Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 13 October 2015

SAJAK – Tepi Surga


Ramaikan malamku, Kawan. Tidak, tidak. Aku sudah bosan dengan anggur. Aku merindu gulali. Dan keripik pedas. Dan segala yang dijaja di pinggir jalan, oleh mereka yang keringatnya lebih manis dari perasan tebu, dan lebih berkilau dari butiran berlian.
Ramaikan malamku, Kawan. Sudahlah. Aku bosan dengan suara biola, atau saxophone. Aku juga bosan dengan tabuhan rebana ataupun petikan ‘oud. Bawalah aku pada suara merdu kericik tutup botol minuman ringan yang dirangkai dengan paku pada sepotong kayu. Kau tahu irama surga? Kukira seperti itulah.

Ramaikan malamku, Kawan. Jangan bawa aku ke pencakar langit. Atau taman-taman kota. Kau tahu? Rumah-rumah kardus itulah halaman Firdaus. Penghuninya para manusia paling tulus. Pena mereka diangkat dari catatan perbuatan. Bagaimana tidak? Siapa penyampai pesan suci yang pernah mendatangi mereka? Tak ada kan?

Ramaikan malamku, Kawan. Di sudut temaram kota, para wanita penjaja malam-singkat duduk bersahaja dengan pulasan bedak dan gincu seadanya, di jari mereka terapit sebatang dengan ujung menyala. Di pos-pos ronda, petikan gitar dan suara tepukan kartu di atas dipan bersahutan dengan bunyi leyeh para lelaki yang sudah duduk miring karena sebotol To**. Tahukah kalian siapa manusia yang paling pasrah? Mereka.

Ramaikan malamku, Kawan. Sudahlah. Tak usah seret aku pada cahaya. Mataku terlalu sakit. Cahaya itu menyilaukan. Di dalamnya para penjaja haram tanah Aden, Nirvana, apapun namanya, saling berkelakar, berteriak lantang mengambil parang panjang, padahal penuh lancang berjalan pincang. Bahagialah kelelawar dan burung hantu yang tercerahkan tanpa butuh cahaya.

Ramaikan malamku, Kawan. Neraka itu sepi, karena para Iblis berada di sini, di atas muka bumi. Itulah yang dikatakan oleh sang penulis cerita Romi dan Juli. Kalau begitu surga juga sama sepi. Karena para malaikat, bidadara dan bidadari atau apalah nama yang mereka diberi, juga ada di sini, di atas muka bumi.

Ramaikan malamku, Kawan, dan lihatlah ke sana. Di atas rerumputan gersang yang menghitam di pinggir sungai yang tak kalah pekat, di bawah tetesan cahaya lampu gedong perkotaan. Kemarin Iblis sempat duduk di situ. Saat ini malaikat sedang duduk di sana, di tempat yang persis sama. Apa? Yang duduk di sana adalah sosok yang sama seperti kemarin? Iya, benar. Itulah mengapa. Kemarin dia nyala api, kini dia nyala lentera. Bukankah tiada berat bagi Sang Maha untuk menghapus segala nista? Kenapa kau berburuk sangka?

Ramaikan malamku, Kawan. Kemari, kubawa kau masuk ke tepi surga, di sisi-sisi kota yang beraroma jelaga. Kau hanya butuh melihat dengan cara yang berbeda.

JM/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *