Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 01 February 2023

Menghadirkan Rasa Syukur Saat Ditimpa Musibah


islamindonesia.id – Alkisah, seorang nenek berusia sekitar 70 tahun mengalami patah tulang dan terpaksa menginap di rumah sakit. Ia ditemani seorang anaknya dan seorang cucu di ruang ber-setting VIP. Seorang dokter lalu menyapanya dan memberikan bimbingan sebagaimana mestinya hingga pada perkataan, “Alhamdulillah Ibu masih patah tulang.” Si nenek terkaget-kaget mendengar ucapan sang dokter, “Kok alhamdulillah, sih?!” katanya sembari menghadapkan wajahnya ke anak perempuannya yang hendak menyuapinya.

Sikap nenek tersebut menggugah nurani kita. Betapa banyak ujian mendera kita yang acapkali dianggap malapetaka terbesar. Nenek tadi mungkin lupa atau justru bisa jadi terfokus dengan penyakitnya saja, lantas ia mengesampingkan berbagai nikmat Tuhan yang telah mengalir selama hidupnya.

Orang semacam ini adakalanya membutuhkan bantuan orang lain untuk disadarkan bahwa alhamdulillah ia masih memiliki anak yang setia menemani dan menyuapinya. Alhamdulillah hanya kaki kiri yang patah bukan kaki kanan apalagi kedua-duanya atau mungkin seluruh tubuhnya, dan alhamdulillah masih fisiknya yang sakit bukan hatinya.

Ucapan alhamdulillah rupanya dalam sangkaan si nenek, karena sang dokter mensyukuri penyakitnya. Begitulah, banyak di antara kita salah kaprah memaknai hakikat syukur. Rasa syukur terkadang menghilang di kala seseorang sedang dilanda cobaan atau ditimpa musibah. Padahal bersyukur di saat gundah gulana bisa mengurangi beratnya penderitaan. Akan tetapi, perasaan syukur hanya berlabuh di hati orang yang benar-benar membutuhkan rasa syukur atau menunggu ada sebuah teguran terlebih dahulu, barulah ia bersyukur.

Sekadar permisalan. Seseorang yang memiliki uang tiga juta lebih tiga ratus ribu rupiah, lalu karena suatu hal ia kehilangan tiga ratus ribu dan masih tersisa tiga juta. Perhatian orang yang bersyukur akan tertuju pada jumlah yang tersisa, sehingga ia akan bersyukur, “Alhamdulillah, cuma tiga ratus ribu yang hilang, bukan yang tiga juta.” Hatinya terhibur, lisan pun mengujarkan syukur.

Sebaliknya orang yang kufur nikmat hanya terpaku pada uang tiga ratus ribu yang hilang, lalu melupakan tiga juta yang masih tersisa. Hatinya sangat menyesal, lisan pun mengumpat tidak karuan. Musibah terasa amat berat, sedikit pahala pun tidak didapat, bahkan hanya dosa yang tercatat.

Karena itulah, ketika seseorang datang kepada tabi’in Yunus ibn ‘Ubaid mengeluhkan kondisinya yang banyak kebutuhan dan sulitnya mencari pendapatan. Seakan tidak ada yang dirasakan di dunia ini selain kesengsaraan. Kepada orang tadi, Yunus mengatakan, “Bagaimana jika sebelah matamu saya ganti dengan seratus ribu dirham, apakah kamu rela?”

Dia menjawab, “Tentu saja tidak.”

Tanya Yunus, “Bagaimana dengan sebelah tanganmu?”

Jawabnya: “Tidak Juga.”

Yunus melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana dengan sebelah kakimu?”

Dia menjawab: “Aku tidak mau.”

Yunus lalu menanyakan satu persatu anggota badan orang itu dan dijawab dengan jawaban yang sama. Hingga Yunus berkata, “Saya lihat kamu memiliki jutaan dirham, tetapi kamu mengeluh dan merasa tidak mempunyai apa-apa.”

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *