Kolom Haidar Bagir: Tentang Kehalalan Filsafat dan Manfaatnya

islamindonesia.id – Tentang Kehalalan Filsafat dan Manfaatnya
Tentang Kehalalan Filsafat dan Manfaatnya
Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang pendidikan dan keislaman, dan pendiri Gerakan Islam Cinta
Belajar Filsafat haram? Filsafat tak ada dalam Alquran dan Sunah? Jangan kira bahwa soal ini baru dibahas sekarang.
Sejak awal filsafat dikembangkan dalam sejarah Islam, para ahlinya sudah berargumentasi tentang, bukan hanya kebolehan, bahkan kemuliaan filsafat sebagai ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu. Yakni hakikat wujud qua (sebagai) wujud.
Ada al-Kindi, yang disebut-sebut sebagai filosof penting pertama dalam sejarah Islam, yang bahkan sudah menulis fil Falsafah al-Ula dan Manhaj al-Adillah yang di dalamnya dia membuat semacam pembelaan atas filsafat.
Setelah itu kita dapati para filosof Muslim selalu berupaya merujukkan pandangan-pandangan mereka – bahkan yang bersumber dari filsafat Yunani – dengan pandangan-pandangan teks-teks keislaman. Termasuk di dalamnya al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Hingga, belakangan, muncullah Ibnu Rusyd dengan Fashl al-Maqal fi ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah minal Ittishal yang berusaha mendemonstrasikan kesejalanan filsafat dengan syariah.
Bahkan al-Ghazali, yang dikenal dengan bukunya yang berjudul al-Tahafut al-Falasifah (Kehancuran Para Filosof), adalah sebenarnya seorang filosof, sampai akhir hayatnya. Sulit untuk mengindar dari kesan ini jika kita lihat belasan atau bahkan puluhan buku filosofis yang ditulisnya.
Bahkan buku Tahafut itu sesungguhnya menggunakan cara berpikir filsafat, karena yang dikritik al-Ghazali sesungguhnya adalah orang-orang yang biasa disebut filosof (al-falasifah) yang menurutnya tak konsisten dalam metodologi filosofisnya.
Memang persoalannya kemudian kembali kepada pertanyaan: “Apa yang dimaksud dengan filsafat Islam itu?”
Bagi para filosof Muslim dan para pengkaji filsafat Islam, disiplin rasional ini tak lain adalah hikmah, yang disebut-sebut dalam Alquran. Sebuah pencerahan yang oleh Kitab Suci ini di sebut sebagai “kebaikan yang berlimpah.”[1]
Kenyataannya, seperti saya singgung di atas, filsafat Islam – bahkan yang diwarnai oleh Peripatetisme-Aristotelian – dalam matriks filsafat Islam tak pernah benar-benar terlepas dari konsep-konsep fundamental dalam pandangan dunia Islam.
Tentu peristilahan dan cara pengungkapannya tidak selalu sama dengan yang dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman tekstual. Tapi, begitu eratnya hubungan antara filsafat Islam dan sumber-sumber ajaran Islam, sehingga bahkan di era pasca Ibnu Rusyd, hubungan antara filsafat Islam dan teks-teks kewahyuan menjadi makin menonjol dan berkelindan.
Hingga akhirnya, berpuncak di masa Mulla Sadra, filsafat Islam sekali lagi terintegrasikan bahkan dengan ajaran-ajaran tekstual Alquran dan hadis. Jika sudah begini, siapa yang akan bicara tentang keharaman filsafat?
Masih ada salah kaprah tentang filsafat yang perlu sedikit kita jernihkan. Ketika kata “filsafat” disebut, terbayanglah permainan kata-kata sulit nan ruwet — kadang-kadang absurd dan mengada-ada — hanya untuk berbicara tentang soal-soal yang tidak jelas kegunaannya.
Paling bagus, orang akan menganggapnya sebagai “ilmu tinggi” yang hanya dipahami oleh segelintir orang yang memiliki selera agak aneh. Tapi sesungguhnya tidak ada manfaatnya, kalau tak malah menyesatkan.
Kenyataannya, filsafat adalah ibu kandung yang menjadi dasar perkembangan ilmu-ilmu dalam sejarah Islam. Ia menjadi sumber paradigma-paradigma yang — disadari atau tidak — selalu mendasari perkembangan ilmu-ilmu keislaman.
Bagaimana bisa? Di dalam filsafat konsep-konsep seperti Tuhan, keadilan, kebebasan, kebahagiaan, dan berbagai konsep lain yang sentral bagi kehidupan manusia diperbincangkan dan dirumuskan.
Padahal kita tahu bahwa konsep-konsep dasar tersebut harus menjadi elemen-elemen arsitektur ilmu-ilmu keislaman. Tanpa itu, bagaimana ilmu-ilmu Islam akan bisa dikembangkan ke arah prinsip-prinsip ajaran Islam dan tujuan-tujuan diturunkannya syariah?
Maka, sama sekali bukan hal yang aneh jika para ahli fiqih, tafsir, ilmu kalam, dan ilmuwan Muslim adalah sekaligus filosof, mengingat kaitan yang begitu erat bahkan organik, di antara ilmu filsafat dan ilmu-ilmu lainnya itu.
Demikianlah kenyataannya: Perkembangan ilmu-ilmu Islam selalu memiliki basis yang kuat dalam filsafat.[]
Catatan: Untuk pembahasan ringkas dan populer, tapi tak kurang mendalam tentang filsafat Islam, baca buku Mengenal Filsafat Islam (segera terbit), yang merupakan edisi revisi atas Buku Saku Filsafat Islam (2005), masih sama-sama karya Haidar Bagir.
Catatan kaki:
[1] يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan As Sunah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS al-Baqarah [2]: 269)
PH/IslamIndonesia/Foto utama: PH/Islam Indonesia
Leave a Reply