Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 28 December 2016

Quraish Shihab: Menghormati Pendapat Berbeda, Bukan Berarti Menerimanya


islamindonesia.id— Quraish Shihab: Menghormati Pendapat Berbeda, Bukan Berarti Menerimanya

 

Seteleh rangkaian silaturahminya ke kediaman dua ulama senior, yakni KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dua hari sebelumnya, pakar tafsir Al-Quran Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab beserta keluarga besar Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Jakarta berkunjung ke Pesantren Tebuireng Jombang, pada hari Senin, 26 Desember 2016.

[Baca: Gus Mus: Quraish Shihab, Habib yang Alim dan Mengasihi]

Seperti halnya saat bertemu Mbah Moen dan Gus Mus, beberapa hal penting disampaikan Quraish. Dalam dialog terbuka yang digelar di Tebuireng pun, dia mengajak kalangan pesantren dan seluruh masyarakat untuk terus berupaya mengembangkan budaya Islam yang damai, di antaranya dengan cara senantiasa menghormati perbedaan yang ada di tengah umat.

Dialog terbuka yang berlangsung di Aula Gedung Yusuf Hasyim Pesantren Tebuireng itu diikuti oleh ratusan kiai dan pengajar Al-Quran dari seluruh Jawa Timur. Quraish Shihab yang datang bersama istri dan sebagian anak cucunya serta didampingi Direktur PSQ Mukhlis M Hanafi disambut hangat oleh Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid beserta Nyai Hj. Farida Salahuddin.

Tampak hadir dalam forum dialog tersebut, Pengasuh PP Roudhotu Tahfidhil Quran Perak Jombang KH Masduqi, Mudir Madrasatul Quran Tebuireng KH Syakir Ridwan dan Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Nur Hannan.

Dalam kesempatan itu, ulama dan Habib yang dikenal luas sebagai ahli tafsir kontemporer itu menegaskan, menghormati pendapat yang berbeda bukan berarti menerimanya.

“Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki budaya yang sangat plural. Karena itu, semua pendapat yang berbeda, harus kita hormati. Dan, menghormati pendapat yang berbeda itu bukan berarti menerimanya,” tegasnya.

Quraish lalu mencontohkan bagaimana Muslimah Indonesia zaman dulu hanya mengenakan kerudung yang diselempangkan di kepala, dan tetap menampakkan sebagian rambut mereka. Berbeda dengan jilbab yang dikenakan perempuan zaman sekarang, yang menutupi seluruh kepala.

Menurutnya, para ulama zaman dahulu membiarkan praktik tersebut bukan tanpa dasar. Pasalnya, setiap pemikiran dan praktik keagamaan tidak bisa dilepaskan dari budaya yang berlaku di masyarakat.

“Pasti para ulama waktu itu mempertimbangkan konteks budaya yang berkembang di masyarakat,” paparnya.

Untuk itu, pendiri Pusat Studi Al-Quran ini pun mengajak kalangan pesantren untuk menjadikan konteks budaya sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan pemikiran dan studi Al-Quran.

“Dalam konteks studi dan pengembangan nilai-nilai Al-Quran, jangan sampai penafsiran kita tidak sejalan dengan budaya yang berkembang di masyarakat,” imbuhnya.

[Baca: Quraish Shihab: Indonesia Bukan Negara Sekuler, Bukan Negara Agama]

Meski demikian, menurut lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini, penghormatan terhadap perbedaan juga dibatasi pada budaya dan pendapat yang mengarah pada kedamaian.

“Semua pendapat yang berbeda, dari manapun datangnya, selama bercirikan kedamaian, harus kita hormati. Pendapat yang berbeda dengan kita, tapi tidak bercirikan kedamaian, (harus) kita tolak,” tegasnya.

Sebelum menutup rangkaian kunjungannya di Pesantren Tebuireng, Quraish Shihab beserta rombongan menyempatkan berziarah ke makam KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Saat akan keluar dari Kompleks Maqbaroh Pesantren Tebuireng, Quraish dan istrinya sempat mengalami kesulitan karena ratusan peziarah yang sedang memadati lokasi tersebut berebut menyalami keduanya.

 

EH / Islam Indonesai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *