Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 26 April 2020

Hikmah – Mari Luangkan Hati untuk Salat dan Doa


islamindonesia.id – Mari Luangkan Hati untuk Salat dan Doa

Hal yang lebih penting daripada meluangkan waktu untuk salat adalah meluangkan hati, meski meluangkan waktu merupakan prasyarat untuk bisa meluangkan hati. Memiliki hati yang luang artinya bahwa pada waktu salat atau ibadah lainnya, kita harus melepaskan diri dari urusan dan dari memikirkan hal-hal duniawi, dan memalingkan hati kita jauh-jauh dari segala perhatian duniawi, dengan mengosongkan hati sepenuhnya demi ibadah dan berdoa kepada Allah.

Kalau kita tidak dapat membersihkan hati kita dari hal-hal ini, kita tidak bakal memperoleh keadaan yang diperlukan untuk ibadah. Celakanya, kita acap menimbun segala jenis pikiran sesat sampai waktu ibadah kita ikut tersita olehnya.

Begitu kita mengucapkan takbîratul ihrâm  untuk salat, seakan-akan kita membuka toko atau buku besar akuntasi atau album. Hati kita mengembara ke masalah-masalah lain dan kita menjadi sepenuhnya lalai pada salat kita.

Ketika kita sadar, kita telah sampai akhir. Akibatnya, kita menjalankan salat sebagai kebiasaan belaka. Sesungguhnya ibadah seperti ini memalukan, dan berdoa kepada Allah dengan cara seperti ini merupakan aib.

Saudaraku, bandingkan salat yang kamu lakukan dengan percakapanmu dengan salah seorang hamba-Nya yang tidak berarti. Jadikan keadaanmu sewaktu salat layaknya keadaanmu sewaktu berbicara dengan orang asing¾apalagi seorang kawan¾yang begitu kamu perhatikan sampai kamu lupa dengan orang lain.

Atau, jika kita mau ambil ilustrasi di masa kini, konsentrasilah kamu saat salat setidaknya seperti konsentrasimu memainkan game, atau melihat tontonan di ponselmu. Mengapa ketika berbincang dan berkomunikasi dengan Tuhanmu, Pemberi rezekimu dan Tuhan sekalian alam, kamu tidak sepenuhnya memerhatikan-Nya, dan yang kamu perhatikan bahkan hal-hal selain-Nya?

Apakah kedudukan dan nilai makhluk lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan dan nilai Zat Suci Tuhan? Apakah berbin­cang dengan makhluk lebih bernilai dibandingkan dengan berdoa kepada yang memenuhi seluruh kebutuhanmu?

Memang, aku dan kamu tidak mengetahui arti berdoa kepada Allah. Kita menganggap kewajiban-kewajiban dari Allah itu sebagai beban dan paksaan. Dan tentunya, seseorang akan bersikap ogah-ogahan dalam melaksanakan beban dan paksaan. Karena itu, sumber masalah ini perlu diperbaiki.

Kita harus mencari sumber keimanan kepada Allah dan mendengar nasihat serta peringatan para nabi, sehingga kita dapat memperbaiki keadaan kita yang menyedih­kan ini. Segenap kemalangan kita terjadi karena kelemahan iman kita dan belum mantapnya keyakinan kita.

Iman para wali telah membawa mereka selalu merayakan hari ulang tahunnya menjadi balig, karena pada hari itu Allah telah menganugerahinya izinuntuk beribadah kepada-Nya dan telah memberinya tugas dan kewajiban. Coba bayangkan, betapa suci dan cemerlang hati mereka ini!

Semua orang tahu bahwa kaki mulia Ali bin Abi Thalib pernah tertusuk anak panah sampai beliau tidak sanggup menanggung bekas sakit yang luar biasa saat hendak dicabut. Lalu beliau meminta anak panah itu dicabut ketika beliau melakukan salat, sampai akhirnya beliau bahkan tidak tahu kalau anak panah itu sudah dicabut.

Saudaraku, hilangnya rasa sakit dalam keadaan seseorang berkonsentrasi bukan tidak mungkin. Hal seperti itu sangat sering terjadi kepada orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang seorang pria benar-benar lupa segalanya ketika sedang marah atau dimabuk cinta.

Salah seorang sahabat kita yang terpercaya pernah meriwayatkan bahwa “ketika sedang bertempur melawan para bajingan di Isfahan, aku melihat bahwa sebagian dari mereka menghujaniku dengan kepalan tinju mereka, dan aku tidak tahu pukulan seperti apa itu. Kemudian ketika pertempuran usai dan aku sadar, aku ternyata menderita beberapa luka akibat pisau yang digunakan mereka untuk menyerangku. Aku terbaring di tempat tidur selama beberapa hari sebelum akhirnya aku sembuh dari luka-luka itu.”

Tentu saja, alasan di balik itu jelas: apabila perhatian jiwa tertuju pada hal tertentu, jiwa sepenuhnya lupa pada tubuhnya, dan tidak dapat merasakan keadaan jasmaninya. Segenap perhatiannya terserap oleh satu hal saja.

Manakala kita berdebat sengit dalam suatu majelis-semoga Allah melindungi kita dari hal ini-kita sering melihat diri kita menjadi benar-benar lupa pada segala yang lain yang terjadi di sekitar kita.

Namun sayang, yang menyerap perhatian kita bukannya ibadah kepada Allah, melainkan hal-hal sepele seperti itu. Itulah sebabnya mengapa kita cenderung menganggap peristiwa-peristiwa seperti itu (peristiwa Sayidina Ali) sebagai kemustahilan.

Bagaimanapun, terlepasnya hati dari segala sesuatu selain Allah merupakan hal yang penting dan harus kita coba dengan sekuat daya. Keadaan itu mungkin dan mudah terjadi dengan sedikit perhatian dan kewaspadaan.

Kita harus berusaha sejenak untuk mengendalikan terbangnya khayalan kita, dan menahannya kapan pun ia hendak terbang dari satu cabang ke cabang lain. Setelah masa pengendalian itu, khayalan akan menjinak dan tidak mengembara ke mana-mana.

Menurut suatu peribahasa, kebaikan adalah kebiasaan. Artinya, setelah terlepas dari khayalan-khayalan lain, pikiran kita akan menjadi terbiasa memerhatikan Allah dan menghamba kepada-Nya.

Di antara prasyarat terpenting untuk ibadah adalah kehadiran hati yang sebenarnya merupakan esensi ibadah. Tanpa itu, ibadah tidak ada artinya dan tidak diterima di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis suci berikut.

Dalamsebuah hadis disebutkan, “Pahala yang engkau dapatkan dari salatmu tergantung pada sejauh mana engkau melakukannya dengan hati yang hadir. Dan jika seseorang merusaknya atau melalaikan etiketnya, salat itu akan dilemparkan ke wajah pelakunya.”

Abu Hamzah Al-Tsumali pernah menuturkan, “Aku melihat Ali Zainal Abidin sedang menunaikan salat ketika mantelnya jatuh dari kedua bahunya. Dia tidak memperbaikinya sampai dia menyelesaikan salatnya.

“Ketika aku tanyakan hal ini, dia berkata, ‘Ah kau, tidakkah kau tahu di hadapan siapa aku berdiri? Yang diterima dari salat seorang hamba adalah apa yang dilakukannya dengan perhatian hati yang penuh.’

“Lalu, aku berkata, ‘Kalau memang demikian maka kami (yaitu orang-orang seperti kami) celakalah sudah!’

“Dia menjawab, ‘Tidak juga. Sesungguhnya Allah mengganti kerugian itu bagi orang mukmin dengan salat-salat Sunah.’.”

Sayidina Ali mengatakan, “Janganlah engkau melakukan salat dalam keadaan malas atau mengantuk, juga jangan biarkan pikiranmu mengembara ke mana-mana (sewaktu salat). Karena, salat itu adalah berdiri di hadapan Tuhanmu. Sesungguhnya, pahala yang didapat seorang hamba dari salatnya selaras dengan yang dilakukannya sepenuh perhatian.”

Masih banyak lagi hadis seputar hal ini dan juga manfaat-manfaat kehadiran hati. Di sini, kami akan mengutip sebagian yang memadai bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.

Muhammad bin Ali bin al-Husain, yang bergelar Syaikh al-Shaduq, meriwayatkan dengan isnad-nya dari Abdullah bin Abi Yafur bahwa Jafar al-Shadiq berkata kepadanya, “Wahai Abdullah, apabila engkau menunaikan salat, salatlah kamu seperti orang yang mengucapkan salam perpisahan dan takut kalau-kalau tidak akan pernah kembali lagi (yaitu salat yang seakan-akan itu adalah salat terakhir dalam hidupmu).

“Lalu, pusatkan pandanganmu ke tempat sujudmu. Kalau kamu tahu bahwa ada seseorang di sebelah kiri dan kananmu, kian perhatikanlah salatmu; ketahuilah bahwa kamu berdiri di hadapan Zat yang melihatmu sedangkan kamu tidak melihat-Nya.”

Jafar al-Shadiq berkata, “Aku paling menyukai orang mukmin yang menghadap Allah dengan hatinya pada saat salat, dan tidak mengisinya dengan masalah-masalah duniawi. Karena, apabila seorang hamba menghadap Allah dengan sepenuh hati selama salat, maka Allah akan menghadapkan wajah-Nya kepadanya, dan menghadap pulalah hati orang-orang mukmin kepadanya dengan kasih sayang karena kasih sayang Allah kepadanya.”

MK/IslamIndonesia/Foto utama: Soul Submission

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *