Mengapa Berat Menerima Nasihat?

islamindonesia.id – Menerima nasihat dan masukan dari orang lain dengan lapang dada merupakan akhlak yang mulia. Itu merupakan ciri kebersihan hati serta tanda sifat tawadhuk.
Sebaliknya, orang yang sombong, bila dinasihati ia malah akan melawan dan meradang. Sebagaimana firman Allah: “Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertaqwalah kepada-Nya’, bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka pantaslah baginya neraka jahannam. Dan itu merupakan tempat tinggal yang terburuk.” (QS. Al Baqarah:206)
Bahkan sikap menolak nasihat dan masukan itu merupakan salah satu dosa besar. Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya termasuk dosa yang paling besar adalah ketika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Takutlah kepada Allah’, lalu dia menjawab saudaranya itu: ‘Urus saja dirimu. Aku pula yang kamu suruh’.” (HR Baihaqi)
Sikap mau menerima saran atau nasihat merupakan cerminan kesadaran akan kekurangan diri sebagai manusia yang tidak sempurna. Baik yang menerima nasihat itu orang biasa maupun orang alim. Sebab seluruh anak keturunan Adam takkan luput dari kesalahan.
Di samping itu, orang yang mau menerima nasihat, menunjukkan ia adalah orang yang suka dengan kebaikan dan juga suka kepada yang memberi nasihat. Sebab, dengan mendapatkan nasihat ia menjadi tahu sisi kekurangannya, yang itu biasanya lebih bisa dibaca oleh orang lain daripada dirinya sendiri. Ketika ia perbaiki, maka semakin berkuranglah keburukannya. Namun bila ia menolak nasihat, justru ia akan rugi. Karena, ia kehilangan momen untuk menambah kebaikan atau mengurangi keburukannya.
Rasul kita yang mulia, senantiasa senang menerima nasihat, saran dan masukan dari para sahabatnya, dan Beliau s.a.w juga tidak sungkan-sungkan meminta nasihat dan masukan kepada para sahabat.
Ketika akan berkecamuk perang Badar, Rasulullah s.a.w sudah mengumpulkan pasukannya di lokasi sebelum sumur Badar. Tapi sahabat mulia Hubab bin Mundzir melihat tempat tersebut tidak tepat. Dengan sopan dia mengusulkan kepada Rasulullah s.a.w agar memajukan pasukan setelah sumur Badar, dan menutup sumber mata air yang lain. Sehingga pasukan Rasul menguasai air, dan pasukan lawan tidak punya sumber air.
Usulan dan saran ini diterima oleh Rasulullah s.a.w dengan senang hati, dan posisi pasukan pun dimajukan ke depan sumur Badar.
Kejadian yang sama terulang di saat pengepungan benteng-benteng Khaibar. Perkumpulan pasukan Rasul s.a.w terlalu dekat ke benteng. Kembali Hubab mengusulkan agar jarak pasukan diperjauh dari benteng Khaibar, agar tidak disasar oleh panah-panah orang yahudi. Rasulullah pun menerima usulan ini.
Ketika selesai perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah s.a.w bersama para sahabat batal melaksanakan umrah, dan diganti tahun depannya. Maka Beliau menyuruh para sahabatnya untuk menyembelih dam (tahallul) dari ihram mereka. Namun mereka belum mau melaksanakannya sama sekali. Sampai tiga kali Rasulullah s.a.w memerintahkannya.
Lalu Beliau bangkit dan masuk ke tenda istri Beliau Ummu Salamah. Tampak sekali Beliau kurang berkenan dengan sikap para sahabat, dan Beliau sampaikan kondisi tersebut kepada Ummu Salamah. Maka ketika itu Ummu Salamah menyarankan agar Rasulullah s.a.w pergi sendiri, tidak bicara apa pun, lalu menyembelih damnya dan memanggil tukang cukurnya.
Saran Ummu Salamah ini diterima oleh Rasul s.a.w dan dikerjakannya. Para sahabat begitu melihat Beliau s.a.w seperti itu, semua mereka langsung menyembelih dam masing-masing. Begitulah Baginda Nabi berkenan menerima nasihat dan saran dari sahabat dan juga istrinya.
Beratnya Menerima Nasihat
Memang berat kadang mendapat nasihat dari orang lain. Apalagi kalau kita sudah punya keinginan tertentu, atau rencana yang matang yang berbeda dengan nasihat tersebut. Kita pun kadang merasakan hal itu. Banyak orang memberi kita masukan. Kadang kita terima, kadang tidak kita terima. Itulah kelemahan sifat-sifat manusiawi kita.
Itulah sebabnya kita layak mendoakan: semoga Allah merahmati orang yang menunjuki kita kekurangan-kekurangan kita. Apalagi bila kita sadar bahwa seorang Mukmin itu cermin bagi saudaranya. Jika dia lihat ada kekurangan, maka dia memperbaikinya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kita merasa berat menerima nasihat dan saran orang lain. Bahkan kadang cenderung menolak dan membantah. Berikut ini beberapa di antaranya:
- Merasa lebih tinggi dari si pemberi nasihat. Baik karena tinggi jabatan, usia, pangkat dan kedudukan lainnya. Sehingga ada perasaan tidak siap untuk menerima masukan dari bawahan atau orang yang di bawahnya.
- Merasa lebih hebat dan lebih tahu dari si pemberi nasihat. Baik karena merasa banyak ilmu, luas pengetahuan atau tinggi gelar akademisnya. Maka seorang profesor atau doktor misalnya, terkadang agak susah menerima saran atau nasihat dari orang yang masih strata 1. Apalagi dari mahasiswa dan orang umum. Kecuali orang-orang yang rendah hati.
- Cara menasihati yang kurang bijak dan kurang mengena. Mungkin bahasanya yang agak kasar, sangat menggurui, atau bahkan merendahkan. Maka nasihat menjadi tidak bermanfaat. Yang dinasihati tidak menerimanya. Malah menimbulkan perlawanan dan bantahan.
Dan banyak lagi faktor-faktor lainnya. Namun yang jelas, siapa pun kita dan apa pun posisi kita, sikap orang beriman itu adalah lapang dada dan siap untuk menerima nasihat. Artinya, hati harus senantiasa kita jaga, sehingga mudah menerima nasihat. Sebab agama kita ini adalah nasihat.
Diriwayatkan dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari, ia berkata bahwa Nabi s.a.w bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum Muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim)
EH/Islam Indonesia
Leave a Reply