Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 08 January 2014

Semalam di Tjiandjoer


foto:hendijo

Gelap sebentar lagi enyah dari Cianjur. Pertigaan antara Jalan Soeroso dan Jalan Taifur Yusuf, mulai dipenuhi lalu lalang kendaraan dan manusia. Mereka sebagain besar adalah orang-orang yang akan berbelanja keperluan sehari-hari di Pasar Induk, sebuah sentra perbelanjaan tradisional terbesar di Cianjur yang  terletak di seberang Jalan Soeroso. Sementara itu, suara orang mengaji masih bersipongan dari menara Masjid Agung. Lantunannya yang khas mengingatkan saya pada Kiyai Haji Nanang Kosim, seorang pembaca Al Qur’an ternama era 80-an.

Saya bangkit dari bangku usang sebuah warung kopi yang ada di seberang kantor Polres Cianjur. Usai menghabiskan cairan hitam yang tinggal separoh di gelas bening, saya bergerak ke arah  barat kota untuk mengambil gambar Gedung Suge. Itu nama bangunan tua yang kini kosong dan tak terurus, bekas tempat tinggal  Siaw Gie (seorang pebisnis paling kaya di Cianjur pada era 1920-an).

Secara historis, Cianjur  memang bisa dimasukan sebagai sebuah kota tua. Namanya mulai tercatat, saat  Sersan Scipio (pimpinan tim ekspedisi VOC untuk wilayah barat Jawa) menerima surat dari seseorang bernama Raja Gagang alias Arya Wiratanu I pada 14 Januari 1666. Scipio menyebut Aria Wiratanu I sebagai Raja dari Pegunungan (connick in het gebergte).

”Ia menyebut dirinya adalah sebagai penguasa daerah yang tidak tunduk kepada Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon maupun kekuasaan Kompeni (VOC),namun tunduk langsung kepada Allah SWT,” ujar Scipio dalam De Priangan Jilid 2  karya Dr F de Haan.

Tapi sesungguhnya, sejarah perjalanan Cianjur tidak bisa dihitung dari kontak pertama antara VOC dengan Sang Wiratanu I.

 

Bermula dari Sebuah Desa

Mushola kecil itu diapit sebuah sungai . Kendati tidak lagi jernih, aliran air sungai itu terbilang cukup deras. Beberapa engkang-engkang (aquarius remigis)– sejenis laba-laba air bertubuh kurus– menari-manari di atas riak-riaknya. Tepat di atas mushola tersebut, sebuah dataran tinggi dipagari pepohonan hijau. Orang sana mengenalnya sebagai Bukit Cijagang, tempat bersemayamnya jasad Aria Wiratanu I, kakek moyang dalem-dalem Cianjur.

Bukit Cijagang luasnya sekitar 4 hektar. Secara geografis, termasuk dalam wilayah Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalong-kulon. Di Cianjur, Wiratanu I adalah lelaki sohor sepanjang zaman. Hampir dari generasi ke generasi, ia seperti hidup dalam benak para bocah Cianjur laiknya Spiderman, Batman atau Superman bagi anak-anak zaman sekarang. Namanya sering disebut dalam nada khidmat sebagai Kanjeng Dalem Cikundul.

Banyak cerita-cerita legendaris sekitar Kanjeng Dalem Cikundul. Salah satunya yang paling favorit, Sang Dalem pernah menikahi seorang putri dari bangsa Jin. Hebatnya, dari pernikahan itu lahir 2 putra dan 1 putri: Raden Eyang Aria Suryakencana, Raden Andaka Wirusajagat dan Raden Indang Sukaesih. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menanyakan keberadaan mereka kepada almarhum Raden Tjitji Kamal Sanoesi, Apa jawabnya?

“Sampai sekarang mereka masih ada, Raden Suryakancana menjadi penguasa kerajaan jin di Gunung Gede, Raden Andaka menjadi penguasa kerajaan jin di Gunung Kumbang dan Raden Indang jadi ratu jin di Gunung Ceremai,”kata lelaki yang  mengaku sebagai keturunan kesekian dari Kanjeng Dalem Cikundul tersebut. 

Beberapa bulan yang lalu saya pernah mendiskusikan soal pernikahan “beda dimensi” ini dengan Rahmat Safari. Pemerhati sejarah Cianjur itu, hanya tertawa mendengar soal tersebut. Yang paling mungkin, katanya, Aria Wiratanu I tertarik sama gadis desa setempat dan ia merasa itu aib.”Ya namanya juga bangsawan, gengsi dong nikah sama perempuan biasa,”ujar lelaki yang sejak di bangku sekolah dasar sering melahap buku-buku sejarah itu. Tapi, sudahlah. Biarlah itu menjadi misteri sendiri.Terserah orang mau memilih versi yang mana.

Kembali ke silsilah Sang Wiratanu I. Menurut Gunawan Yusuf, Aria Wiratanu I (terlahir sebagai Raden Jayasasana) merupakan keturunan raja-raja Talaga (salah satu negara bagian Kerajaan Pajajaran). Ia putera sulung dari Aria Wangsa Goparana, salah seorang putra Raja Talaga yang menganut Islam.

Laiknya anak-anak muda era itu, Aria Wiratanu I tak luput dari hobi berpetualang. Tahun 1635, dalam sebuah petualangannya, ia menemukan sebuah kawasan subur di delta Sungai Citarum (sekarang masuk wilayah Cibalagung,Cikalong Kulon) dan langsung jatuh cinta. Sang pemuda kemudian memutuskan untuk menetap dan mendirikan sebuah desa yang ia beri nama Cianjur dengan ibukotanya di Cikundul. Sepertinya dari sinilah gelar Dalem Cikundul mulai ia sandang.

Kadaleman Cianjur kemudian berkembang menjadi sebuah wilayah setingkat kadipaten.Orang-orang mulai berdatangan dari berbagai sudut untuk menetap di sana. Meskipun secara politis tidak masuk dalam kekuasaan Mataram, Banten, Cirebon dan VOC namun Cianjur sebisa mungkin memelihara sikap netralnya.

Kekuatan-kekuatan besar sekitar Cianjur tersebut bukannya tidak pernah mencoba menganeksasi wilayah subur itu. Sekitar Februari 1680, 800 prajurit Banten pernah melancarkan infiltrasi ke wilayah ibu kota Cikundul namun berhasil dihalau oleh pasukan Cianjur pimpinan Wiratanu I. “Dalam pertempuran itu, Banten kehilangan 47 prajuritnya. Namun kemenangan itu harus ditebus oleh banyak nyawa rakyat Cianjur termasuk  1 lurah dan seorang panglima bernama Santaprana,” tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur.

Tahun 1691, Wiratanu I mangkat. Ia lantas digantikan oleh salah seorang putranya yang bernama Wiramanggala (bergelar Aria Wiratanu II). Beberapa saat setelah diangkat menjadi penguasa Cianjur, Wiratanu II kemudian memindahkan ibu kota Cianjur ke Pamoyanan (sekarang terletak di Jalan Siti Jenab Cianjur, termasuk dalam kawasan Cianjur kota).

 

Habitat Badak Putih

Kampung Pamoyanan adalah kawasan Cianjur yang pernah ditempati oleh pasukan Banten. Tanah yang dialiri Sungai Cianjur itu konon  sejak dahulu merupakan konsentrasi habitat badak putih (ceratotherium simum), sebuah spesies badak yang saat ini hampir lenyap dari muka bumi. Di Indonesia, spesies jenis ini sudah dinyatakan punah.

Kata pamoyanan sendiri berarti tempat berjemur.Tempat berjemur apa? Kalau dicocok-cocokan sepertinya tempat berjemur si badak putih itulah. Tjutju Soendoesijah (65),  pernah mendengar dari kakek buyutnya bahwa sumur kecil depan Gedung Pagadean Cianjur itu konon bekas tempat mahluk putih ini minum dan berkubang.

“Dari hutan-hutan sekitar Pamoyanan, konon dulu badak-badak itu tiap pagi sering beriringan turun ke arah Pagadean,” ujar perempuan yang menghabiskan seumur hidupnya di Cianjur itu. Sejauh mana kebenaran soal itu? Hanya Tuhan dan para Badak Putih saja yang tahu.

Di Jalan Slamet Riyadi yang juga masih masuk kawasan Kampung Pamoyanan, ada sebuah  tempat bernama Stadion Badak Putih. Lapangan sepakbola terbesar di Cianjur itu, dulu merupakan hutan belukar yang dihuni oleh ribuan badak putih. Begitu populisnya para badak putih ini, hingga orang-orang Cianjur selalu menghubungkan  mereka dengan dunia mistik. Mereka percaya, badak putih itu bukan sekadar mahluk biasa. Mereka adalah salah satu “penunggu” Cianjur.

“Kalau malam Jumat, saya sering melihat mereka berkeliaran di kawasan sekitar stadion,” kata Eli (salah seorang penjaga Stadion Badak Putih).

 

Dalem Dicondre

Sekitar 1 KM  arah utara Stadion Badak Putih, berdiri Masjid Agung Cianjur. Saat dibangun pada 1810, salah satu masjid termegah di Jawa Barat itu, luasnya hanya 400 meter persegi. Tahun 1993, masjid yang didirikan  di atas tanah wakaf Nyi Mas Bodedar –salah satu putri Dalem Sabaruddin, Bupati Cianjur ke-4—itu direnovasi. Begitu selesai tujuh tahun kemudian, luasnya bertambah menjadi 2500 meter persegi dengan daya tampung 4000 jamaah.

 Tepat di muka Masjid Agung Cianjur, menghampar  sebuah taman kota yang dikenal sebagai Alun-Alun Cianjur. Sejarah mencatat, di tempat itulah ratusan tahun lalu pernah terjadi seorang pemuda nekat, dibantai oleh para punggawa Dalem Aria Wiratanudatar III (1707-1726). Itu nama seorang bupati feodal yang berkuasa  laiknya raja kecil di di salah satu wilayah  Priangan tersebut.

Saurna mah dugi dicacag diwalang-walang,dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Katanya sampai dicincang habis dan dagingnya di sebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara)”,ujar Tjutju Soendoesijah.

Praktek mutilasi tersebut dilakukan sebagai hukuman buat sang pemuda yang telah melakukan rajapati (pembunuhan) terhadap Dalem Wiratanu III dengan sebilah condre(sejenis senjata tajam tua khas sunda yang menyerupai pisau kecil) hingga tewas. Namun apa yang menyebabkan si pemuda berlaku senekad itu? Ada banyak versi mengenai latar belakang pembunuhan tersebut. Salah satunya seperti yang dipercayai Tjutju: karena alasan dendam dan cinta.

Alkisah, suatu hari Dalem Wiratanu III melakukan kegiatan rutinnya yakni berburu banteng dan rusa ke daerah Cikembar, Sukabumi. Saat singgah untuk istirahat di sebuah desa terpencil, ia bertemu dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang dalem yang sudah memiliki beberapa selir dan istri itu lantas jatuh cinta dan “meminta” Apun Gencay kepada orangtuanya.

Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap permintaan sinuwun dalem itu. Laiknya cacah kuricah (rakyat kecil) di sebuah kawasan yang memeluk erat feodalisme, mereka sudah terkondisikan “haram” hukumnya untuk mengatakan tidak kepada penguasa. Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati.

Singkat cerita, keluarga besar Apun setuju. Beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun pun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun tidak sendiri. Ia ditemani oleh seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara. Begitu sampai di pintu rumah Dalem Wiratanu III, nampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang cerah didampingi seorang pengawalnya bernama Ki Purwa.

 “Yap kadieu (Ayo mendekatlah)…,”panggil sang dalem.

Dengan langkah pelan dan kepala menunduk, Apun mendekat ke arah Dalem Wiratanu III. Seolah tersihir kecantikan kembang Cikembar itu, sang dalem tak berkedip memandang wajah Apun Gencay. Tiba-tiba dalam situasi tersebut, sang pemuda yang ada di sebelah Apun menyeruak sambil menghunus condre. Demi menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja Sang Dalem terkejut. Namun ia terlambat untuk melakukan tangkisan hingga 3 tusukan condre mengoyak lambungnya.

Gerakan kilat si pemuda membuat Ki Purwa juga terkesima. Barulah setelah ia mendengar jerit Apun dan teriakan kesakitan majikannya, diikuti oleh beberapa pasukan pengawal, ia bergerak mengejar si pemuda yang sudah menghambur keluar. Terjadilah perkelahian tak seimbang hingga menyebabkan mundurnya si pemuda ke arah alun-alun. Di area terbuka menghadap masjid agung inilah, Ki Purwa berhasil memenggal kepala si pemuda.

“Tidak puas dengan hanya memenggal, Ki Purwa dan pasukannya mencincang tubuh si pemuda hingga terdiri dari beberapa potongan,”ujar Tjutju yang mengaku mendapat cerita itu dari neneknya.

Potongan-potongan daging itulah yang konon kemudian dipungguti satu persatu oleh Apun Gencay.Dalam linangan air mata, ia memungguti potongan daging sang kekasih sambil meratap.Ratapan itulah yang mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis kidung kematian yang tedapat dalam cerita pendeknya berjudul Apun Gencay.

Lalu bagaimana nasib Dalem Wiratanu III? Tiga jam setelah kejadian, tepatnya bada magrib, sang dalem flamboyan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya kemudian dikebumikan di komplek pekuburan keluarga yang terletak di kawasan Desa Pamoyanan (termasuk dalam wilayah Kecamatan Cianjur kota saat ini). Sejak itu pula Wiratanu III dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre.

Sejarawan Sunda, Gunawan Yusuf menyebut peristiwa terbunuhnya Wiratanu III menumbuhkan luka yang mendalam hingga kini di hati orang-orang Cianjur terutama keluarga para dalem. Begitu membekasnya, hingga sesepuh Cianjur “melarang keras” turunan Wiratanudatar untuk menyentuh condre dan pantang menikahi gadis Cikembar.

Tapi betulkah pembunuhan Wiratanu III itu semata-mata musababnya cinta? Tak ada keterangan pasti mengenai soal itu, karena hingga kini belum ada satu pun peneliti sejarah yang mendalami tragedi menggemparkan Priangan tersebut. Namun menilik kiprah Wiratanu III yang memiliki keterlibatan jauh dalam Preanger Stelsel, kemungkinan itu bisa terjadi.

Preanger Stelsel adalah sistem pemberlakuan tanam paksa tumbuhan kopi kepada rakyat Priangan (Jawa Barat). Bekerjasama dengan para komparadornya yakni sekumpulan penguasa lokal yang feodal, VOC(Vereenigde Oost indische Compagnie atau Maskapai Dagang Hindia Timur), mewajibkannya sejak 15 April 1723,terpacu oleh harga kopi saat itu tengah menjadi “primadona dunia”.

Terlebih, menurut sejarawan Sunda, Saleh Danasasmita, kopi asal Priangan (baca Cianjur) memiliki kualitas terbaik hingga laku keras di pasaran dunia. Akibatnya kas keuangan VOC pernah surplus. “Karena kopi Priangan pula Belanda sempat menyebut kawasan tersebut sebagai “gabus pelampung Belanda di tanah Hindia”,tulis sejarawan Sunda itu dalamSejarah Bogor Bagian I.

Untuk soal tanam paksa kopi itu, Wiratanu III dikenal sebagai bupati yang sukses di mata VOC. Dibawah pengendaliannya, pada 1724, Cianjur bahkan pernah memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul (setara dengan harga 202.271,25 ringgit. Sebuah jumlah yang sangat fantastik saat itu.

Tak aneh karena prestasinya itu, Wiratanu III disukai VOC. Namun sebaliknya, rakyat Cianjur banyak yang tidak senang kepada Bupati Cianjur ke-3 itu hingga terjadi pembunuhan tersebut. Menurut Gunawan Yusuf, selain masalah cinta, ada kemungkinan pembunuhan Wiratanu III disebabkan oleh korupsi yang dilakukannya terkait bisnis kopi.

Bayaran kopi yang seharusnya perpikul dihargai 17.50 ringgit oleh Wiratanu III dibayar hanya 12.50 ringgit. Jadi ia mengorupsi 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi yang tak lain adalah rakyatnya. “Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas dan melakukan pemberontakan yang menewaskan dirinya (Wiratanu III),”tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian 7.

Sayangnya versi kedua dari penyebab terbunuhnya Dalem Wiratanu Datar III tersebut, kurang dikenal luas oleh kalangan karuhun (orang-orang tua) Cianjur. Mereka “lebih suka” mengenang pembunuhan Wiratanudatar III dalam sudut pandang yang sentimentil,dramatis dan sinetronis. Laiknya kisah yang dipercaya oleh Tjutju.

 

Saksi Bisu Perkembangan KA di Priangan

Matahari baru saja menyapa  Cianjur diam-diam. Cahayanya yang kemerah-merahan mirip pipi seorang jejaka hijau yang ketahuan saat tengah membuat surat cinta buat gadis pujaanya. Saya menyusuri Jalan Dewi Sartika, mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan masa lalu Cianjur di kamera saya.

“Mang, ngiring calik nya? (Mang, ikut duduk ya?)”ujar saya kepada seorang tukang bakso yang tengah menyiapkan dagangannya. Si Emang reflek menganggukan kepala.Beberapa titik noda merah saus murahan terlihat di bagian depan baju birunya yang bertuliskan PERSIB NU AING (Persib Punya Saya).

Persib adalah singkatan dari Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung yang berdiri pada 1933. Kendati tim kesebelasan ini markas besarnya di Bandung, namun sebagian besar orang Jawa Barat sudah terlanjur merasa memilikinya. Buktinya, jika Persib main di suatu tempat (apalagi masuk final) semua orang Sunda yang menamakan dirinya bobotoh (supporter) akan berduyun-duyun datang.  

Duduk di  dekat gerobak bakso, diam-diam saya merasa terpukau dengan bangunan bergaya art deco yang menjulang di hadapan saya. Inilah Stasiun Cianjur, sebuah saksi bisu perkembangan kereta api di tanah Priangan. Kendati sudah berusia ratusan tahun (dibangun tahun 1879), namun wujudnya masih terlihat kokoh.

Namun sayang, begitu memasuki ruangan dalam, kesan kumuh mulai tertangkap: para gelandangan yang tidur sembarangan dan kumpulan pedagang makanan yang memilih letak secara acak. Di beberapa sudut, beberapa lelaki tengah bermain domino. Sesekali  tawa dan makian mereka terdengar, mengeruhi suasana pagi yang sebenarnya ranum itu.

“Ini baru siang.Coba datang malam hari, sudah seperti area lokalisasi saja di sini,” ujar Amy (28), yang mengaku sering lewat tempat ini sepulang dari tempat kerja.

Suasana tersebut jelas kontras dengan latar belakang sejarah pendirian stasiun ini di zaman Hindia Belanda. Di era itu, selain pernah menjadi stasiun induk bagi Priangan, tempat ini juga pernah  dijadikan pusat distribusi garam ke berbagai kota di barat Jawa. Buktinya kini masih ada, yakni sebuah bangunan tua (yang dikenal sebagai Gudang Uyah alias gudang garam), yang kini terpuruk laiknya orang sakit, persis terletak di bagian dalam area stasiun.

Bergerak ke arah Sukabumi, sekitar 15 KM dari Stasiun Cianjur, terdapat halte (stasiun kecil)  yang terletak persis di muka Lampegan. Itu nama sebuah terowongan (dibangun juga pada tahun 1879) berpanjang 415 meter yang dibuat dengan meledakan bagian tengah badan Gunung Kancana yang menaungi kawasan tersebut.

Terowongan Lampegan selesai pada 1882 sebagai penghubung jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Bandung. Peresmiannya dilakukan oleh para pejabat Belanda dan menak-menak lokal. Untuk memeriahkan peresmian tersebut, pada malam harinya pihak jawatan kereta api Hindia Belanda tak lupa mengundang juga Nyi Sadea,seorang ronggeng terkenal di daerah tersebut. Malang bagi Nyi Sadea, usai meronggeng, seseorang mengajaknya pergi dan sejak itu ia tak pernah kembali.

”Entah dibunuh atau diapain,orang-orang enggak tahu,”kata Zaenuddin (45), salah seorang penduduk yang tinggal di kawasan Lampegan tersebut.

Raibnya Nyi Sadea memunculkan rumor yang beraroma mistis di kalangan masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat di sana yakin, perempuan cantik itu telah dijadikan tumbal pembangunan terowongan Lampegan. Konon tubuhnya ditanam di salah satu dinding beton di sebelah dalam terowongan.Sejak itu menurut Dachlan, tokoh masyarakat setempat, Nyi Sadea beredar sebagai arwah penasaran dan sekaligus menjadi penghuni gaib terowongan Lampegan.

“Katanya dia diperistri oleh Ranggawulung, penguasa gaib di kawasan ini.Dan sekali-kali sering menampakan diri di terowongan,”ujar lelaki kelahiran 1957 itu.Entah benar atau tidak,nyatanya hingga kini masyarakat setempat seolah menggengam erat kisah skandal tersebut.

Namun jarang orang yang paham bahwa sebelum ada jalur kereta api,kawasan Lampegan bernama Sasaksaat. Lalu dari mana munculnya nama Lampegan? Tak lain itu berasal dari kondektur spur yang tiap menjelang terowongan kerap berteriak: “Steek Lampen aan!”yang berarti “nyalakan lampu”. Di telinga orang Sunda kata-kata itu seolah terdengar sebagai lampegan.

Kini Halte Lampegan masih kokoh berdiri. Begitu pula dengan terowongannya yang pada 2005 sempat mengalami longsor hingga mematikan jalur Sukabumi-Cianjur-Bandung. Namun setelah para insinyur Jepang turun tangan pada 2006, jalur tua itu dinyatakan laik kembali digunakan.

”Katanya sih aktif  setelah lebaran kemarin, tapi sampai saat ini belum ada kok kereta yang lewat sini,”kata Zaenuddin.

 

Kisah Alfian dengan Gadis Cianjur

Di Jalan Mohammad Ali,  ada sebuang bangunan tua  yang sudah tak terurus. Catnya usang, terkelupas di sana-sini. Orang Cianjur mengenalnya sebagai Gedung Wisma Karya. Dibangun sekitar tahun 1950-an oleh Perkumpulan Tjung Hwa Tjung Hwee. Itu nama perkumpulan orang-orang Hokian di Cianjur yang berafiliasi ke Badan Permusjawaratan Warganegara Indonesia (BAPERKI).

BAPERKI adalah organisasi massa orang-orang Tionghoa atau Hokian yang didirikan oleh jurnalis Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawanya pada 13 Maret 1954 di Jakarta. Tujuannya adalah mengakomodir sekaligus merepresentasikan setiap aspirasi kepentingan masyarakat Hokian di Indonesia, terutama yang terkait dengan pendidikan dan sosial politik. Pasca terjadi Gerakan 30 September, pemerintah Orde baru membubarkan organisasi ini karena dituduh terkait dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok).

Tahun 1966, Gedung Wisma Karya digeruduk oleh KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), sekaligus disita. Sejak itu KAPI menjadikan Wisma Karya sebagai salah satu markas besarnya selain Eng Tjun Kong Hui (sekarang menjadi Gedung Dewan Kesenian Cianjur) yang terletak di Jalan Soeroso. “Hampir tiap hari kami bolak-balik ke gedung-gedung itu.Ibaratnya Wisma Karya itu seperti rumah kedua kami,”kata Dadang Djuanda, salah seorang mantan aktivis KAPI Cianjur.

Selain digunakan sebagai sekolah khusus untuk orang-orang Hokian, sejak era 1960-an, Wisma Karya pun sering dipakai untuk menyelenggarakan berbagai perhelatan, termasuk acara musik yang mengundang artis-artis terkenal ibu kota saat itu.

Salah satu artis itu adalah Alfian Harahap. Lelaki kelahiran Binjai,Sumatera Utara tersebut adalah salah satu penyayi yang pernah disambut luar biasa oleh khalayak anak muda Cianjur pada suatu malam sekitar pertengahan 1960-an. Konon, saat manggung di Wisma Karya inilah, Alfian sempat berkenalan dan”digosipkan”  jatuh cinta dengan seorang mojang Cianjur keturunan Tioghoa-Sunda,”Namanya Leni, orang Pasar Suuk,”ujar Tresnawati (65), salah seorang penduduk Cianjur yang mengalami peristiwa itu.

Saat saya mencoba mencari nama itu ke Pasar Suuk (sekarang Gang Rambutan) hampir tak ada orang yang mengenal lagi nama itu. Hanya Mamat, seorang sepuh yang “sayup-sayup” ingat soal Leni ini. “Iya saya tahu  si Enci (panggilan untuk orang Hokian di Cianjur) itu, tapi ia sudah lama sekali ikut keluarganya pindah.Entah ke Bandung atau ke Jakarta,saya kurang tahu,”katanya.

Beberapa saat setelah Alfian manggung di Wisma Karya,tiba-tiba penyanyi kenamaan yang dalam aksi-aksinya sering meniru gaya Elvis Presley dan Pat Bone itu muncul dalam sebuah lagu berjudul Semalam di Tjiandjoer.

 

Kan

kuingat di dalam hatiku

Betapa indah semalam di cianjur

Janji kasih yang t’lah kau ucapkan

Penuh kenangan yang tak kan terlupakan

 

Tapi, sayang, hanya semalam

Berat rasa perpisahan

Namun ku telah berjanji

Di suatu waktu kita bertemu lagi

Benarkah bait-bait segar, dinamis, melodius, namun tidak cengeng ini dipersembahkan oleh sang super start untuk seorang gadis manis asal Pasar Suuk itu? Sayang, saya tidak bisa menkonfirmasi soal ini langsung ke Alfian (karena sudah meninggal) atau ke Leni yang saat ini masih tak jelas rimbanya.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *