Satu Islam Untuk Semua

Friday, 01 November 2013

‘Penganut Kepercayaan’ Masih Di Diskriminasikan


Masyarakat penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa hingga kini masih belum mendapapatkan perlakuan setara dengan penganut agama lainnya di Indonesia. Demikian pengaduan yang diterima oleh Komisi III DPR RI.

Menurut salah satu anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, banyak keluhan dari masyarakat terkait situasi diskriminatif tersebut. Misalnya Ibu Tenry Bibi dari Tolotang, Sidrap, Sulawesi Selatan, yang secara terbuka mengungkapkan perasaan ‘sedang dijajah di tanah air sendiri’ itu.

“Bentuk ‘penjajahan’ itu terlembaga dan bermula dari pencantuman identitas agama di KTP. Walau MK sudah membuat putusan bahwa negara tidak berhak membatasi enam agama resmi, tetapi dalam pembuatan KTP dan E-KTP, agama-agama lokal tidak diakomodasi alias disetrip,” ungkap Eva dalam keterangannya kepada media pada Rabu (30/10). 

Masalah lantas mengemuka  saat tanda ‘strip’  ditafsirkan bermacam-macam. Selain keluhan dari Sulawesi Selatan, Ibu Dian Jeani dari Sapto Darmo, Surabaya, juga bagaimana anak-anak Penghayat diolok-olok sebagai kafir ketika menjelaskan identitasnya sebagai Penganut Penghayat.

“Karena sekolah tidak menyediakan pelajaran agama penghayat, maka anak-anak penghayat dipaksa ikut pelajaran agama Islam termasuk menjalankan praktek shalat,” kata Eva. Akibatnya perlakuan itu,  anak-anak  para Penghayat menjadi stress dan inferior.  

Situasi  dan posisi para penghayat menjadi semakin rentan diskriminasi secara hukum saat mereka dihadapkan dengan ormas-ormas agama yang antipluralitas.

Di Jambi, kata Eva, para penganut agama lokal disebut ‘penghayat sesat’ oleh ormas agama setempat dan rawan jadi sasaran kekerasan baik simbolik maupun fisik. Hal senada sudah terjadi di Jawa Barat.

Inilah yang menjadikan Eva tak habis pikir akan pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi agar pemda-pemda merangkul ormas seperti FPI.

“Mereka merasa seperti diumpankan ke ormas-ormas pelaku kekerasan yang dalam strateginya mempolitisasi agama,” ujarnya.

Sebelumnya sekitar 15 ibu-ibu dari 12 kelompok Penghayat Kepercayaan di bawah koordinasi Aliansi Bhinneka Tunggal Ika, mengadu ke Fraksi PDI Perjuangan pada Selasa (29/10). Selain mengeluhkan soal posisi rentan mereka dalam bermasyarakat dan permintaan untuk mengakui keberadaan keyakinan selain 6 agama, mereka pun menuntut agar pemerintah menghilangkan pencantuman agama dari KTP karena hal itu memnacing sikap diskriminatif terhadap mereka. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *