Satu Islam Untuk Semua

Friday, 10 January 2014

Suatu Hari di Poso


groups.yahoo.com/neo/groups/debat-alkitab/conversations/topics/24371

“Apa yang harus saya katakan tentang suatu pertumpahan darah yang dikatakan atas namaNya ?”

Saya ingat suatu senja yang murung. Saat itu saya berdiri sambil termenung di sebuah gereja di Lombogia,Poso. Seorang Borgo yang mirip Anthony Quin menghampiri saya. Ia bertanya dengan ramah apa yang saya lakukan di gereja yang sudah hancur lebur itu?

“Saya hanya ingin melihatnya,”kata saya.

“Anda pasti wartawan?”

Saya tidak bisa berkata apa-apa untuk menjawabnya kecuali tersenyum.

Ia lantas bercerita tentang pertempuran beberapa tahun lalu. Saat serombongan orang bersenjata merangsek Lombogia dan menghancurkan apa saja yang mereka temui: rumah, gereja, pos polisi,kantor pemerintahan. Demi menghadapi penyerangan itu, orang-orang Lombogia tentu tak diam saja. Mereka melawan dengan senjata apa adanya. Dan pertempuran pun berlangsung sampai lewat tengah malam hingga membakar dan meluluhlantakan seluruhnya.

“Bapak ikut dalam pertempuran itu?”Saya coba mengekplorasi dengan sebuah pertanyaan.Selaiknya seorang libero yang coba mengumpan sebuah bola ke depan gawang: menciptakan peluang dramatis.

Ia menggeleng. Alih-alih menghamburkan cerita yang dramatis soal keterlibatannya dalam pertempuran itu,kesedihan malah mencuat di raut wajahnya yang keeropa-eropaan. “Saya benci perang,”katanya hampir tak terdengar,”Dua anak saya mati karena itu. Saya menemukan mereka tanpa kepala di tepian Teluk Poso,”

Saya menatap mata biru Borgo tua itu. Kosong, sayu namun penuh dengan kenangan. Sebuah sorot mata yang sama yang juga saya temukan saat berbicara dengan seorang nenek tua di KM 9 beberapa jam setelah terjadi sebuah pembantaian: puluhan santri Pesantren Walisongo disembelih oleh milisi Kristen dalam Kerusuhan Poso.

“Tak ada gunanya kitorang bakale,”katanya.

Saya catat kata-kata nenek tua itu diam-diam. Sampai saat ini saya masih mengingatnya. Tentunya dalam hati. Tapi saya berpikir kembali, apakah ada gunanya? Karena nun di kota sana, orang-orang yang mengaku dirinya para orang shaleh begitu bersemangatnya mengikuti kata-kata  para ustadnya tentang “ancaman orang-orang kafir”. Begitu juga para cerdik cendekia tanpa banyak tanya mengamini keyakinan Huttington tentang “sebuah benturan peradaban.” Seolah-olah dunia harus terkotak-kotak hanya dalam nama Islam, Kristen, Konfusianis, Yahudi, Hindu,Budha,Anglo Saxon,Negro lantas ditakdirkan Tuhan untuk saling bunuh dalam pertempuran atas nama entitasnya masing-masing.

Bahkan hingga kini, saat saya melangkah pergi meninggalkan tenda-tenda pengungsian, pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema di kepala saya: “kebahagian apa” yang dicari oleh mereka saat membantai mahluk yang ada dalam satu spesies yang sama? Dalam iman agama yang sama-sama mengklaim beradab dan menyediakan pahala sorga bagi para penganutnya untuk saling membunuh atas namaNya? Lalu mengapa jalan ke sorga harus dilakukan dengan menciptakan neraka-neraka di dunia? Saya tidak tahu…Saya sama sekali tidak memiliki kuasa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang begitu saja itu.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *