Satu Islam Untuk Semua

Friday, 12 February 2021

Rayakan Imlek, Warga Tionghoa Kenang Jasa Gus Dur


islamindonesia.id – Rayakan Imlek, Warga Tionghoa Kenang Jasa Gus Dur

Setiap kali merayakan tahun baru China, atau Imlek, warga Tionghoa Indonesia selalu mengenang jasa almarhum Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, tidak terkecuali pada tahun ini.

Sebagai contoh, di kawasan Pecinan Kota Semarang, tepatnya, di gedung Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma, Gang Pinggir, di sana di pasang altar yang bertuliskan “KH Abdurrahman Wahid”.

Sinci atau papan arwah bernama Gus Dur tersebut diletakkan di tengah, di antara sinci-sinci lainnya, dan bentuknya berbeda sehingga mudah terlihat. Pengurus Rasa Dharma mengatakan bahwa itu merupakan bentuk penghormatan kalangan Tionghoa kepada Gus Dur.

Sinci Gus Dur di antara sinci-sinci lainnya. Foto: jatengprov.go.id

“Ada papan arwah atau sinci, ada namanya Presiden RI Abdurrahman Wahid. Karena Gus Dur amat dihormati di kalangan Tionghoa di Indonesia. Yang telah melindungi minoritas, memberikan kebebasan. Jadi ini diletakkan di sini sebagai wujud penghormatan,” kata Haryanto Halim, ketua altar Rasa Dharma, dilansir dari jatengprov.go.id.

Mengingat Gus Dur Muslim, cara menyajikan sajian di altar pun diganti. Biasanya sajian di depan altar terdiri dari tiga jenis daging, yaitu ikan, ayam, dan babi, namun babi kini diganti dengan kambing.

“Kami ganti kambing. Mengapa tidak sapi, karena ada saudara kita yang tidak makan sapi. Itu contoh-contoh keberagaman masyarakat. Jadi kalau ada masalah, bicara baik-baik, ada solusinya kok.

“Yang dulu makanan tidak ada, sekarang ada, yakni mendoan. Kami diberi tahu ibu Shinta Nuriyah Gus Dur kalau kegemaran Gus Dur adalah mendoan. Jadi lebih banyak khas Gus Dur. Kami senang. Kami bisa menjalankan. Ini wujud penghormatan Tionghoa terhadap orang yang sudah berjasa,” tambah Haryanto.

Mengapa Warga Tionghoa Begitu Menghormati Gus Dur?

Putri Gus Dur, Alissa Wahid bercerita, kedekatan Gus Dur dengan keturunan Tionghoa mulai terekspos pada tahun 90-an. Ketika itu, Gus Dur pernah menjadi saksi ahli untuk pernikahan pengantin Konghucu di Surabaya, Budi Wijaya dan Lanny Guito.

Budi dan Lanny waktu itu terhalang saat hendak mencatatkan pernikahannya ke Kantor Catatan Sipil Surabaya, sebab agama Konghucu belum diakui di Indonesia. Akibatnya, perkawinan mereka juga tidak diakui oleh negara.

Pasangan itu pun akhirnya mengajukan gugatan resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Gus Dur, ujar Alissa, sebetulnya tidak kenal dengan dua orang itu.

“Tapi ketika beliau dimintai tolong untuk menjadi saksi ahli di pengadilan, Gus Dur kemudian maju. Dari situ kemudian Gus Dur terekspos sekali dengan kehidupan kaum Tionghoa,” ujar Alissa dikutip dari Podcast milik Jubir Presiden Fadjroel Rachman, Jumat (12/2), dilansir dari CNN.

Pada tahun 80 hingga 90-an, lanjut Alissa, kaum Tionghoa memang tak punya tempat selain di ruang ekonomi dan di bidang olahraga bagi mereka yang memiliki prestasi.

Begitu menjadi presiden, ujar Alissa, Gus Dur menggunakan kesempatan untuk mencabut Inpres 14/1967 era Soeharto yang dinilai diskriminatif terhadap kaum Tionghoa itu.

“Jadi menurut saya, Gus Dur itu melakukan restorative justice, mengembalikan hak-hak kewarganegaraan bagi setiap warga negara yang wajib dilindungi tanpa terkecuali,” ujar Alissa.

Sehingga, lanjut Alissa, tak heran jika masyarakat Indonesia selalu mengenang sosok Gus Dur pada setiap perayaan Imlek. Bahkan, Gus Dur juga kerap dijuluki sebagai Bapak Tionghoa.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Ananda Sukarlan/Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *