Satu Islam Untuk Semua

Friday, 05 August 2016

KHAS—Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi (Bagian Pertama)


IslamIndonesia.id—Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi (Bagian Pertama)

 

Gundul-gundul Pacul cul

Gembelengan

Nyunggi-nyunggi wakul kul,

Petentengan

Wakul nggelimpang segane dadi sak latar

Wakul nggelimpang segane dadi sak latar

 

Siapa tak kenal syair lagu di atas? Di kalangan masyarakat Jawa, lagu ini begitu populer. Tak hanya anak-anak yang menggemarinya, karena lagu itu memang tergolong tembang dolanan, kaum dewasa pun tak jarang juga suka sekali melantunkannya di waktu-waktu senggang keseharian.

Banyak faktor yang menyebabkan lagu ini demikian dikenal dan hingga kini tetap lestari. Selain karena syairnya yang singkat dan mudah dihafal, irama lagunya pun terasa ringan dan riang. Sangat cocok dinyanyikan sebagai senandung penghilang gundah di tengah padatnya kesibukan.

Tapi siapa sangka bahwa di balik tembang dolanan hasil karya para Wali di era Wali Songo ini, terkandung makna religius yang sangat mendalam?

Siapa mengira bahwa dalam lagu berirama ringan dan riang itu justru terkandung sindiran tajam tingkat tinggi—yang dalam istilah Jawa biasa disebut Oslop— terhadap suatu kaum atau sekelompok penganut agama yang karena lemahnya pemahaman mereka tentang agama, membuat kelompok ini menjadi arogan, mudah merendahkan sesamanya dan kelompok lain?

Inilah sejenis pengeling-eling atau tetenger, sekaligus sindiran pedas yang secara khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang mengaku berilmu, yang disebabkan oleh belum cukup tingginya ilmu mereka, membuat mereka sombong dan cenderung gampang merendahkan pihak lain.

Betapa banyak di tengah kita, sebagian kalangan yang sedang dalam taraf belajar dan masih sedikit ilmunya, malah punya kebiasaan dan kecenderungan banyak bicara? Hal ini mungkin disebabkan oleh kekaguman atas ilmu baru yang belum lama mereka dapatkan dan sedang mereka pelajari, sehingga kebanyakan dari mereka dihinggapi rasa ingin bersegera memamerkan atau memperlihatkan kepada orang lain tentang ilmu tersebut. Padahal tanpa mereka sadari, apa yang hendak mereka sampaikan itu sesungguhnya merupakan hal yang teramat sangat biasa bagi kalangan yang sudah berilmu.

Akibat lupa diri, orang-orang semacam inipun seolah tanpa malu kerap menyombongkan diri. Banyak dari mereka yang gemar menyalahkan orang lain, merendahkan ilmu dan menyepelekan ibadah orang lain karena merasa dirinyalah yang paling tahu, paling paham dan karenanya juga merasa paling benar. Merasa ilmu yang dimilikinya sebagai ilmu tertinggi dan seolah tak ada lagi ilmu lain lagi yang mesti dipelajari. Seolah semua yang dipahaminya soal agama sudah pungkasane kaweruh, puncaknya ilmu, hanya karena anggapan dan klaim sepihak bahwa itu sudah berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah, maka mustahil akan ada yang mampu membantah.

Subhanallah, bukankah sesuatu yang luar biasa bahwa ternyata sudah sejak jauh hari para Wali mengingatkan kita agar berwaspada terhadap kemunculan sekelompok orang yang maunya benar dan menang sendiri, tak ubahnya tabiat kaum Wahabi di tengah kita saat ini?

Pertanyaannya: jika benar demikian, kenapa tembang yang menyimpan makna religius nan agung itu justru dikemas oleh para wali pada masa itu sebagai tembang dolanan anak-anak?

Kenapa tak sebaliknya, lagu yang berisi pesan serius itu dijadikan tembang serius pula bagi kalangan dewasa? Bukankah para Wali juga banyak melahirkan karya-karya lain seperti Maskumambang, Dandang Gulo, Sinom, Pangkur, atau beragam Syi’ir yang di dalamnya memuat pesan moral yang lebih mudah dimengerti oleh orang dewasa?

Jika kita pikirkan lebih mendalam, justru itulah keunikannya. Betapa para Wali sangat cerdas dalam memperhitungkan strategi dakwah mereka agar lebih terasa dampak dan kesinambungan dakwah tersebut bagi kalangan masyarakat luas, bahkan dalam rentang waktu lintas zaman.

Terbukti, dengan menjadikan lagu Gundul-Gundul Pacul ini sebagai sebuah tembang dolanan anak-anak, ia pun menjadi lebih terjaga dan lestari, jauh lebih melegenda, lebih kontemporer, dan tak lekang dimakan zaman. Sementara kita tahu, faktanya banyak sekali jenis lagu orang dewasa yang seringkali tak mampu bertahan meski hanya dalam hitungan bulan dan tahun.

Kembali ke makna tersirat di balik tembang Gundul-Gundul Pacul, berikut ini penjelasannya berdasarkan arti kata per kata:

Gundul: kepala/otak

Pacul: cangkul, menggambarkan kaum petani/kaum awam /bukan cendekia

Gembelengan: berjalan dengan kepala digerak-gerakkan pertanda angkuh

Nyunggi: sunggi, menaruh barang di atas kepala

Wakul: tempat (wadah) nasi yang terbuat dari anyaman bambu

Petentengan: berkacak pinggang pertanda sombong

Nggelimpang: jatuh/tumpah

Segane: sego(nasi)-nya

Dadi: jadi/menjadi

Sak: satu

Latar: halaman rumah

Itulah makna kata per kata dari keseluruhan syair lagu Gundul-Gundul Pacul.

Lalu seperti apa penjelasan lebih jauh berkenaan dengan makna lebih mendalam tembang dolanan ini, berdasarkan kalimat per kalimat?

Dan apa pula hubungannya dengan ciri-ciri dan tabiat utama kaum Wahabi yang digambarkan sangat identik dengan isi pesan tersirat dalam lagu tersebut?

(Bersambung…)

 

EH/IslamIndonesia

0 responses to “KHAS—Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena Wahabi (Bagian Pertama)”

  1. robiyanto says:

    Membantu anak anak sejarah masa lalu

  2. kholisin says:

    subhanallah.. begitu cerdasnya para wali dalam berdakwah… dengan kebijaksanaan, dan dengan syiir yang penuh makna keindahan…
    ibarat memancing tidak sampai airnya keruh…

Leave a Reply to kholisin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *