Ewako dan Tiga Nilai Dasar Masyarakat Bugis Makassar

islamindonesia.id – Ewako dan Tiga Nilai Dasar Masyarakat Bugis Makassar
Ewako atau rewako adalah sebuah kata yang akrab di telinga masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Bugis Makassar. Penyebutan kata ewako biasanya digandengkan dengan sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu.
Para suporter PSM memekikkan “Ewako PSM” ketika tim kebanggaannya berlaga di lapangan hijau. “Rewako Gowa” juga terukir indah pada sebuah tebing, sebelum masuk ke kota bunga Malino nan sejuk. Kata tersebut telah berfungsi sebagai pembakar solidaritas masyarakat Sulawesi Selatan.
Menurut Kamus Populer Inggris-Makassar, Indonesia-Makassar, kata rewako merupakan terjemahan dari kata ‘berani’ dalam bahasa Indonesia, dan ‘brave’ dalam bahasa Inggris. Keberanian masyarakat Bugis-Makassar tergambar dalam semboyan pelaut Bugis-Makassar “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”.
Kata ewako kadang juga dikonotasikan negatif apabila kita tidak memahami makna sebenarnya dengan tepat. Ewako dapat dipahami hanya sebuah kata emosional dari seseorang yang menantang orang lainnya untuk berkelahi. Untuk itu kita harus memaknai kata ewako dengan tepat.
Salah satu perspektif untuk memaknai kata ewako ialah dengan menggali dan menghayati nilai-nilai kultural masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri.
Paling tidak ada tiga hal yang sangat dijunjung oleh masyarakat Bugis-Makassar, yaitu siri’, pesse’, dan were’.
Siri’ merupakan sebuah sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian, yang merupakan pranata pertahanan diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Dengan kata lain, siri’ adalah pandangan hidup yang bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat pribadi, orang lain atau kelompok, dan terutama negara.
Pesse’ atau dalam bahasa Makassar pacce’ secara bahasa berarti pedih, perih. Ini berarti pacce’ mengandung makna rasa iba. Pesse’ bisa juga diartikan sebagai rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menyalakan semangat rela berkorban, bekerja keras dan pantang mundur.
Were’ adalah kepercayaan pada diri sendiri yang teguh, bahwa hanya dengan ketekunan dan kerajinan yang dilandasi dengan kecakapan, kejujuran, kebenaran, ketegangan serta kesabaran, maka nasib seseorang atau sesama warga negara dapat diperbaiki.
Kepercayaan pada diri sendiri ini tidaklah dapat dipisahkan dari kepasrahan dan pengandalan diri orang terhadap Tuhan. Hal ini tergambar dalam pengajaran adat Bugis-Makassar, Teako assalaknu rannuang, pangngapettaina Allataala rannuang. Artinya: Janganlah mengharapkan asal-usul keturunan, kasih Tuhanlah yang harus diharapkan. Ini mengajarkan agar manusia tidak berlaku sombong dengan membanggakan asal keturunannya, karena ada yang berkuasa terhadap manusia yaitu Tuhan.
Bokona Loko
“Teai Mangkasara’ Punna Bokona Loko”. Sepenggal peribahasa yang menunjukkan sebuah simbol keberanian orang Makassar, yang pantang mundur dalam menghadapi masalah. Sama persis dengan peribahasa Bugis yang berbunyi “Majeppu tania ugi,narekko tania arona maloo”. Ini sangat berkaitan dengan semangat ewako yang dimiliki orang Bugis-Makassar. Semangat dan jiwa keberanian ini pula yang mengantarkan orang-orang Bugis-Makassar berkeliling nusantara melawan penjajah, dan sekaligus menuntut balas atas kekalahan mereka.
Kita baca dalam sejarah, bagaimana sepak terjang dan keberanian Karaeng Galesong di Madura, Syech Yusuf di Banten atau Raja Haji Fisabililah di bumi Melayu. Mereka adalah contoh kecil dari banyak tokoh Makassar yang menorehkan sejarah di bumi persada maupun di mancanegara, yang jasa-jasa dan hasil perjuangannya tetap terkenang abadi sampai saat ini.
EH / Islam Indonesia
Leave a Reply