Kolom Haidar Bagir: Mencoba Menggali Makna Batin Ayat Nur

islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Mencoba Menggali Makna Batin Ayat Nur
Mencoba Menggali Makna Batin Ayat Nur
Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah ceruk pelita (misykat) yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu berada di dalam kaca (dan) kaca itu seolah bintang yang bersinar terang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya (saja begitu cemerlang sehingga ia sendiri) seperti menerangi walaupun tak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang mau. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, sedang Allah Maha Mengetahui segala.” (QS an-Nur [24]: 35)
Ada sejumlah filosof, sufi, dan hukama Muslim yang menyoroti secara khusus ayat cahaya ini, termasuk Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Mulla Shadra. Mulla Shadra, meski juga dipengaruhi oleh al-Ghazali, banyak terilhami oleh pandangan sufi (Ibnu ‘Arabi) dan isyraqi (iluminasi), dalam tafsirnya atas ayat cahaya ini.
Menurut Shadra,
- Nur adalah cahaya Wujud-Nya yang mewujudkan atau menghidupkan maujud-maujud (ciptaan-ciptaan), yang
- dinyalakan dalam kaca hakikat-hakikat ruh-ruh yang lebih tinggi atau substansi-substansi intelektual (‘aql/ruh-jabaruti), yang melaluinya lubang (misykat) (tempat) substansi-substansi yang lebih rendah berupa wujud-wujud barzakhi (malakuti) disinari.
- Penyalaan lampu itu terjadi dengan minyak Nafas Rahmani—yakni pita penciptaan, yang terbentuk dari tiupan rahmah-Nya—yang termanisfestasikan dalam martabat-martabat wujud. Martabat-martabat yang lebih rendah (di alam barzakh dan syahadah/empiris) ternyalakan juga, meski api cahaya suci itu tak menyentuh secara langsung.
- Minyak itu dinyalakan dari pohon penuh berkah pancaran paling suci (al-faidh al-aqdas)—sebagai tanazzul pertama-Nya.
- Betapa pun luhurnya pancaran itu, ia tidak bersentuhan dengan Timur “Matahari” Keesaan (Ahadiyah) yang merupakan sumber cahaya—yang Transenden. Dan begitu luhurnya ia sehingga tidak juga ia bersentuhan dengan Barat tempat maujud-maujud gelap ciptaan-ciptaan yang membutuhkan cahaya (istilah Timur-Barat dalam makna ini biasa dipakai oleh para pemikir Isyraqi/Iluminasi, sejak Ibnu Sina).
- Dengan demikian Allah adalah Cahaya di atas cahaya, yakni Cahaya Tertinggi. Sumber bagi cahaya wujud-wujud mungkin (bergantung/mumkin/contingent) di martabat-martabat yang lebih rendah.
Cahaya ini membentuk pohon penuh berkah, yakni pohon emanasi (faydh, pelimpahan cahaya). Ya, seperti pohon yang sebenarnya. Pancaran Ilahi memang berkembang secara vertikal (thuliy) dan horizontal (‘ardhiy) bagai batang, ranting, dan cabang-cabang.
Secara vertikal pancaran itu menghasilkan tingkat-tingkat ruh, dan secara horizontal menghasilkan jiwa dan jasad sesuai tingkat-tingkat ruh tersebut. Persis seperti pola emanasi Plotinian, yang belakangan diadopsi para filosof Muslim.
Tingkat-tingkat ruh itulah yang disebut oleh Shadra sebagai substansi-substansi intelektual/ruhani sebagai pancaran lebih jauh dari pancaran tersuci (pertama) (al-faidh al-aqdas). Pancaran, emanasi (al-faidh) adalah limpahan cahaya Ilahi, melahirkan maujud-maujud/substansi yang lebih rendah. Mulai pancaran paling suci (al-faidh al-aqdas), melewati maujud-maujud ‘aqli/ruhani, hingga wujud barzakhi—yakni wujud mengandung cahaya yang sudah mulai menyentuh materi “gelap”.[]
PH/IslamIndonesia/Foto utama: Detik
Leave a Reply