Satu Islam Untuk Semua

Friday, 17 November 2017

RENUNGAN JUM’AT – Istigfar, Setapak Menuju Tuhan


islamindonesia.id – RENUNGAN Jumat – Istigfar, Setapak Menuju Tuhan

 

“Setiap anak Adam sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi)

 

Ada beragam peristiwa terjadi di bumi ini. Kadang membuat bahagia dan senang. Namun tak sedikit pula sebaliknya, membuat hati teriris, sedih dan membuat manusia terasa berada di ujung dunia antah berantah—yang menggiringnya pada perasaan sepi, sendiri, merana, dan tersiksa—yang mungkin juga dirasa bak neraka.

Tak jarang, akibat peristiwa yang beragam tersebut, manusia mendadak lebih dekat dengan sang Pencipta, dan ada pula yang justru menjauh dari-Nya. Mengingkari segala ketetapan Tuhan dan bahkan merutuki-Nya dengan berbagai kalimat yang mencerminkan sikap kecewa atas segala kehendak Tuhan, atau mengunggulkan kehebatan dirinya yang lantas menyebabkan lupa atas kekuatan-Nya.

Sayangnya, alih-alih memperbaiki diri dengan lebih mendekat pada-Nya, justru malah menimbulkan sikap sombong. Merasa paling alim, paling baik, paling taat, dan sederet paling lainnya yang kemudian ia bandingkan dengan orang lain yang tidak melakukan hal serupa dengannya—timbullah riya, sikap ingin dipuji.

Padahal sikap sombong, yang bahkan hanya terbesitnya perasaan ingin dipuji oleh orang lain, Allah tidak suka, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasul Saw. bersabda,Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Pun dengan orang-orang yang dengan jelas menganggap dirinya tidak butuh Tuhan. Ketika menerima kenikmatan, baik berupa ketenaran, kekayaan yang berlimpah, jabatan yang tinggi dan beragam titel dunia lainnya, alih-alih semakin dekat, justru lupa dengan siapa dirinya yang sebenarnya—yang terlahir dalam kondisi tak membawa apapun.

Atau ada juga, yang karena musibah akhirnya ia lari dari Tuhan. Menganggap Tuhan tidak adil, dan secara perlahan, baik dari ucapan maupun tindakan telah menunjukkan sikap pesimis terhadap Dia yang maha menciptakan.

Sikap-sikap seperti ini, terkadang tidak kita sadari. Dan karenanya, dianggap wajar sebagai sikap manusia yang konon diciptakan penuh keluh kesah.

Akan tetapi, bukankah sungguh tidak berterimakasihnya kita sebagai hamba yang sudah diizinkan merasakan indahnya dunia, kemudian merutuki dan mengingkarinya? Bukankah sungguh tidak beradabkah kita, ketika diizinkan merasakan warna-warni titipan-Nya—yang kadang berupa musibah dan kadang berupa kesenangan, malah mengotorinya dengan merasa lebih adigung?

Bukankah apa pun yang diberikan Dia kepada kita sesungguhnya atas dasar takaran-Nya yang pas? Tidak lebih dan tidak kurang, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

Lantas, mengapa kita masih mengeluh? Mengapa kita merasa hebat? Mengapa kita merasa ini dan itu, yang bahkan dengan mudahnya kita berlindung di balik topeng seorang pepatah Arab, “manusia tempatnya salah dan lupa.”

Memang, dalam hal ini Rasul pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Setiap anak Adam sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat.”

Di sana terdapat kata “sering”, yang berarti manusia bisa berusaha untuk tidak berbuat salah. Namun demikian, dengan kehendak-Nya, apa pun yang sudah kita usahakan, tetap lah Allah Sang Maha Benar.

Oleh karena itu, selain untuk sikap kehati-hatian kita sebagai muslim, alangkah bijaknya jika kita selalu merendah di hadapan Allah melalui istighfar.

Istighfar memiliki banyak manfaat. Seperti memperoleh kenikmatan hidup secara terus-menerus, ”Dan hendaklah kamu beristigfar (meminta ampun) kepada Tuhanmu dan bertobatlah kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian) niscaya Dia (Allah) akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia (Allah) akan memberikan kepada tia-tiap orang yang mempunyai keutamaan (ketaatan/amal kebaikan) (QS Hud [11]: 3).

Dibebaskan dari perasaan tertekan atau kedukaan, membukakan jalan keluar atas kesulitan, ”Dan Dia (Allah) akan memberikan (membukakan) jalan keluar bagi kesempitannya (kesulitannya).”

Memudahkan datangnya rezeki, ”Barangsiapa yang merasa diperlambat (tersendat-sendat) rezekinya, hendaknya dia beristigfar kepada Allah.” (HR Baihaqi dan ar-Rabi’i).

Lebih dari semua itu, istighar sesungguhnya merupakan pintu guna menuju-Nya. Sebagai jalan untuk menuju ridha-Nya. Sebagai bukti, betapa kecilnya kita sebagai makhluk, dan karenanya, istighar sebagai gerbang menuju kecintaan makhluk terhadap Sang Khalik, dengan mengagungkan-Nya di atas segalanya.

 

 

Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *