Hukum dan Etika Perang dalam Islam

islamindonesia.id – Seiring dengan terjadinya konflik bersenjata di banyak belahan dunia Islam, hukum perang Islam menjadi suatu keniscayaan demi melindungi warga sipil dan mereka yang digolongkan sebagai hors de combat (kombatan yang tidak lagi berpartisipasi dalam konflik).
Selama berabad-abad, para ahli fikih klasik telah menyusun suatu literatur hukum yang mengesankan, yang seperti halnya Hukum Humaniter Internasional (HHI)—mengedepankan aspek kemanusiaan dalam perang. Menonjolkan sifat universalitas dari prinsip-prinsip HHI–yang melampaui tradisi hukum, peradaban dan budaya—adalah mutlak demi meningkatkan penghargaan dan perlindungan bagi para korban konflik bersenjata di dunia Islam.
Salah besar bila menganggap Islam sebagai agama yang tidak menghargai hukum. Faktanya, Islam tidak pernah menyetujui praktik-praktik yang melanggar hukum.
Sebagai contoh, perlakuan terhadap tawanan perang. Islam merupakan agama yang menghindari praktik kekerasan terhadap tawanan perang. Contoh lainnya, Islam menekankan sikap sopan santun dalam pertemuan. Ajaran itu tertuang dalam Al-Qur’an, surah Al-Insan ayat 8.
Sejumlah hadis juga meriwayatkan ajaran agar mendorong umat Islam tidak membunuh orang lain.
Dilarang membunuh anak, perempuan, orang tua, dan orang yang sedang sakit. (Imam Abu Dawud)
Dilarang melakukan pengkhianatan atau mutilasi. Jangan mencabut atau membakar telapak tangan atau menebang pohon-pohon berbuah. Jangan menyembelih domba, sapi atau unta, kecuali untuk makanan. (Al-Muwatta)
Dilarang membunuh para biarawan di biara-biara, dan tidak membunuh mereka yang tengah beribadah. (Musnad Ahmad Ibn Hanbal)
Dilarang menghancurkan desa dan kota, tidak merusak ladang dan kebun, dan tidak menyembelih sapi. (Sahih Bukhari, Sunan Abu Dawud)
Nabi s.a.w juga telah mengeluarkan instruksi yang jelas untuk memberikan perawatan terhadap tawanan perang. Sejarah mencatat bagaimana umat Islam saat itu menangani tawanan pertama selepas Perang Badar pada 624 Masehi. Sebanyak 70 orang tawanan Makkah yang ditangkap dalam perang itu dibebaskan dengan atau tanpa tebusan.
“Pagi dan malam mereka memberikanku roti. Kalau ada seorang Muslim yang memiliki sepotong roti ia akan berbagi denganku,” tulis Ibnu Ishaq, seorang penulis biografi awal Nabi Muhammad s.a.w, saat mengutip seorang tawanan perang.
Nabi Muhammad s.a.w juga memberikan perintah untuk tidak memaksa tawanan perang berpindah agama. Itu sebabnya, Nabi membiarkan penyembah berhala Thamamah Al-Hanafi yang tertangkap dalam pertempuran untuk tidak berpindah agama. Nabi lebih memilih meminta para sahabat untuk berdialog bersama Al-Hanafi saat penyembah berhala itu merasa terjamin keselamatannya.
Dalam pertempuran Badar, Nabi Muhammad s.a.w juga tidak membiarkan para tawanan berpakaian lusuh. Nabi memerintahkan para sahabat untuk memberikan pakaian yang layak.
Setelah Perang Badar, para tawanan perang dibawa, di antara mereka adalah Al-Abbas bin Abdul Muthalib. Dia tidak punya baju, jadi Nabi mencari kemeja untuknya. Ternyata kemeja Abdullah bin Ubayy memiliki ukuran yang sama. Selanjutnya, Nabi s.a.w memberikannya kepada Al-Abbas untuk dipakai. (HR. Bukhari)
Begitu pula untuk penjahat perang, Islam punya penilaian sendiri. Salah satu di antaranya adalah bahwa penjahat perang tidak dapat dibunuh tanpa alasan yang sah. Itulah sebabnya, Islam pun mengatur dengan ketat persoalan ini.
EH/Islam Indonesia
Leave a Reply