Satu Islam Untuk Semua

Monday, 10 April 2023

Kisah Abu Nawas dan Buah Kurma Paling Manis


islamindonesia.id – Di tengah kesibukannya, Abu Nawas selalu menyempatkan diri mengajar murid-muridnya dengan ilmu agamanya yang sangat luas. Setiap sore sehabis Ashar dengan sangat antusias murid-muridnya berangkat ke rumah Abu Nawas. Mereka sangat semangat belajar ilmu agama Islam.

Dari sekian banyak murid Abu Nawas, ada salah satunya bernama Ahmad. Ia murid pendiam tapi pintar. Bahkan, Ahmad mendapat perhatian khusus dari Abu Nawas. Hal ini membuat murid-murid yang lain merasa cemburu kepada Ahmad, terutama mereka yang sudah senior.

Kemudian beberapa murid memberanikan diri menghadap Abu Nawas. “Guru, boleh kami bertanya?”

“Tentu saja boleh. Apa yang ingin kalian tanyakan?” tanya Abu Nawas.

“Kenapa Guru ada perhatian lebih kepada Ahmad?” ucap mereka.

Abu Nawas sontak kaget mendengarnya. Ternyata sikapnya terhadap Ahmad selama ini menjadi sorotan murid-muridnya yang lain.

“Kalian kenapa bertanya seperti itu?” tanya balik Abu Nawas.

“Dia kan murid baru, Guru. Sedangkan kami sudah lama jadi murid Guru,” ujar mereka.

Abu Nawas menangkap ada kecemburuan dalam diri mereka. Supaya tidak menjadi salah paham, Abu Nawas mengumpulkan seluruh muridnya.

“Wahai anak-anakku sekalian, besok ada sayembara untuk kalian,” tutur Abu Nawas.

“Sayembara apa, Guru?” sahut murid-muridnya penasaran.

“Besok kalian harus membawakanku buah kurma. Bagi siapa saja yang buah kurmanya paling manis, maka dialah pemenangnya. Sebagai hadiahnya akan aku berikan sorban yang indah,” kata Abu Nawas.

Mereka pun antusias dengan sayembara yang diadakan Abu Nawas. Singkat cerita, keesokan harinya mereka berlomba-lomba mencari buah kurma yang paling manis. Ada yang sampai rela beli di pasar dengan harga cukup mahal dengan harapan menjadi pemenangnya. Ada pula yang memetik di kebun kurma milik orangtuanya sendiri.

Sementara Ahmad yang merupakan anak yatim dan miskin hanya mempunyai tiga kurma di rumahnya. Kurma yang dimiliki memang bukan kurma terbaik, tapi Ahmad antusias mengikuti sayembara gurunya itu.

Setelah mendapat kurma yang diinginkan, mereka segera berangkat ke rumah Abu Nawas. Begitu juga dengan Ahmad, dia membawa tiga buah kurma miliknya. Saat berjalan menuju rumah Abu Nawas, di tengah perjalanan Ahmad melihat anak kecil sedang duduk sambil menangis. Dikarenakan merasa iba, Ahmad pun menghampirinya.

“Kamu kenapa?” tanya Ahmad.

“Aku ingin makan buah kurma, tapi tidak punya uang,” jawab anak kecil tersebut.

“Ini aku ada buah kurma, silakan kamu ambil,” balas Ahmad sambil memberikan satu butir kurma.

Anak kecil itu langsung tersenyum bahagia. Ia pun mengucapkan terima kasih kepada Ahmad. Kemudian Ahmad melanjutkan perjalanan. Kini kurma yang ada di tangannya tinggal dua butir.

Di saat itulah datang Abu Nawas menyamar sebagai pengemis. Dia menghampiri Ahmad dan berkata, “Saya lapar sekali, berilah saya makanan.”

Melihat hal itu, Ahmad pun kembali iba. “Tapi aku hanya punya dua butir kurma, kek,” jawab Ahmad.

“Tidak mengapa, berilah aku satu, satunya untuk bekal dirimu,” balas Abu Nawas.

