Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 26 November 2016

Peran Strategis Tasawuf Redam Radikalisme


islamindonesia.id – Peran Strategis Tasawuf Redam Radikalisme

 

Dalam rangka memperoleh kesadaran terhadap isu-isu kunci dan masalah yang mengancam kemanusiaan, keamanan nasional, global, regional, internasional, dan untuk menumbuhkan kembali esensi agama, yaitu kebijaksanaan, kedamaian dan cinta, melalui ajaran tasawuf, Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta, bekerja sama dengan Fakultas Filsafat UGM mengadakan International Conference on Sufism (ICS): Building Love and Peace for Indonesian Society (Rahmatan lil Alamiin). Konferensi yang berlangsung pada Jumat (18/11), pukul 08.00 -17.30, itu sukses menarik perhatian dari sejumlah negara di antaranya Malaysia, Iran, dan beberapa daerah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Persatuan, lantai 3, Gedung Notonegoro, Fakultas Filsafat UGM, konferensi dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat. Kendati jajaran narasumber lebih didominasi oleh lingkungan ahli tariqat, para peserta datang dari lapisan akademisi dan peneliti tasawuf. Tampaknya konferensi ICS yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di UGM mampu mengakomodasi berbagai perhatian publik terhadap tasawuf.

Selaku Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. Arqom Kuswanjoyo membuka konferensi dan menekankan arti penting tasawuf bagi kaum akademisi sehingga diperlukan interaksi langsung dengan para ahli tariqat dalam upaya bersama membangun Tanah Air. Sementara itu, Wakil Rektor UGM bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Prof. Dr. Suratman, M.Sc, dalam sambutannya, menyampaikan posisi tasawuf dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman dan potensinya dalam pembangunan manusia sebagai pelaku sejarah dan perubahan.

tasawuf-redam-radikalisme

Konferensi ICS yang berlangsung satu hari ini menghadirkan Dr. Kholid Al Walid sebagai keynote speaker. Dalam paparannya, ketua STFI Sadra ini melakukan eksplorasi atas lapisan-lapisan bidang tasawuf dan Irfan Islam guna menghimpun nilai-nilai kemanusiaan yang urgen ditanamkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tidak sedikit pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya mereka bukan sekadar berkecenderungan ke arah hidup sufistik, tetapi mereka itu justru guru-guru agung tasawuf,” ujarnya.

Sesi I dihadiri sejumlah tokoh tariqat seperti: KH Dhiauddin Quswandi Azmatkhan, Prof Syukri Abdullah Yeoh, Syeikh Rohimuddin al-Nawawi al-Bantani, dan Prof Dr. Ali Mishbah. Sementara pada sesi II hadir Dr. Muhammad Ibrahimi, Dr. Mukhtasar Syamsuddin, dan Gus Mustafied.

KH Dhiauddin Quswandi Azmatkhan (Pimpinan Rabithah Azmatkhan, Mursyid Tariqa Syatariah dan Akmaliah, tariqa Tasawuf Nusantara Walisanga) mengawali sesi I dengan menguraikan wawasan umum tasawuf dan menempatkan intinya pada mencintai Allah dan makhluk-Nya tanpa syarat, sedangkan ruhnya tasawuf adalah dzikir. Ditambahkan pula kedudukan tasawuf dalam Islam memperoleh perhatian yang sangat besar. “Begitu banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menyeru manusia agar bertaubat, zuhud, niat yang ikhlas, sabar, tawakkal dan tulus. Berpijak pada nilai-nilai ini dapat diharapkan terbangunnya tazkiyyatun nafs, yakni kesucian diri. Di sinilah kunci kebahagiaan hakiki manusia dan masyarakat,” papar Dhiauddin.

Sementara Prof Syukri Abdullah Yeoh mengemukakan hasil-hasil penelitiannya terkait ajaran-ajaran tasawuf dalam tradisi dan dokumen kuno Melayu, sedangkan Prof Dr. Ali Mishbah mengurut asal dan akar ajaran tasawuf hingga ke sumber autentik. “Tasawuf dalam Islam terpelihara keutuhannya sejauh para pelaku dan penelitinya bergerak dalam koridor Al-Qur’an dan hadis,” tutur Mishbah. Ia menegaskan tasawuf mengandung nilai-nilai universal yang berhasil dipadukan dengan komitmen pada norma-norma partikular. “Para tokoh besar dari tariqat manapun adalah para ahli hukum Islam,” pungkasnya.

Dalam merespon dinamika sosial yang tengah berkembang dalam skala nasional maupun internasional, konferensi menyajikan sesi II yang berfokus pada penggalian potensi, peran dan kontribusi tasawuf, terutama menyangkut masalah radikalisme. Seperti dipaparkan Dr. Mukhtasar, masyarakat masih harus waspada terhadap kecenderungan dan trend terorisme sebagai bentuk faktual radikalisme. “Dan tasawuf merupakan salah satu sarana efektif dalam penanggulangan masalah ini sejak generasi dini,” ujarnya.

Konferensi ICS ditutup oleh Prof Dr Amsal Bakhtiar (Direktur Pendidikan Tinggi Islam Republik Indonesia). Dalam paparan singkatnya, ia mendukung penuh kepedulian dan program penyelenggaraan konferensi tasawuf setingkat internasional ini, dan perlu dibina perhatian kalangan akademisi terhadap peran tasawuf dengan tetap mempertimbangkan relevansinya dengan kondisi aktual. Amsal berharap konferensi pertama tentang tasawuf ini, sebagaimana namanya, harus dipastikan diadakan setiap tahun di lingkungan kampus dengan melibatkan berbagai perguruan tinggi.

Di sela-sela konferensi juga diadakan penandatanganan nota kerjasama antara STFI Sadra dan Fakutas Filsafat UGM dalam pengembangan pusat kajian Filsafat Islam. Konferensi juga dimeriahkan dengan pembacaan serat kidung sufistik yang dibawakan peneliti dan budayawan Jawa, Ki Sinung Herman.

 

EH – AF / Islam Indonesia

0 responses to “Peran Strategis Tasawuf Redam Radikalisme”

  1. […] Dalam rangka memperoleh kesadaran terhadap isu-isu kunci dan masalah yang mengancam kemanusiaan, kea… Bertempat di Ruang Persatuan, lantai 3, Gedung Notonegoro, Fakultas Filsafat UGM, konferensi dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat. Kendati jajaran narasumber lebih didominasi oleh lingkungan ahli tariqat, para peserta datang dari lapisan akademisi dan peneliti tasawuf. Tampaknya konferensi ICS yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di UGM mampu mengakomodasi berbagai perhatian publik terhadap tasawuf. […]

Leave a Reply to Peran Strategis Tasawuf Redam Radikalisme – jurnalnusantaraonline.com Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *