Pentingnya Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan

islamindonesia.id – Rasulullah s.a.w bersabda, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan Hadis
Hadis ini memberikan ilustrasi kekuatan solidaritas kemanusiaan—khususnya—di kalangan umat Islam berlandaskan pondasi keimanan. Demikian pula hadis ini menjelaskan tiga pola interaksi yaitu saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berempati. Ketiga kalimat ini memiliki kemiripan arti tetapi berbeda substansi.
Kalimat “tawâddihim (saling mencintai)“ diartikan ketulusan cinta antara individu dengan lainnya. Secara tersirat, hadis ini melarang umat Islam bersikap tahâsud (saling dengki) dan tabâghudh (saling membenci) karena akan melahirkan permusuhan dan perpecahan. Perintah “saling mencintai” menunjukkan perintah melakukan perbuatan yang melahirkan rasa saling mencintai seperti saling berkunjung atau silaturahmi, saling memberi hadiah, saling menebar salam kepada orang yang dikenal maupun tak dikenal, saling menasihati kepada kebenaran dan kesabaran, dan lain sebagainya.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w: “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak disebut beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang apabila kalian melakukannya, kalian pasti saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
Demikian pula, dianjurkan saling memberi hadiah sehingga menguatkan persaudaraan, persatuan, dan saling mencintai. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa kadangkala kedudukan memberikan hadiah lebih utama daripada sedekah pada keadaan tertentu. Rasulullah s.a.w bersabda: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.“ (HR. Bukhari)
Kalimat “tarâhumihim (saling menyayangi)” yaitu ikatan ruhiyah yang kuat, bahkan lebih kuat dari ikatan persaudaraan atau kekerabatan. Kalimat “Tarâhumihim” menunjukkan rasa solidaritas dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam membangun dan mensyiarkan Islam. Sikap “tarâhum” diwujudkan berupa saling membantu dalam hal kebaikan dan meningkatkan ketakwaan, serta menolak kemungkaran. Sehingga jika dilakukan secara kolektif dan tersistem akan menjadi lebih baik.
Contoh sederhana: membangun masjid. Bagaimana kita menyaksikan rasa persaudaraan dan kebersamaan yang tinggi melalui sikap saling membantu sesuai kemampuan setiap individu. Mereka saling berjibaku dengan waktu, tenaga dan pikiran tanpa berharap upah, tetapi semata-semata meraih ridha Allah SWT. Oleh karena itu, sikap “tarâhum” didasarkan oleh ketakwaan hati, dan menjadi barometer kesalehan individual melalui pembuktian kesalehan sosial.
Salah satu dasar sikap “tarâhum” ini adalah firman Allah SWT dalam Alquran, Surah Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”
Kalimat “ta’âthufihim (saling mengasihi)” yaitu sikap saling berempati dalam meringankan beban dan penderitaan orang lain. Betapa banyak kaum Muslimin yang belum merasakan ketenangan dan ketenteraman hidup akibat musibah yang berkepanjangan, penindasan penjajahan seperti yang saat ini dialami warga Palestina, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam konteks masyarakat kita yang sangat membutuhkan uluran tangan untuk menutupi kebutuhan pangan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Islam mendorong umatnya untuk membantu siapa yang membutuhkan. Dan pada hakikatnya menolong orang yang membutuhkan juga berarti menolong diri sendiri. Rasulullah s.a.w bersabda: “Siapa yang menyelesaikan penderitaan seorang Mukmin di dunia maka Allah SWT akan melepaskan penderitaannya di akhirat, siapa yang memudahkan orang yang kesulitan maka Allah SWT akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat, siapa yang menutupi aib saudaranya se-iman maka Allah SWT akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat, dan Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Kalimat “bagaikan satu tubuh” adalah sebuah ilustrasi indah yang menunjukkan sebuah soliditas dan persatuan umat Islam, serta sikap responsif terhadap penderitaan orang lain yang diilustrasikan dengan anggota tubuh yang tidak bisa tidur atau panas. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perumpamaan umat Islam bagaikan satu tubuh sangatlah tepat untuk mendekatkan pemahaman dan memunculkan makna dalam visualiasi yang tepat. Makna perumpumaan ini adalah pengagungan terhadap hak-hak umat Islam dan anjuran sikap saling mengasihi dan membantu antara satu dengan lainnya. Bukankah Allah SWT telah menjelaskan bahwa orang-orang Mukmin merupakan penolong bagi sebagian yang lain?
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. At-Taubah:71)
Ayat ini menguatkan karakteristik orang-orang beriman yang menjadi penolong bagi sebagian yang lain yang dapat diwujudkan dalam 3 hal:
Pertama, orang-orang yang beriman selalu berusaha bersinergi, berkolaborasi dan saling menolong antara sesama orang-orang yang beriman, atas dasar keimanan, kebajikan, dan ketakwaan.
Kedua, orang-orang yang beriman selalu berusaha melakukan amar makruf dan nahi mungkar, memelopori kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan umat dan bangsa.
Ketiga, orang-orang yang beriman selalu berusaha menguatkan tauhid dengan menegakkan shalat dan solidaritas kemanusiaan dengan menunaikan zakat, infak, dan sedekah.
EH/Islam Indonesia
Leave a Reply