Ahmad lalu memberikan satu butir kurma miliknya. Lantas, ia melanjutkan perjalanan dengan membawa satu butir kurma yang tersisa.

Begitu juga dengan murid-murid yang lain. Mereka diuji Abu Nawas dengan menyamar sebagai pengemis tua, tapi tidak ada satu pun yang rela memberikan kurmanya.

“Enak saja, ini buah kurma terbaik dan harganya mahal,” jawab salah satu murid.

“Bukankah buah kurma yang kamu bawa itu banyak? Berilah aku satu saja,” pinta Abu Nawas yang menyamar.

“Tidak bisa, ini kurma mau buat sayembara, dan aku harus memenangkannya,” balas si murid.

Kemudian murid tersebut meninggalkan si pengemis yang sebenarnya adalah Abu Nawas gurunya sendiri. Setelah sampai di rumah Abu Nawas, masing-masing murid membanggakan kurma yang dibawa.

“Aku pasti pemenangnya, karena kurma yang aku bawa rasanya manis sekali,” ujar salah satu murid.

“Belum tentu, pastilah aku yang menang, sebab kurma yang aku bawa bukan hanya manis, tapi jumlahnya lebih banyak dari yang kamu bawa,” timpal murid lainnya. 

Tidak berapa lama datanglah Ahmad dengan membawa sebutir kurma. Melihat buah kurma yang dibawa Ahmad, teman-temannya menertawakan.

“Kurma jelek begitu dibawa kemari. Sudah begitu jumlahnya cuma satu,” celetuk salah seorang temannya.

Mereka pun kembali tertawa terpingkal-pingkal. Sikap teman-temannya ini membuat Ahmad menjadi minder. Ia pun membalikkan badan untuk kembali pulang, namun tiba-tiba keluarlah Abu Nawas dari dalam rumahnya.

“Hai Ahmad, jangan pulang dulu. Ayo ke sini,” teriak Abu Nawas memanggilnya. Lalu Ahmad disuruh berkumpul dengan murid-murid yang lain.

“Apakah kalian sudah membawa kurma yang paling manis?” tanya Abu Nawas.

“Sudah, Guru,” jawab murid-muridnya penuh semangat.

Kemudian Abu Nawas menyuruh menunjukkan kurma yang mereka bawa. Satu per satu muridnya meletakkan kurma di hadapan Abu Nawas, termasuk Ahmad yang hanya membawa sebutir kurma.

Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas pun berkata kepada murid-muridnya, “Sepertinya aku sudah menemukan pemenangnya.”

“Siapa pemenangnya, Guru?” tanya mereka dengan hati berdebar.

“Pemenangnya adalah Ahmad,” jawab Abu Nawas.

Keputusan Abu Nawas ini tentu saja menuai protes dari murid-muridnya. “Guru tidak adil, masak kurma jelek begitu bisa menang,” ucap mereka tidak terima.

Dengan wajah tersenyum, Abu Nawas pun menjelaskan. “Tahukah kalian, saat kalian membawa kurma kemarin, saya uji kalian dengan menyamar sebagai pengemis, tapi tidak ada satu pun yang mau memberikannya, kecuali Ahmad.”

“Memang kurma yang dibawa Ahmad kalah bagus dengan kurma yang kalian bawa. Kurma kalian lebih manis, tapi ingat buah yang paling manis adalah buah yang diberikan kepada orang yang kelaparan.”

“Sejatinya buah yang paling manis adalah kebajikan, oleh sebab itulah meskipun kurma yang dibawa Ahmad adalah buah biasa, karena kebajikannya inilah membuat buah kurma yang dibawa Ahmad menjadi paling manis di antara buah kurma kalian,” terang Abu Nawas.

Setelah mendengar penuturan Abu Nawas, murid-muridnya ini pun menyadari kekeliruannya. Mereka pun mulai memahami kenapa gurunya punya perhatian khusus kepada Ahmad, sebab ia punya akhlak yang mulia.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *