Sindir Film Barat, Cak Nun: ‘Sedikit-sedikit Kok Ciuman’

IslamIndonesia.id – Sindir Film Barat, Cak Nun: ‘Sedikit-sedikit Ko Ciuman’
Menyikapi era globalisasi, budayawan Emha Ainun Najib berpesan untuk tidak terlalu berharap apalagi bergantung pada pemerintah atau negara. Baik dari ekonomi seperti ‘pasar bebas’, informasi hingga budaya, jika dilihat dari kesiapan bangsa sejauh ini, pertahanan terbaik justru pada diri sendiri. Pria yang akrab disapa Cak Nun ini lalu memberi contoh budaya Barat lewat film yang dengan perkembangan teknologi bisa ditonton hingga di desa-desa.
“Coba lihat film-film Amerika itu, ko ciuman-ciuman aja kerjanya. Sedikit-sedikit cipokan, sedikit-sedikit peluk-pelukan. Saya ko ngga paham dengan kebudayaan Amerika ini,” katanya disambut tawa oleh hadirin yang memadati pekarangan Masjid Nurul Islam, Desa Beji, Sleman, 20/4.
Di era internet seperti sekarang ini, industri film dari manapun hampir bisa diakses tiap orang dan begitu liar. Pria yang juga kerap disapa Mbah Nun ini lalu menjelaskan kebudayaan Jawa yang bersebrangan dengan budaya asing yang merusak itu. Meskipun kemajuan teknologi juga telah menciptakan alat untuk melindungi anak dari akses yang merusak itu, menurut Cak Nun, tetap saja kecolongan.
“Maka yang nomor satu ialah menamankan tata nilai pada diri anak,” katanya sambil menjelaskan nilai-nilai falsafah Jawa seperti ‘molimo’ yang umum diartikan lima pantangan.
Dengan modal budaya dan karunia yang diberikan Tuhan pada diri manusia masing-masing, Cak Nun mendorong masyarakat untuk tidak pesimis mendidik anak-anak dalam menyikapi arus globalisasi ini. Penulis buku ‘Demokrasi La Raiba Fih’ ini lalu mencontohkan bagaimana mengawal anak-anak dalam menanamkan nilai-nilai luhur dalam dirinya tanpa harus membuat mereka terasing dari perkembangan teknologi.
“Kita berikan kunci-kunci hidup secara istiqamah, sampai anak kaget sendiri dengan apa yang ia lakukan,” katanya.
Pria kalahiran Jombang ini lalu menjelaskan akhlak yang baik sebagai pondasi pertama dibangun dalam diri kita masing-masing termasuk dalam mendidik anak. Akhlak yang baik merupakan manifestasi dari keyakinan bahwa Allah-lah yang menjamin hidup tiap makhluk-Nya.
“Berusahalah, Insya Allah ada hasilnya. Jangan takut melarat, terus berjuang dan berjuang,” katanya mendorong masyarakat untuk tidak lelah mendidik anak-anak sebagai salah satu ‘pertahanan diri’ yang terpenting.
Jatuh bangun, menurut Cak Nun itu biasa. Bahkan, katanya, kadang-kadang harus prustasi menghadapi probelematika yang dihadapi. Oleh sebab itu, untuk menjaga istiqamahnya akhlak baik, pria yang pernah nyantri di Ponpes Gontor ini menawarkan untuk mendidik diri sendiri dengan pendekatan militer. Pendidikan militer ini juga, kata Cak Nun, seharusnya ditanamkan pada masing-masing anak, sedemikian sehingga ia bisa bangkit memimpin dirinya sendiri.
“Anak dididik harus keras pada dirinya. Wani (berani) melawan dirinya sendiri. Wani melawan hawa nafsunya. Bukan Anda keras pada anak Anda, tapi anak Anda sendiri keras terhadap dirinya sendiri,” katanya.
Setelah menjelaskan pentingnya pendidikan militer bagi diri sendiri, Cak Nun lalu berkisah tentang pengalaman-pengalaman hidupnya. Hingga kini, katanya, Cak Nun hidup bersama keluarga tanpa pembantu, bahkan ia masih mencuci pakaian sendiri. “Saya hidup sebagaimana saya hidup dulu. Karena saya keras terhadap diri saya sendiri.”
Ketiga, lanjut penulis puisi ‘Lautan Jilbab’ ini, ialah ‘akuntansi’ atau muhasabah ditanamkan pada diri anak. Artinya, dididik untuk bertanggungjawab dengan apa yang mereka perbuat. “Harus mengerti sebab akibat. Harus diajar untuk menanggung resiko atas perbuatannya.”
Cak Nun lalu memberi contoh jika anak pecahkan gelas, maka ia harus ditemani memungut pecahan beling, meski ia hanya bisa memungut satu atau dua pecahan. “Agar ia mengalami tanggung jawab terhadap perbuatannya,” katanya.
Terakhir, tanpa menafikan imbas negatif dari IT (information technology), anak harus memahami teknologi seperti smartphone. “Mau tidak mau, anak harus memahami IT. Memang negatifnya banyak. Ada game-game yang merusak. Waktunya tidak terkontrol. Tapi jangan menyerah, kita kontrol terus dan sisi postifinya diperbanyak,” katanya sambil memberi contoh seorang anak yang belajar dari leptopnya bisa menguasai bahasa asing meskipun tidak pernah kursus.
Ditanya soal Masyarakat Ekonomi ASEAN, kepada warga desa yang dikenal sebagai pengerajin blangkon itu, Cak Nun kembali menegaskan jika belum punya pemerintahan yang baik atau pemimpin yang baik, maka satu-satunya pertahanan ialah diri kita masing-masing. Cak Nun pun mengajak warga desa setempat untuk memperkuat solidiritas, tidak mudah dipecah-belah, saling memperkuat dalam bidang ekonomi dan membantu tetangga yang membutuhkan.
Di sela-sela dialog dengan warga setempat, intelektual Muslim yang juga penyair ini menghibur warga dengan pementasan seni Kiai Kanjeng. Sesekali senandung shalawat menggema diikuti suara kor warga. Sejumlah anak-anak warga setempat secara sepontan diminta Cak Nun tampil di atas panggung. Bagai anak sendiri, mereka dipeluk, digendong, diajak berdialog, dan dilatih tampil kompak oleh Cak Nun. Di depan ratusan bahkan ribuan pasang mata, anak-anak itu pun dengan percaya diri tampil bernyanyi dan menghafalkan surat-surat pendek dari Alquran meski tanpa persiapan sebelumnya.
“Di masyarakat, umat Islam banyak yang bertengkar karena perbedaan madzhab atau pemikiran, tidak kompak, tidak sanggup menjadi satu badan yang yasyuddu ba’dhuhum ba’dhon (menguatkan sebagian atas sebagian lainnya). Bangsa Indonesia juga demikian. Tetapi, ancaman-ancaman itu tidak akan bisa benar-benar menghancurkan kita, kalau anak-anak ini pendidikannya berjalan dengan baik, asal masjid-masjid makmur dan dijaga dengan baik pula…,” katanya disambut riuh tepuk tangan oleh warga Desa Beji. []
Edy/Islam Indonesia/ Foto: Adin/@mocopatsyafaat
Leave a Reply