Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 10 February 2016

Muhammadiyah Bolehkan Ziarah Kubur, Gus Mus: NU Tidak Kunut Juga Biasa


Sebagai ormas Islam yang berusia seabad lebih, Muhammadiyah telah melalui proses perkembangan yang panjang dalam perjalanan sejarahnya. Perjalanan organisasi yang kini dinahkodai Haidar Nasir itu, kata Prof. Dr. Syafiq Mughni, juga mengalami sejumlah pergumulan pemikiran.

“Kalau dulu Muhammadiyah jauh dari tasawuf dan tarikat sehingga ada yang mengatakan bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf dan tarikat. Tetapi dalam proses perkembangan dan pergumulan pemikiran, terjadilah apresiasi,” kata Syafiq, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam sebuah seminar di Yogyakarta yang dihadiri tokoh NU KH. Mustafa “Gus Mus” Bisri, Kamis (6/2).

Sekalipun bukan menganut tasawuf dan tarikat, lanjut Syafiq, Muhammadiyah memberi apresiasi yang sangat besar dan itu diwujudkan dalam bentuk dakwah kultural Muhammadiyah. Instrumen-instrumen budaya dan tradisi di masyarakat bisa dimanfaatkan dalam rangka dakwah Islam, katanya.

“Sekarang orang Muhammadiyah ziarah kubur itu biasa. Bukan sesuatu yang asing. Kalau dulu kan nampak asing,” kata Syafiq sambil mengutip hadis Nabi yang mendukung bolehnya ziarah kubur.

Di sisi lain, Eks Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo ini sepakat dengan tulisan peringatan di sejumlah kuburan yang melarang minta-minta kepada orang yang telah meninggal dunia. “Jadi kalau itu prinsipnya, maka semakin tidak ada lagi perbedaan yang signifikan yang membuat NU dan Muhammadiyah berjarak.”

Dalam seminar bertajuk “Sinergi NU-Muhammadiyah” itu, Gus Mus menyatakan bahwa perbedaan itu fitri. Allah tidak menghendaki semua ini jadi satu, katanya. “Andaikata Tuhan menghendaki, kalian dijadikan satu umat,” kata Gus Mus mengutip ayat Alquran. Gus Mus melanjutkan, merujuk kata “law” (andaikata) dalam ayat itu, berarti tidak mungkin terjadi ‘satu’. Mengapa? Karena Tuhan tidak menghendaki hingga terjadilah keberagaman.

Bagi pria berambut putih ini, berbeda itu bukan berarti tidak bisa lagi sejalan. Jangankan NU-Muhammadiyah, kata Gus Mus, di internal NU sendiri perbedaan pandangan itu biasa. Gus Mus lalu bercerita bagaimana Kiai Hasyim berbeda pandangan dengan Kiai Fakih soal memukul kentongan di masjid sebelum azan. Meski berbeda, keduanya yang masih kerabat itu tetap rukun.

“Sekarang orang Muhammadiyah ziarah kubur ya biasa, orang NU juga tidak kunut ya biasa,” kata Gus Mus.

Pria berusia 71 tahun ini tidak lupa menyorot sosok kedua pendiri ormas besar Islam Indonesia tersebut. Jika sejarah perjalanan hidup keduanya dipelajari, bagi Gus Mus, akan banyak modal didapatkan untuk bersinergi. Gus Mus bahkan mengaku nge-fan dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang sebaya dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

“Kiai Ahmad Dahlan termasuk yang saya kagumi, bukan hanya karena alim, tapi juga kedalaman ilmunya, prilakunya, kecerdasannya, ketangguhannya dalam berjuang,” kata Gus Mus.  Jebolan Al Azhar Mesir ini melanjutkan, “Anda melihat gambar wajahnya saja, Anda sudah senang. Bayangkan kalau Anda melihat (langsung) orangnya.”

Dalam seminar yang dihadiri ratusan peserta itu, Prof. Syafiq Mughni mengingatkan ramalan intelektual Muslim, Nurcholis Madjid. Almarhum yang dikenal dengan panggilan Cak Nur ini, kata Syafiq, pernah memperkirakan bahwa tahun 2025 adalah masa keemasan Islam Indonesia. Pencapaian itu bisa diraih ketika NU dan Muhammadiyah bersinergi dalam arti yang sebenarnya, katanya.[]

 

Edy/ Islam Indonesia

4 responses to “Muhammadiyah Bolehkan Ziarah Kubur, Gus Mus: NU Tidak Kunut Juga Biasa”

  1. tobiin says:

    tp kenapa Muhamadiyah selalu harus beda dg NU, bahkan karena gengsi sering membuat fatwa yg merugikan umat terutama muhamadiyah sendiri, seperti penetapan idul fitri

    • Jamal says:

      Itu tidak perlu dipermasalahkan saudaraku. Seperti dijelaskan diatas bahwa :
      Dalam seminar bertajuk “Sinergi NU-Muhammadiyah” itu, Gus Mus menyatakan bahwa perbedaan itu fitri. Allah tidak menghendaki semua ini jadi satu, katanya. “Andaikata Tuhan menghendaki, kalian dijadikan satu umat,” kata Gus Mus mengutip ayat Al Qur’an. Gus Mus melanjutkan, merujuk kata “law” (andaikata) dalam ayat itu, berarti tidak mungkin terjadi ‘satu’. Mengapa? Karena Tuhan tidak menghendaki hingga terjadilah keberagaman.

  2. Toha says:

    Maaf, bisa mohon pencerahannya, yang tentang Cak Nur meramal itu…. Dalam konteks apa ramalannya dan ramalan itu sendiri maksudnya gimana dan sejauhmana?
    tentu Cak Nur bukan sekadar meramal seperti duku yang lebih cenderung ke mistis. Cak Nur orang rasional dan punya kepastian berpikir yang jelas, termasuk tentang Islam INdonesia tahun 2025 itu…
    Makasih!

  3. yan says:

    Muhammadiyah kurang berapresiasi kpd bertasauf ? perlu dikaji ulang. Muhammadiyah pernah punya tokoh tasawuf berkaliber spt HAMKA. Tokoh2 pejuang kemerdekaan Muhammadiyah hidupnya sederhana mereka mempraktekan tahajjud setiap malam siangnya mereka puasa sunat, sebut saja spt jdr. Sudirman, Tubagus Hadikusumo dll. Bandingkan ketasawufan Amin Rais dg Gusdur (alm), Amin Rais hanya punya mobil carry di rumahnya pd saat itu, puasa Daudnya tak pernah berhnti, berdoa 10 tahun tak henti henti supaya punya keturunan. Lirik juga Din Samsudin, Hadar Natsir adakah hasrat utk punya istri 2 ? tanya para mubaligh Muhammadiyah berapa tarifnya? Adakah para Mubaligh Muhammadiyah yg kaya yg hanya mengandalkan kepintaran dakwahnya? Bandingkan Panti2 Asuhan yg dikelola Muhammadiyah dg Panti Asuhan yg dikelola NU meskipun Muhammadiyah lebih kecil dari NU. Berapa juta hektar wakaf tanah Muhammadiyah? Kalaulah tasawuf disimbolkan dg biji tasbih, jubah, kumat kamit do’a dan yg berbau mistik ya tentu hrs diperanyakan ketasawufan Muhammadiyah, akan tetapi pd umumnya meskipun do’a n dzikir org2 muammadiyah pendek tetapi shalatnya lebih panjang dari Nahdiyyin. Mau tahu? bandingan saja salat tarawih orang NU dan Muhammadiyah. Maaf… Salam…

Leave a Reply to yan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *