakim mengetahui cerita seluruhnya.

Hakim merasa kasihan kepada saudagar Muslim karena mengenalnya secara pribadi, dan mengetahui tindak tanduknya yang terpuji. Tentu saja hukuman yang adil mesti ia jalankan dan mengalahkan perasaannya dalam mengambil keputusan di antara kedua pihak. Menerapkan syariah tidak boleh pandang bulu.

Setelah diam sejenak, Hakim melihat saudagar Muslim dengan pilu dan berkata, “Aku tidak mempunyai alasan selain menjalankan syarat yang diajukan saudagar Yahudi. Anda mesti mempersiapkan diri untuk dipotong daging tubuhmu!”

Saudagar Muslim gemetar karena takut dan raut wajahnya berubah… sudah pasti saudagar Yahudi akan
memilih sepotong daging dari tubuhnya yang menyebabkan luka dengan aliran darah yang deras menuju kematiannya…

Penduduk Baghdad mendengar kabar setelah Hakim memutuskan waktu hukuman untuk dijalankan.
Semua orang berharap saudagar Yahudi mencabut syarat yang diajukan.

Orang-orang mulai mencaci maki saudagar Yahudi dan melaknatnya, namun ia tetap pada pendiriannya.
Seiring waktu, Hakim berulang kali menunda-nunda penerapan hukuman sehingga boleh jadi saudagar Yahudi berbelas kasihan dan mengampuni saudagar Muslim atau menjadi lembut hatinya.

Suatu pagi, saudagar Yahudi mendatangi Hakim sambil naik pitam memintanya mempercepat hukuman. Jika tidak, maka ia akan mengumumkan berita ke seluruh Baghdad bahwa Hakim tidak lagi berlaku adil.

Kelembutan hatinya kepada seseorang dalam memberi keputusan tidaklah pernah membuat Hakim mengulur waktu penerapan hukuman.

Hakim meminta saudagar Muslim menghadapnya dan bersiap-siap dipotong bagian tubuhnya.

Orang-orang berduyun-duyun menghadiri pengadilan dalam jumlah besar untuk menyaksikan hukuman. Diam-diam Bahlul berada di tengah mereka.

Tatkala prajurit menggiring saudagar Muslim ke tempat hukuman, Si Bahlul mulai komat-kamit berdoa dengan khusyuk, memohon kepada Allah swt, “Tuhanku, tolonglah hamba karena Engkau penolong orang-orang lemah.”

Sementara saudagar Yahudi mulai membasahi bibirnya tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Ia tidak sabar menyaksikan darah saudagar Muslim mengalir di atas tanah pengadilan.

Saat itu pula Si Bahlul bergegas dari tempatnya meminta Hakim memberinya izin untuk berbicara sebagai pembela saudagar malang.

Hakim mengetahui bahwa Si Bahlul sangat cerdik dan pandai melampaui para ulama dan hakim. Terlebih ia menimba ilmu langsung dari salah satu cucu Rasulullah saw, Musa Al-Kazhim. Oleh karena itu, ia segera mengizinkannya.

Si Bahlul maju dan duduk di antara saudagar Muslim dan Yahudi. Semua hadirin menantikan yang akan siucapkan. Bahlul berkata, “Baiklah tuan Hakim, berdasarkan yang telah diputuskan, menurut pendapatku di antara hak saudagar Yahudi adalah memotong sepotong daging tubuh saudagar Muslim. Hanya saja ada syaratnya, yaitu sepotong daging tersebut mestilah di tempat yang tidak akan mengalirkan darahnya setetes pun! Karena mengalirnya darah tidak termasuk dalam syarat hutang saudagar Yahudi!”

Saudagar Yahudi terperanjat kemudian bertanya, “Sepotong daging tanpa darah?”

Riuh rendah suara bising terjadi dalam aula pengadilan, bagaimana mungkin luka kecil di tubuh tidak mengalirkan darah? Semua terdiam saat Bahlul melanjutkan perkataannya, “Lebih dari itu, anda harus memotong dari tubuhnya sepotong daging yang sama sekali sebanding dengan seukuran potongan yang pernah anda sepakati dengannya. Tidak lebih dan tidak kurang! Jika lebih besar atau lebih kecil, maka hak orang ini adalah membalasnya untuk memotong sepotong dari tubuh anda seukuran kelebihannya atau kekurangannya.”

Wajah saudagar Yahudi mulai ketakutan dan terbungkam mulutnya. Sementara terlihat senyum asa menyembul dari mulut saudagar Muslim. Bersegeralah ia tersungkur berterima kasih kepada Allah swt yang mengarahkan Bahlul pada saat menegangkan ini.

Adapun Hakim menyiratkan kerelaannya dan para hadirin menggelorakan syukur karena persoalan pelik telah berlalu.

Semua orang menanti pernyataan Hakim yang mengisyaratkan mereka untuk diam seraya berkata, “Aku sependapat dengan Bahlul atas yang dikatakannya. Bilamana menurut pendapat saudagar Yahudi hal itu mustahil untuk dilakukannya, maka saudagar Muslim wajib membayarkan hutangnya secara penuh tanpa keuntungan dan bunga.”

Para hadirin bernafas lega dan menantikan pernyataan saudagar Yahudi. Namun ia tak mampu berkata apa-apa selain meminta sejumlah uang yang telah diputuskan Hakim untuk dibayar saudagar Muslim. Hal itu lebih baik ketimbang tidak mendapat apa-apa.

Saudagar Muslim kemudian membayarkannya kepada Hakim dan langsung diberikan kepada saudagar Yahudi seraya bertanya kepadanya, “Apakah hak anda masih ada pada orang ini?” Saudagar Yahudi menjawab, “Tidak tuan.”

Setelah itu ujung jubahnya melambai meninggalkan ruang pengadilan tanpa jejak.[]

 

Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *