Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 10 February 2016

DARI POJOK PASEBAN – Betawi oh Betawi


Betawi Tempo Doeloe vs Si Doel Anak Sekolahan

Betawi Tempo Doeloe vs Si Doel Anak Sekolahan

DARI POJOK PASEBAN – Betawi yang diklaim sebagai nama suku, atau hanya ragam logat bahasa, telah menjadi buah bibir bagi generasi 90-an sejak tayangnya serial Si Doel Anak Sekolahan (SDAS). Alih-alih mengangkat harkat dan martabat pemilik tanah Jakarta, sinetron ini justru memporak-porandakan citra Betawi di mata masyarakat tanah air maupun dunia. Apa pasal?

Pertama, lagu pengiring yang diulang-ulang tiap kali SDAS tayang mau tidak mau mencekoki khalayak bahwa ‘Anak betawi ketinggalan jaman’ sekalipun ada alibi ‘Katenye’ di ujung bait. Kalau sudah dianggap ketinggalan jaman, maka sudah selayaknya orang-orang Betawi ini ditekuk oleh pemilik modal dan tanah mereka harus diakuisisi.

Kedua, SDAS menggunakan latar Cinere-Gandul yang notabene ‘Pinggiran Betawi’, bukan ‘Betawi kota’ yang sedikit lebih maju peradabannya akibat akulturasi dengan pelbagai budaya anak negeri lain. Ini tentu saja mengingat hilir mudiknya para pelancong lewat jalur Sunda Kelapa. SDAS lebih memilih Cinere-Gandul ketimbang kampung Paseban, Kenari, bahkan Tanah Abang sebagai latar sinetron bukan tanpa alasan. Alasan sederhananya tentu saja kawasan Cinere-Gandul di era 90-an masih rimbun dan sejuk. Citra yang ingin dibangun adalah Betawi tempo doeloe. Bukan Betawi yang penuh kemacetan.

Ketiga, pemeran yang ditampilkan SDAS tidak mewakili figur inti dalam masyarakat Betawi. Hubungan kyai dan jawara dalam masyarakat Betawi memiliki peran penting dalam menjaga regenerasi warga Betawi. Mengapa? Warga Betawi memiliki ikatan khusus dengan para kyai dan jawara dalam keseharian mereka. Kyai atau tokoh agama di dalam masyarakat Betawi merupakan teladan. Mereka dalam masyarakat tampil tidak sekedar memberi nama anak-anak yang lahir tapi juga memberikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi warganya.

Sinetron SDAS memang menampilkan sosok Benyamin Syueb yang dianggap mewakili masyarakat Betawi, namun peran yang diemban hanyalah sebagai seorang yang rela banting tulang narik oplet sampai menjual tanahnya demi selembar ijazah sarjana bagi anaknya, Si Doel. Ini juga salah satu bentuk indoktrinasi buruk dalam film dan bentuk pembodohan bagi masyarakat Betawi.

Apalah artinya selembar kertas hanya untuk memperoleh kerja? Padahal lembaran surat tanah itu lebih berharga ketimbang selembar ijazah. Bukankah selembar surat tanah dapat menjadikannya dan mungkin tujuh turunannya bercocok tanam dan makan dari hasilnya? Sementara selembar kertas ijazah hanya dapat memperoleh sebuah pekerjaan yang belum tentu bermanfaat bagi anak keturunannya. Bukankah tanah lebih hakiki ketimbang selembar ijazah?

Tidak sedikit warga Betawi yang semula memiliki tanah yang kemudian menjualnya dengan harga menggiurkan dengan berbagai alasan justru menjadi warga kelas dua dan sanak keluarganya terpisah-pisah jauh darinya. Sementara itu, para pemilik modal justru menikmati hasil yang berlipat ganda akibat lonjakan ekonomi yang terjadi setelah tanah itu menjadi mall, hotel, pasar dan sebagainya.

Ambil contoh Tanah Abang, pemilik modal membeli tanah seorang warga Kebon Melati seharga 1 hingga 10 M, kemudian pemilik modal mendirikan bangunan bertingkat-tingkat untuk dijadikan pasar. Alangkah ironisnya, warga yang dibeli tanahnya tadi dalam jangka dua-tiga tahun hanya memiliki modal untuk berniaga. Lantas menyewa sebuah petakan atau lapak di pasar yang dulu pernah dimiliki.

Entah mengapa, sejak sinetron SDAS ini tampil di layar kaca, harga tanah di pinggiran kota Jakarta itu justru melejit dan membuat kaum pemborong berlomba mengkavling-kavling kawasan itu. Kemanakah warga Betawi yang tinggal di Cinere dan Gandul sekarang? Semoga mereka tidak sepunah warga kampung Senayan.

Bersambung …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *