Satu Islam Untuk Semua

Monday, 27 October 2014

Revolusi Libya: Kegagalan Demokrasi ala Amerika & NATO


Demonstran Libya.

Boleh jadi Oktober adalah bulan bencana bagi rakyat Libya. Tepat tiga tahun lalu, pada bulan 2011, pasukan NATO yang disokong Amerika Serikat menangkap dan membunuh eks pimpinan Libya, Muammar Gaddafi.

Kematian itu menjadi awal kekacauan politik dan ekonomi di Libya – hingga hari ini. Sejak intervensi NATO, dengan kedok menegakan demokrasi bersama oposisi Libya, negara paling kaya di Afrika itu kini terpecah menjadi dua bagian. Kawasan Barat dikuasai oleh kelompok militan, yang menduduki Tripoli dan mendirikan pemerintahannya sendiri. Sedang kawasan Timur berdiri pemerintahan politisi anti-islam.

Kekacauan yang terjadi di Libya tidak hanya permasalahan pecahnya pemerintahan. Yang lebih membunuh adalah hilangnya kesejahteraan rakyat pasca tumbangnya Gaddafi.

Sejak 1967 sampai 2011, di bawah kepemimpinan Gaddafi, Libya adalah negara terkaya di Afrika. Secara geopolitik, Libya menempati posisi stretegis. Negara ini diapit oleh tiga benua sekaligus. Ini belum lagi soal cadangan minyak yang melimpah. Sebelum kekacauan yang terjadi pada tahun 2011, pendapatan per-kapita Libya tertinggi di kawasan. Bahkan jumlah warga yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih sedikit dari Belanda.

Rakyat Libya pernah bebas menikmati biaya pendidikan, kesehatan, dan listrik. Bahkan mereka bisa meminjam ke bank tanpa bunga. Tidak ada diskriminasi wanita sebagaimana tetangga Arabnya. Wanita bebas berkendara, mendaki tangga pendidikan, memiliki hak perceraian, dapat bekerja dengan upah setara dengan laki-laki. Data menunjukan, lebih dari setengah pelajar di universitas pada tahun 2011 adalah wanita.

Salah satu undang-undang pertama yang diloloskan Gaddafi sesesaat telah dia naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1970 adalah soal kesetaraan upah dan hak kerja. Gaddafi pun mendapat pujian dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB atas usahanya mengangkat hak wanita.

Tinggal Kenangan

Tapi kini semua itu tinggal kenangan.

Jatuhnya pemerintahan Gaddafi membuat segala mimpi buruk jadi kenyataan: duta besar negara Barat meninggalkan Tripoli, selatan Libya menjadi ‘surga’ teroris, dan pantai utara menjadi pusat perdagangan bebas. Mesir, Algeria, dan Tunisia pun menutup perbatasannya dengan Libya. Semua ini terjadi bersaman dengan kekacauan sosial, seperti pemerkosaan, pembunuhan dan penyiksaan yang beredar luas.

Rumah sakit pun kehilangan ribuan pekerjanya yang terbang pulang ke negara asalnya, Filipina. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi di bagian timur ditutup. Pemadaman listrik juga jadi hal biasa di Tripoli.

Terlebih lagi, setelah intervensi NATO, pihak yang paling berat perjuangannya adalah kaum wanita. Saat ini, rezim ‘demokratis’ Libya mengikis hak wanita. Suku penguasa yang baru (kelompok ekstrimis) sangat terikat dengan tradisi patriarkal (kuatnya dominasi pria). Belum lagi dalam pandangan kelompok ekstrim tersebut, kesamaan gender adalah penyimpangan yang dilakukan Barat.

Di balik semua kekacauan ini, Amerika mulai menjahit boneka barunya, aset jangka panjang Dinas Intelijen Amerika (CIA) yang berambisi menjadi diktator baru Libya, Jendral Khalifa Hifter. Hifter memutuskan hubungan dengan Gaddafi pada tahun 1980. Ia lalu tinggal di Virginia dan dikenal dekat dengan pimpinan CIA. Pada saat itu ia memulai latihannya bersama CIA dan lalu terlibat dalam beberapa perubahan rezim yang dilakukan Amerika, termasuk percobaan penggulingan Gaddafi tahun 1996 yang digagalkan Tripoli.

Hal ini dikonfirmasi oleh The New York Times dalam laporannya bahwa Hifter diduga salah satu dari “600 prajurit Libya yang dilatih oleh badan intelejen Amerika untuk melakukan sabotase dan kemampuan gerilya lainnya … untuk mendukung ambisi pemerintahan Reagan menjatuhkan kekuasaan Kolonel Gaddafi.”

Selama pemberontakan, kubu Hifter terkenal dengan keinginannya membuat Libya yang liberal dan terbuka terhadap pemodal dan spekulan barat.

Bisa jadi, dosa terbesar Gaddafi di mata NATO adalah usahanya untuk mementingkan pengusaha lokal di atas pemodal asing, serta keinginannya menciptakan ‘United States of Africa’, negara federasi Afrika. Faktanya, pada Agustus 2011, Obama menyita US$30 miliar dari bank sentral Libya. Dana itu sebelumnya telah disiapkan Gaddafi untuk pembentukan IMF Afrika dan Bank Sentral Afrika.

Setelah terbunuhnya Gaddafi, NATO mengklaim bahwa operasinya di Libya sebagai yang paling sukses dalam sejarah perang NATO. Tapi di sisi lain, bagi kebanyakan warga Libya, intervensi Barat tidak menghasilkan apa-apa selain kekacauan besar seperti yang terjadi di Suriah dan Irak. Perlu diingat bahwa ketiga negara itu adalah yang paling sekuler di Timur Tengah dengan pendapatan perkapita, harapan hidup, serta hak wanita tertinggi di kawasan.

Gagal bagi Libya tapi tidak untuk Amerika dan NATO. Ekspedisi militer mereka kali ini menjadikan Libya, seperti Irak, harus membayar gunungan utang – ongkos mendongkel Gaddafi. Selain itu, ekspedisi militer ini juga alamat pesta pora untuk industri militer Amerika.

Di Irak, invasi Amerika dan NATO berujung pembangunan pangkalan militer baru di Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman dan Arab Saudi.

Di Afghanistan, yang jauh lebih dulu kena gelombang ‘ekspor demokrasi’ Amerika, invasi mendorong penguatan  pangkalan militer di Pakistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Tajikistan. Sementara dalam kasus Libya, invasi menjadikan industri militer punya kesempatan membisniskan penguatan pangkalan militer Amerika di Seychelles, Kenya, Sudan Selatan, Nigeria dan Burkina Faso.

Melihat posisi strategis setiap negara—plus sumber daya minyak yang melimpah—pengontrolan Barat terhadap penguasa lokal terlihat jitu menyedot keuangan negara untuk jatuh dalam kendali segelintir kalangan.

Intervensi militer NATO mungkin bisa dipotret sebagai kesuksesan besar bagi elit militer Amerika dan raksasa minyak dan persenjatan. Namun bagi rakyat Libya, ini malah sebuah kegagalan militer terbesar abad 21.

(Muhammad/Garikai Chengu/newzimbabwe.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *