Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 16 January 2022

Perempuan di Kepengurusan Baru PBNU


Terdapat sebelas nama perempuan yang masuk di dalam susunan kepengurusan PBNU selama lima tahun ke depan. Bagaimana sebenarnya peran perempuan Muslim dalam organisasi?

Islamindonesia.id – Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmah 2022-2027 di bawah kepemimpinan Ketua Umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) telah diumumkan. Susunan pengurus PBNU yang baru ini cukup menyita perhatian publik.

Pasalnya, terdapat sebelas nama perempuan yang masuk di dalam susunan kepengurusan selama lima tahun ke depan tersebut. Nama-nama seperti Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur, dan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur, termasuk dua nama di antara 11 perempuan yang masuk dalam jajaran pengurus PBNU 2022-2027.

Menurut Alissa, sejak awal ruang untuk perempuan itu besar di NU. Hampir semua acara pasti banyak perempuan yang tampil. NU juga memiliki badan otonom perempuan seperti Muslimat dan Fatayat serta banyak juga kader perempuan NU yang jadi tokoh politik.

Bagi Alissa, kehadiran perempuan di pengurus harian PBNU merupakan terobosan besar yang sangat penting dalam perjalanan NU sebagai suatu jam’iyah serta sebagai gerbang bagi perempuan lain untuk memperbesar pengabdian mereka bagi organisasi, umat Islam, bangsa, negara, dan peradaban dunia.

“Baru kali ini setelah 96 tahun usia NU menurut kalender masehi atau 99 tahun menurut kalender hijriah, kaum perempuan diakomodasi di dalam susunan pengurus harian (tanfidziyah) PBNU,” kata Ketua Umum PBNU Gus Yahya saat mengumumkan jajaran pengurus PBNU beberapa waktu lalu.

Terkait dengan terobosan penting dalam kesetaraan peran perempuan di PBNU, semua agama sejatinya mengajarkan kebaikan, dan makhluk hidup adalah setara di mata Sang Pencipta.

Sama halnya dengan laki-laki, Islam memandang kaum perempuan setara bahkan memuliakannya. Hal tersebut tidak hanya tercantum di dalam ayat-ayat suci Al-Quran, namun juga melalui perlakuan Rasulullah SAW terhadap kaum perempuan. Hak-hak kaum perempuan pun diberikan setelah datangnya Islam.

Imam Besar Masjid Istiqlal, Kiai Nasaruddin Umar mengatakan bahwa Islam menjunjung tinggi kaum perempuan dan kesetaraan. Al-Quran, katanya, telah memberi isyarat bahwa kaum perempuan bisa sukses dan menjadi pemimpin melalui tiga surat yang mengisahkan Ratu Balqis.

“Al-Quran menyebutkan orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa. Jadi, hal ini tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, kewarganegaraan, warna kulit, dan lainnya. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kaum perempuan dan kesetaraan,” tegas Nasaruddin Umar.

Bahkan, kata Nasaruddin Umar, Rasulullah SAW menjadi yang pertama mengizinkan perempuan untuk ikut ke medan perang. Rasulullah SAW sendirilah yang memproklamasikan kemerdekaan perempuan.

Kiai Nasaruddin Umar juga menceritakan dahulu kala sebelum Islam datang ke muka bumi, kaum perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan warisan. Namun, saat Islam datang, perempuan memperoleh hak atas waris dan boleh dipestakan kelahirannya (aqiqah).

“Persoalan terkait ketidaksetaraan gender bukan persoalan agama, melainkan budaya dan penafsiran agama yang kurang tepat, sehingga perempuan menjadi korban. Berhentilah melakukan penzaliman atas nama agama,” kata Nasaruddin Umar.

Perempuan Punya Peran Penafsiran dan Kepemimpinan

Senada dengan Nasarudin Umar, peneliti sejarah Islam dari Institut Studi Politik, Lyon, Perancis, Samia Kotele mengatakan di awal-awal Islam, perempuan memiliki akses dan peran setara terhadap teks kitab suci, yang memungkinkan mereka membentuk otoritas penafsiran.

Namun, seiring waktu, peran itu tenggelam dan banyak tafsir lahir tanpa disertai sensitivitas gender. Padahal, kata Samia, salah satu prinsip dalam Islam adalah kesetaraan. Karena prinsip itu pula, sejumlah perempuan di era Nabi Muhammad mampu memulai tradisi dalam bidang keagamaan.

Peran perempuan dalam tafsir, misalnya, sudah terlihat. Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam agama menjadi makin terpinggirkan. Dalam konteks masa lalu, lanjut Samia, muncul sekelompok perempuan di lingkaran terdekat Nabi yang punya akses kepada teks kitab suci.

Indonesia menjadi penting dalam kebangkitan peran ulama perempuan di Abad ke-20. Ketika Muhammadiyah dan NU berdiri, misalnya, mereka memiliki organisasi nasional untuk perempuan. Selain itu, dalam peta muslim dunia, peran Indonesia juga penting, dan salah satu yang paling penting adalah terkait pendidikan.

Di Indonesia, pendidikan bagi perempuan sudah ada sejak awal, misalnya melalui pesantren. Meskipun tetap muncul perbedaan, setidaknya kesempatan menempuh pendidikan bagi perempuan cukup terbuka jika dibandingkan dengan kondisi di mayoritas negara berpenduduk muslim lainnya, khususnya di wilayah Arab.

Karena sejarah panjang itu pulalah, kata Samia, kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 dapat dipahami. KUPI sendiri mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki perspektif gender untuk memahami teks-teks keagamaan. Bahkan, dalam tradisi kepemimpinan Islam di Indonesia, Kerajaan Aceh juga pernah dipimpin oleh empat sultan perempuan atau sultanah.[] (Wahyu/ IslamIndonesia/ Sumber: NU Online, VOA, KPPA dan KUPI]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *