Gamelan Sekaten, Sarana Dakwah Islam

islamindonesia.id – Gamelan Sekaten, Sarana Dakwah Islam
Gending gamelan menggema di halaman Masjid Agung Surakarta. Masyarakat pun berbondong-bondong menyaksikan pertunjukan gamelan yang hanya berlangsung menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad.
Namun sebelum masuk ke area masjid, masyarakat diminta membaca dua kalimat syahadat terlebih dahulu. Masyarakat diajak memeluk dan belajar agama Islam.
Suasana tersebut terjadi di masa awal perkembangan Islam di Jawa, khususnya Surakarta. Seni gamelan memang menjadi salah satu sarana penyebaran Islam kala itu.
Prosesi ungeling gamelan tersebut ialah sebagai tanda dimulainya sekaten pada tanggal 5 bulan Rabiulawal atau bulan Mulud dalam kalender Jawa. Puncak acara sekaten ialah saat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, yakni 12 Rabiul Awal.
“Dulu masyarakat kalau mau nonton gamelan harus belajar atau membaca syahadat. Di tembok utara masjid itu juga ada tembok Kalimosodo, dulu dipakai untuk membaca syahadat,” kata Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Dipokusumo, Minggu (3/11).
Meski fungsinya bergeser, tradisi sekaten tersebut masih berlangsung hingga kini. Tahun ini, Keraton Kasunanan Surakarta, selaku penggelar acara, memulai rangkaian sekaten pada 2 November hingga 9 November 2019.
Prosesi sekaten dimulai dengan dibunyikannya gamelan Kyai Guntur Madu yang memainkan gending Rambu. Kemudian gamelan Kyai Guntur Sari memainkan gending Rangkung.
Dua gamelan yang masing-masing berada di Bangsal Pradonggo dan Bangsal Pragangga secara silih berganti memainkan musik bernuansa magis tersebut. Musik tidak dimainkan saat waktu salat dan di hari Jumat.
Pria yang akrab disapa Gusti Dipo itu menjelaskan bahwa simbol-simbol dalam sekaten banyak yang terkait dengan Islam.
“Sekaten itu berasal dari kata syahadatain atau dua kalimat syahadat. Gending Rambu itu simbol syahadat tauhid, sedangkan gending Rangkung itu simbol syahadat rasul,” ujar Dipo.
Sejarawan Surakarta, Heri Priyatmoko, mengatakan nuansa Islami tampak dalam tradisi gamelan sekaten tersebut. Salah satunya dengan tiadanya sinden atau penyanyi wanita dalam seni karawitan itu.
“Sesuai maksud sekaten yang berkaitan dengan tuntunan Islam, maka rangkaian upacara menabuh gamelan dilakukan tanpa pesinden. Selain itu, gamelan berhenti di saat waktu salat dan di hari Jumat,” kata Heri.
Dosen sejarah Universitas Sanata Dharma itu mengatakan bunyinya gamelan saat itu menjadi hal yang ditunggu-tunggu masyarakat. Oleh Sunan Kalijaga, gamelan digunakan sebagai sarana mendakwahkan Islam melalui budaya Jawa.
“Jadi bukan mengislamkan Jawa, tapi justru ini menjawakan Islam, dengan cara sekaten itu. Masyarakat diminta membaca syahadatain, artinya Islam disyiarkan dengan damai, tidak mengedepankan konflik, dengan pendekatan kultural,” pungkasnya.
Rangkaian upacara sekaten akan ditutup dengan Grebeg Mulud. Dua pasang gunungan akan dikeluarkan dari keraton ke halaman Masjid Agung untuk dibagikan kepada masyarakat.
PH/IslamIndonesia/Sumber: detik.com/Foto Fitur: Liputan6.com/Fajr Abrori
Leave a Reply