Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 09 February 2016

SURAT dari TAYU – ‘Mbedil Manuke Dewe’


Pak pung pak mustape
Ono manuk mabur dewe
Arep tak bedil aku sa’ake
Jebul-jebul manukku dewe

Lagu di atas masyhur di daerah lereng Muria, Pati Utara. Awalnya lagu ini lagu daerah Betawi lalu diplesetkan oleh para pelawak grup kesenian tradisional Barongan Desa Kalikalong, Tayu, Pati. Baris pertama masih orisinil dari Betawi, baris berikutnya bahasa Jawa. “Ada burung terbang sendiri. Ingin ku tembak aku kasihan. Ternyata itu burungku sendiri”, itulah arti tiga baris terakhir.

Ternyata lagu era 90-an tersebut sedang ‘menembak’ kita di dekade ini, di mana suara citizen tenggelam oleh suara netizen. Munculnya situs-situs bermodal Rp 200.000 dan juga akun jejaring sosial gratis, bisa menciptakan suasana penuh emosional dan tak jarang yang timbul adalah emosi kebencian. Padahal dunia maya tidak seperti dunia nyata yang bisa dilihat langsung untuk penilaian yang obyektif.

Kebanyakan obyek yang dibenci dalam kebencian dunia maya adalah bayangan-bayangan yang timbul dalam diri kita sendiri. Berita-berita yang menggiring opini lewat situs-situs penyebar kebencian itu membentuk suatu bayangan yang seringnya sangat dari kenyataan. Di tambah lagi di dunia nyata, kita sulit menemukan dan berhubungan langsung dengan obyek yang kita benci. Mayoritas obyek yang kita benci adalah minoritas. Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, Sekuler, liberal, bahkan juga Wahhabi dan ISIS serta yang belakangan adalah LGBT yang banyak orang membencinya tanpa tahu singkatannya.

Obyek kebencian tersebut bisa demikian memberhala, mendapat bentuk syakhshiyah (personifikasi) yang sedemikian kuat sehingga seperti sesosok makhluk. Sayangnya makhluk tersebut hanya lahir di benak kita sendiri, sangat berbeda dengan yang sebenarnya meskipun namanya sama dengan yang nyata yang entah mereka di mana dan jumlahnya berapa. Sebagaimana disebut dalam lagu di atas, obyek kebencian itu adalah “manukku dewe”. “Manukku dewe” tersebut kita ”bedil” dengan ujaran kebencian dan bully yang bertubi-tubi sepuas kita tanpa kasihan. Kalau obyek tersebut ternyata kita sendiri yang menciptakan di dalam benak kita, maka sebenarnya obyek itu bukan obyek, tapi subyek kita sendiri.

Kalau saja kita bukan termasuk netizen, tentu kita tidak akan pernah tahu Syiah itu apa, Ahmadiyah itu bagaimana, Sekuler dan Liberal itu yang seperti apa dan lain sebagainya. Bahkan yang membenci Sekulerisme dan Liberalisme mempertandingkan keduanya dengan agama, entah itu artinya menaikkan Sekulerisme dan Liberalisme selevel tanding dengan agama atau justru menurunkan level agama. Di kurikulum sekolah kita tidak akan mendapat informasi yang valid dan akurat tentang aliran, isme dan kelompok-kelompok tersebut. Di dunia nyata kita buta, sedang di dunia maya kita tidak tahu mana yang benar mana yang dusta. Yang ada kita hanya bermain-main dengan “manukku dewe” tadi yang “mabur dewe” tanpa kita sadari.

Entah sampai kapan suasana penuh nafsu kebencian ini terus berlangsung. Setidaknya harus ada rasa kasihan sebelum kita benar-benar menembak burung yang kita incar, karena jika akhirnya terjadi letusan pada puncak kebencian tersebut, kita akan menyesal bahwa yang kita tembak adalah diri kita sendiri, Garuda kita sendiri, saudara seagama sendiri, bangsa kita sendiri. Sebagai bangsa yang diwarisi kearifan “Pangruwating Diyu” (meruwat keburukan) tentunya cara kita membenahi persoalan bukan dengan ujaran kebencian.

“Karena nafsu kita adalah sebagian dari neraka
Sebagian itu selamanya sama dengan seluruhnya”
(Masnawi Ma’nawi, Jilid 1 bab 76, Maulana Jalaluddin Balkhi Rumi)

Ammar/IslamIndonesia

One response to “SURAT dari TAYU – ‘Mbedil Manuke Dewe’”

  1. wonggolilo says:

    moga jadi pencerahan bagi netizen yg hobby “ikut2an” menghujat.

    ….amore…. U’re my man …

Leave a Reply to wonggolilo Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *