Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 29 January 2014

Perlak, Kerajaan Islam Pertama di Indonesia


owiel.cbt-epstopik.com

Banyak pendapat menyatakan bahwa Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudra Pasai. Informasi ini pun kadung meluas ke seantero Nusantara, dan bahkan diajarkan di berbagai tingkat pendidikan sebagai bukti sejarah yang diajarkan secara turun temurun.

Namun, fakta baru menyebutkan bahwa Perlak lebih dulu didirikan ketimbang Samudera Pasai. Kerajaan Perlak muncul mulai tahun 1 Muharam 225 H atau 840 M sampai tahun 1292 M. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya bukti peninggalan sejarah berupa mata uang Perlak, stempel kerajaan dan makam Raja Benoa.

Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada tahun 1205 M, dan berakhir pada tahun 1521 M. Kedua kerajaan Islam yang sama-sama mengambil lokasi di Aceh ini berbeda jauh dari segi masa muncul dan berlangsungnya.

Sejarawan Nusantara, Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, mengatakan, “Islam yang sampai di Asia Tenggara paling dahulu ialah Perlak.”

Begitu pun dengan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan AhlusSunah, yang menulis, “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Indonesia yaitu Perlak, boleh dinamakan Daulah Syi’iyah (Kerajaan Syi’ah).”

Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri sebuah sistem pemerintahan bernama Negeri Perlak—yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.

Beberapa abad kemudian, pada tahun 173 H (800 M) tibalah sebuah kapal saudagar Islam yang membawa rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah, Teluk Kambey (Gujaraat). Mereka dipimpin oleh Nakhoda Khalifah yang beraliran Syiah.

Awalnya, rombongan ini berniat untuk berdagang sekaligus berdakwah untuk menyebarkan Islam ke Perlak. Namun, dalam waktu kurang dari setengah abad, para dai berhasil melakukan misinya tersebut. Raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.

Bukan hanya itu, mereka pun—para warga keturunan Arab, Persi dan Muslim India banyak yang melakukan pernikahan dengan warga asli Perlak, termasuk salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq yang menikah dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi—yang akhirnya melahirkan Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah bergelar Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah.

Melihat peluang tersebut, dengan ditambah melimpahnya bahan perniagaan, mereka pun berinisiatif untuk mendirikan sebuah kerajaan. Dan, pada hari Selasa di bulan Muharam tahun 225 H (840 M), berdirilah Kerajaan Perak dengan sultan pertamanya dipilih dari peranakan Arab Quraisy dengan puteri Meurah Perlak, yakni Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah.

Sultan kemudian mengubah ibukota kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur.

Ya, sejarah keislaman di Kesultanan Perlak ini tidak lepas dari persaingan antara kelompok Suni dan Syiah. Sultan Alaidin yang berlatar belakang Syiah mendapat dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir.

Namun ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syiah di pantai Sumatera dengan kelompok Syiah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatera dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syiah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.

“Selama Sultan Malikul Saleh berkuasa, agama Islam aliran Syiah ditindas,” tulis Slamet Muljana.

Dan, pada tahun 363 H (913 M), tepatnya setelah wafatnya sultan ketiga yang dipimpin oleh Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, terjadi perebutan kekuasaan, hingga menimbulkan perang saudara antara kaum Syiah dan Suni.

Dalam kondisi tersebut, kerajaan pun menjadi vakum. Selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Hingga pada tahun 302 H (915 M), kaum Syiah memenangkan perang tersebut, dan ditunjuklah Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah sebagai penerus tahta kerajaan.

“Di kesultanan ini, kelompok Ahlusunah dan Syiah dapat secara bebas menyampaikan akidah dan pemikiran tasawwuf mereka meskipun terkadang terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Muhammad Zafar Iqbal, doktor sastra Persia dari Universitas Tehran Iran.

Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Suni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Suni, sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Suni.

“Di antara para penganjur aliran Syiah yang utama di pantai timur Sumatera ialah penyair Hamzah Fansuri dari Barus dan Syamsuddin al-Sumatrani pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Aliran Syiah di kesultanan Aceh itu pun kemudian dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang dipimpin oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri,” tulis Slamet Muljana.

Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Suni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya.

Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Suni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).

Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak.

Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Suni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.

Sumber: berbagai sumber

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *