Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 19 September 2015

SEJARAH – Mengenal Khadijah Al Kubra (8)


Deklarasi dakwah Nabi dimulai. Satu demi satu penduduk Makkah, khususnya kerabatnya dari Bani Hasyim, mengikuti ajaran Muhammad saw. Kabar tentang ‘ajaran baru’ yang dibawa Muhammad semakin tersiar. Sebagian penduduk mulai ragu dengan berhala yang mereka sembah selama ini. Kaum Quraisy, khususnya dari Bani Umayyah, terancam krisis upeti yang disajikan penduduk setiap pemujaan terhadap berhala.

Tahun ketiga dari dakwah Muhammad, kesabaran Bani Umayyah habis melihat pengikut ajaran penyembah Tauhid semakin bertambah. Akhirnya mereka melakukan segala cara untuk menghentikan ajaran yang mereka anggap sesat itu. Tiga tahun mereka memprovokasi penduduk Makkah, bahkan mengancam dengan kekerasan, tapi ternyata hasilnya nihil.

Abu Thalib adalah orang yang paling berjasa melindungi Nabi dari gempuran orang-orang Bani Umayyah. Paman Nabi itu menjadi benteng sekaligus orang terdepan menjaga keamanan Muhammad dari permainan kotor orang-orang yang memusuhinya. Sulitnya menembus Abu Thalib ini, membuat Bani Umayah harus mencari strategi jitu lainnya. Memasuki tahun ketujuh dari dakwah Islam di Makkah, Bani Umayah mengumumkan boikot ekonomi dan sosial terhadap Bani Hasyim.

Merasa bahaya semakin terbuka lebar, khususnya bagi rumah keluarga Muhamamad,  Abu Thalib memutuskan untuk meninggalkan kota Makkah. Sekitar 400 orang, kebanyakan berasal dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, mengungsi di sebuah lembah yang kelak disebut Syi’b Abu Thalib.  Di lembah sempit itu, hubungan sosial dan ekonomi dengan penduduk kota Makkah diputus oleh Bani Umayah. Di lembah itu, Muhammad dan keluarga kecilnya; Khadijah, Fatimah dan sepupu Nabi, Ali bin Abi Thalib, berjuang bertahan hidup selama tiga tahun.

Selain Ali, kemenakan Khadijah yang non Muslim, Hakim bin Hizam, termasuk yang sering membawa pasokan makanan ke lembah. Langkah Hakim itu termasuk berbahaya karena dia harus melewati prajurit bayaran Bani Umayah yang menjaga ketat perbatasan. Sedemikian tragisnya suasana di lembah itu, menurut laporan sejarah, penduduk Makkah bisa mendengar koor tangisan anak-anak pada malam hari.

Salah satu yang menjadi spirit bagi pengungsi lembah adalah kehadiran Khadijah. Perempuan terkaya di Makka itu rela meninggalkan rumahnya yang luas dan berfasilitas yang lengkap untuk hidup dan ikut berjuang menjaga Islam di lembah sempit yang serba kekurangan. Bagaimana pun, sebagai pendamping hidup seorang utusan Tuhan, ia telah siap menghadapi cobaan dan ujian yang keras sekalipun. Khadijah membagi-bagikan kepingan emasnya untuk pemuda yang berani menyusup ke kota dan kembali membawa pasokan air.

Ketika Ali atau Hakim datang membawa air, Khadijah yang mengatur pembagiannya. Istri Nabi itu mendahulukan anak-anak daripada orang tua mereka. Kemudian mendahulukan orang tua dari dirinya sendiri.

Tidak hanya ancaman kelaparan dan permusuhan nyata dari Bani Umayah, setiap musim dingin para pengungsi harus berhadapan dengan tusukan dingin yang luar biasa. Demikian pula pada musim panas yang lebih menyengat dibanding jika mereka tinggal di rumah mereka masing-masing di Makkah. Di malam-malam yang panjang dan dingin itu, Khadijah juga membagikan pakaian dan kayu bakar kepada anak-anak pengungsi yang kedinginan.

Dalam waktu tiga tahun di tempat pengungsian dan pengasingan itu, harta kekayaan Khadijah ludes. Sebagian besar hartanya habis untuk membeli pasokan air. Jiwa, raga dan harta yang dimiliki Khadijah benar-benar telah diwakafkan untuk perjuangan dakwah suaminya yang tercinta, Muhammad. Meskipun hari demi hari bencana senantiasa melanda, Khadijah tetap tegar dan tak tampak rasa takut darinya. Alih-alih menciut, keimanan Khadijah justru semakin kokoh dan tak tergoyah. … Bersambung.

Edy/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *