Satu Islam Untuk Semua

Friday, 13 July 2018

Nilai Moral Islami dalam Ungkapan Tradisional Jawa


islamindonesia.id – Nilai Moral Islami dalam Ungkapan Tradisional Jawa

 

Sebagai bangsa multikultural, bangsa Indonesia mempunyai aneka ragam kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut tumbuh sesuai dengan warna lokal dan kultur masing-masing suku bangsa, tak terkecuali dalam budaya suku Jawa.

Di antara salah satu kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa adalah ungkapan tradisional yang di dalamnya sarat muatan nilai-nilai moral. Yakni nilai-nilai luhur bersifat universal, yang jika ditilik lebih jauh ternyata juga bersesuaian dengan nilai-nilai moral dalam Islam.

Sebelum membahasnya lebih lanjut, mungkin ada baiknya kita kenali sekilas apa yang disebut sebagai ungkapan tradisional dimaksud dan seperti apa posisinya di tengah masyarakat Jawa.

Ungkapan tradisional Jawa mempunyai cakupan paribasan, bebasan, dan saloka. Paribasan adalah ungkapan tradisional yang mempunyai makna apa adanya tidak bermakna kias. Bebasan adalah ungkapan yang bermakna kias, saloka adalah ungkapan yang mempunyai arti berbalikan. Selanjutnya dalam percakapan sehari-hari ketiga jenis bentuk tersebut disebut paribasan.

Sebagai sebuah tradisi dan folklor lisan, maka ungkapan tradisional mempunyai nilai-nilai yang dijabarkan dari pandangan hidup masyarakat pembuatnya. Dengan mengambil nilai-nilai ungkapan tradisional, maka masyarakat bisa memahami bagaimana nenek moyang atau masyarakat yang menghasilkan ungkapan tersebut memandang dan menyikapi hidup, agar tercipta keselarasan dan keharmonisan. Oleh karena itu secara umum masyarakat Jawa dipandang sebagai masyarakat yang selalu berpijak pada terciptanya harmoni manusia dengan Tuhan, sesamanya, masyarakat, dan lingkungan.

Ungkapan tradisional menunjukkan etika berbahasa masyarakat Jawa. Hendrokumoro (2010:3), menyebutkan ajaran etika sama dengan pepali, unggah-ungguh, subasita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, warsita, wewarah, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Sementara itu, orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa (Suseno dalam Hendrokumoro, 2010:3).

Selanjutnya, apa saja ungkapan tradisional yang merupakan warisan berharga dari para leluhur dan mengandung nilai moral Islami tersebut? Berikut ini beberapa di antaranya.

“Agama ageming aji

Ungkapan tradisional tersebut mempunyai arti bahwa agama adalah busana yang mulia, atau dapat pula diartikan bahwa agama harus menjadi landasan pandangan setiap warga masyarakat tak terkecuali para pemimpin mereka dalam bertindak.

Agama adalah segenap kepercayaan atau keyakinan serta ajaran dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan atau keyakinan tersebut. A berarti tidak, gama artinya rusak. Jadi, suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya maka membuat masyarakat tidak rusak. Bagi pandangan masyarakat Jawa agama diibaratkan sebagai busana. Untuk kehidupannya, manusia membutuhkan busana yang setiap hari dipakai. Untuk itu, busana yang paling berharga dan mulia adalah agama.

Dengan kata lain, agama adalah tiang kehidupan. Sementara itu seorang pemimpin sebaiknya memimpin dengan dasar keagamaan. Karena bagi nenek moyang masyarakat Jawa, pemimpin adalah juga pemimpin agama. Dengan demikian, rakyat akan menerima berkah atas kedudukannya. Oleh karena itu, pemimpin harus memperhatikan rakyat, sesuai dengan apa yang diajarkan agama.

“Manekung anungku samadi”

Masyarakat Jawa percaya bahwa hidup ini sangat keras dan mesti dilalui dengan penuh perjuangan. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalu berupaya dan berdoa kepada Allah sebagai tumpuan, agar mereka berhasil dalam menjalani kehidupan.

Dari kesadaran inilah kemudian muncul ungkapan tradisional Manekung anungku samadi, yang mempunyai arti melakukan semedi, mengheningkan cipta dan berdoa untuk memohon ridha dan pertolongan Allah.

Bagi masyarakat Jawa, samadi merupakan aktivitas yang sudah umum dilakukan generasi tua untuk pengolahan jiwa, membersihkan jiwa dari yang negatif dan melakukan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Samadi diyakini akan menghasilkan jiwa yang bersih, penuh dengan keimanan dan kearifan yang tinggi.

“Manungsa saderma nglakoni”

Arti ungkapan tradisional tersebut adalah manusia sekadar menjalani. Manusia merencanakan dan berusaha, namun Allah yang menentukan semuanya. Masyarakat Jawa menyikapi fenomena kegagalan dari suatu usaha keras atau rencana dengan kepasrahan yang dalam. Kepasrahan tersebut disertai keimanan yang tinggi, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan tradisional berikutnya, yaitu Gusti ora sare.

“Gusti ora sare”

Ungkapan tradisional tersebut berarti Allah tidak pernah tidur, Allah mengetahui apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang secara nyata maupun secara sembunyi.

Orang Jawa meyakini bahwa Tuhan ada dimana-mana dan mengetahui yang baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia, mengetahui orang yang sudah melakukan perjuangan untuk kebaikan, pasti suatu ketika akan mendapat imbalan dari Allah. Prinsip keimanan inilah yang diyakini orang Jawa bakal mampu membuat kehidupan menjadi tenteram.

“Manunggaling kawula Gusti”

Ungkapan tradisional tersebut bermakna kesatuan hamba dengan Tuhan. Ungkapan ini kerap menjadi konsep yang banyak menjadi dasar penulisan karya-karya sastra suluk. Konsep ini sering juga disebut sebagai wahdatul wujud. Artinya, manusia yang sudah melakukan laku sampai tataran tertinggi akan dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam Suluk Wujil bahkan disebutkan tentang mistik cermin yang dimaknai bahwa orang yang telah sempurna perbuatan baiknya maka manusia tersebut akan memiliki sifat-sifat Tuhan. Oleh karena itu, dengan keimanan yang tinggi maka manusia akan mampu untuk mencapai laku tertinggi dengan ibadah. Seperti halnya orang yang bercermin, bila cermin bersih akan mencerminkan semua keadaan benda atau orang yang bercermin.

Di sisi lain, konsep Manunggaling kawula Gusti kadang juga sering dimaknai sebagai konsep manunggaling rakyat dengan pemimpin atau rajanya.

Itulah di antara beberapa ungkapan tradisional warisan leluhur yang hingga kini masih dipegang teguh oleh masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupannya.

 

EH / Islam Indonesia

0 responses to “Nilai Moral Islami dalam Ungkapan Tradisional Jawa”

  1. […] bangsa multikultural, bangsa Indonesia mempunyai aneka ragam kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut […]

Leave a Reply to Nilai Moral Islami dalam Ungkapan Tradisional Jawa Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *