Satu Islam Untuk Semua

Monday, 28 January 2019

Potret Indah Toleransi Beragama di Kampung Sawah


islamindonesia.id – Potret Indah Toleransi Beragama di Kampung Sawah

 

Masyarakat Kampung Sawah terlatih hidup dalam perbedaan agama satu sama lain. Pelajaran menjaga hidup bersama dapat dipetik dari warga Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik di pinggir Jakarta ini.

Bagi orang-orang Betawi di sini, toleransi bukan saja slogan tapi sudah menjadi adat. Tiap-tiap warga baru yang datang bisa dengan mudah merasakan kerukunan di sini, cukup dengan menerima warna-warni perbedaan sebagai kekayaan bersama.

“Kalau sudah minum air Kampung Sawah, jadilah orang Kampung Sawah,” kata Agatha Ani (52), Ketua RW 04 Kampung Sawah di rumahnya, Jalan Kampung Sawah, Gang Nyimin, Pondok Melati.

Tiga tempat ibadah terletak berdekatan satu sama sama lain, semuanya berada di Jalan Raya Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni hingga Kelurahan Jatimelati, Bekasi, Jawa Barat. Tiga tempat ibadah itu adalah Masjid Agung Al Jauhar Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi), Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Kampung Sawah, dan Gereja Katolik Santo Servatius.

Ini adalah tempat masyarakat Muslim dan Kristiani hidup bersama. Yang unik, masyarakat Kristiani asli sini mempunyai identitas Betawi. Agatha sendiri terlahir di keluarga Katolik, namun dia masuk Islam pada 1992 silam. Dia bersyukur hidup di lingkungan yang menerima perbedaan.

“Saya orang Kampung Sawah asli, saya dilahirkan di sini, dari saya kecil sampai saya setua ini, sudah kepala lima, saya melihat begitu rukunnya Kampung Sawah. Malah saya bangga jadi orang Kampung Sawah,” kata Agatha.

Menurut Agatha, ada cara-cara orang Kampung Sawah yang bisa diterapkan di masyarakat lain untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Pertama, ajarkanlah sikap toleransi sejak kecil, jangan menunggu si anak dewasa. Belajar kerukunan bukan dari sekolah, tapi dimulai dari keluarga.

“Awalnya keluarga, nggak usah orang luar, barulah ke tetangga sekitar. Itu yang paling utama,” kata Agatha.

Sebagaimana yang dialaminya dulu, dia diberi pengertian tentang tempat-tempat ibadah yang berlainan di sekitar rumahnya. Kebetulan di kawasan ini memang ada tiga tempat ibadah yang terkemuka.

Cara kedua, masyarakat lintas agama perlu saling mengunjungi saat hari besar agama-agama. Ini bukanlah aktivitas ikut beribadah agama lain, melainkan silaturahmi sebagai sesama warga. “Tetangga saya, kerabat saya di sekitar yang beragama Katolik mengajak anak cucunya untuk ke rumah yang berlebaran untuk saling bersilaturahmi,” tuturnya.

Dengan praktik-praktik seperti itu, toleransi bukan hanya berhenti sebagai sekadar nasihat melainkan menjadi praktik, praktik kemudian menjadi adat, dan adat bakal diwariskan dari generasi ke generasi. Ini juga yang menjadi sebab suasana tahun baru selalu semarak di Kampung Sawah, warga saling bersalaman, keliling, dan membaur.

Kiai Haji Rachmadin Afif (74), pendiri Yayasan Fisabilillah dan tokoh Islam di Kampung Sawah, menyatakan ada satu faktor yang menjadikan warga beda agama di sini bisa rukun, yakni kekerabatan. “Antara yang Kristen, Katolik, Protestan, ada Advent, ada Pantekosta, semua di sini kita adalah masih satu nenek moyang,” kata Rachmadin.

Bila ada potensi konflik antarumat beragama yang terdeteksi, maka potensi itu segera dibicarakan oleh pihak rumah-rumah ibadah di sini. Konflik pun bisa langsung diredam sejak dini.

Saat Natal tiba, warga Muslim akan membantu mengamankan lingkungan. Bila salat Idul Fitri atau Idul Adha, warga Kristiani juga turut mengamankan. Bila ada acara di gereja namun jemaat kurang lahan parkir, maka jemaat dipersilakan parkir di halaman masjid.

“Kalau parkir gereja kurang, nggak nampung misal ketika Natalan, ya di sini parkirnya, di halaman masjid. Nggak masalah. Itu bukan masalah akidah, silakan pakai di sini,” tutur Rachmadin.

Untuk menjaga ketenteraman bersama, Rachmadin melarang ceramah-ceramah agama yang menyulut suasana permusuhan antarumat beragama. Dia bakal tegas bila sudah nyata-nyata ada ceramah yang terdeteksi memuat ujaran kebencian.

“Kalau ada penceramah yang galak-galak, di sini kita nggak pakai. Yang suka ngata-ngatain orang, lu bukan ceramah lu, provokasi itu,” ujarnya dengan dialek Betawi.

Tokoh masyarakat dari Betawi Katolik Kampung Sawah, Jacob Napiun, juga punya resep menjaga kerukunan. Pertama, pertahankan sikap saling menghormati dan wariskan ke generasi yang baru. Hubungan kemasyarakatan lintas iman juga perlu terus dipupuk. Dia menyebut ada satu paguyuban, namanya Baraya Kampung Sawah, yang rutin menggelar pertemuan lintas agama, lintas marga, dan lintas generasi.

“Kegiatan-kegiatan itu memberi kita kesempatan untuk berinteraksi mempererat persaudaraan,” kata Jacob.

Peran tokoh agama masing-masing juga penting dalam menjaga kerukunan. Jacob melihat para tokoh Islam dan Kristen di sini selalu menyerukan persaudaraan.

Tokoh-tokoh yang menjunjung penghargaan terhadap keberagaman juga sering diundang untuk berbicara di forum Kampung Sawah. Tokoh-tokoh yang pernah diundang antara lain Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar hingga mantan Menteri Lingkungan Hidup lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Sonny Keraf.

Kini Kampung Sawah tak hanya berisi orang-orang Betawi Islam dan Kristen saja, namun banyak warga etnis lain dari seluruh Indonesia. Kampung Sawah terbuka terhadap siapa saja yang hendak mereguk nikmat kerukunan hidup bersama, tanpa harus menghilangkan perbedaan.

“Katakanlah Kampung Sawah terlalu kecil untuk menjadi contoh bagi Indonesia. Tapi sekecil apapun Kampung Sawah, kalau kita mau belajar dari apa yang ada di Kampung Sawah, rasanya tidak akan sia-sia. Harapan saya, biarlah Kampung Sawah menjadi Indonesia mini,” tandasnya.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *