Tuntunan Islam dalam Menghadapi Kezaliman Penguasa

islamindonesia.id – Kezaliman penguasa sudah bermetamorfosa dalam abad modern ini. Jika dahulu para raja gemar menindas rakyatnya lewat penyiksaan bahkan pembunuhan, di era terkini kezaliman itu muncul dalam bentuk yang samar alias “malu-malu”. Artinya, penguasa tampak ingin agar area itu tetap menjadi syubhat dan abu-abu sehingga bisa mendapatkan pembenaran. Karenanya, kezaliman bisa muncul dalam berbagai bentuk kebijakan yang mengisi ruang publik.
Zalim merupakan kosa kata yang diambil dari bahasa Arab. Kitab suci menyebut kata zalim sebanyak 315 kali. Menurut Maizuddin M Nur dalam Perspektif Alquran tentang Manusia dan Kezaliman, zalim menurut Alquran merupakan seluruh perilaku menyimpang dan bertentangan dengan aturan-aturan Alquran atau aturan yang dapat diterima.
Karena itu, Alquran memandang zalim dengan arti yang amat luas. Zalim bisa berarti kejahatan, kekerasan, pelanggaran hak hingga melawan hukum yang bisa diterima.
Layaknya perbuatan dosa, zalim pun memiliki gradasi dari yang paling tinggi hingga terendah. Karena itu, para mufasir memberi batasan zalim dengan pengertian menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Menurut al-Raghib al Ashfahani, suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai ketidaksetaraan, ketidakharmonisan, ketidakadilan, kekacauan, dan perselisihan dapat disebut kezaliman. Pelakunya pun bukan cuma penguasa. Zalim bahkan bisa dilakukan oleh seorang ahli ibadah yang tak peduli terhadap hak-hak tubuhnya demi menunaikan shalat dan puasa.
Dalam konteks penguasa, Fir’aun menjadi tokoh yang kerap menjadi personifikasi dari perbuatan zalim. Dia berbuat sewenang-wenang dan menindas rakyatnya dengan amat kejam. Sang raja tak ragu menyembelih anak lelaki masyarakat Mesir demi memberantas benih-benih pemberontak yang muncul dalam mimpinya.
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash:4)
Ajaran Islam tentang Cara Menghadapi Penguasa Zalim
Rasulullah bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.”
Jika kita menghadapi pemimpin atau penguasa yang demikian, dalam arti mereka menyuruh kita bermaksiat, maka Islam mengajarkan bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk mendengar dan taat. “Seorang Muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari)
Tidak hanya itu, kita dilarang untuk membenarkan praktik kezaliman yang dilakukan penguasa.
“…..Dan barangsiapa yang tidak termasuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR Ahmad dan An-Nasa’i)
Meski demikian, bukan berarti tidak ada ruang untuk amar makruf nahi munkar kepada penguasa. Rasulullah bahkan menjelaskan tentang keutamaan mengucapkan sesuatu yang hak di hadapan penguasa zalim.
“Sebaik-baik jihad adalah ucapan yang hak di sisi pemimpin yang zalim.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Jihad ini tentu dilakukan dengan kalimat yang baik sebagaimana Nabi Musa dan Nabi Harun diutus Allah untuk berdakwah kepada Fir’aun.
Imam Nawawi bahkan menjelaskan bahwa nasihat kepada penguasa yang tidak menjalankan kewajibannya karena pejabat tersebut zalim, lalai atau tidak memiliki kapasitas dalam memegang amanah termasuk ke dalam ghibah yang diperbolehkan.
EH/Islam Indonesia
Leave a Reply