Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 12 November 2014

Mengenang Kiai Abbas Abdul Jamil, Panglima Hizbullah Era Kemerdekaan (Bagian I)


Kiai Abbas Abdul Jamil

Di balik peristiwa dahsyat 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan, sejarah mencatat nama seorang ulama dari kota Cirebon yang saat itu kedatangannya ke kota Surabaya amat dinantikan. Bahkan, saat Bung Tomo berkonsultasi kepada K.H. Hasyim Asyari guna meminta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara sekutu, Kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan baru dimulai saat ulama dari Cirebon tersebut datang.

Ulama yang dimaksud adalah pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Beliau adalah Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang lahir pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300H (1879M) di Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat. Dia adalah putra sulung Kiai Abdul Jamil, putra Kiai Muta’ad yang juga menantu Mbah Muqqayim, pendiri Pondok Pesantren Buntet dan salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.

Kiai Abbas memang berasal dari keluarga alim. Pertama ia belajar dari ayahnya sendiri, K.H. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, barulah dia pindah ke Pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha. Masih diJawa Barat, dia berpindah lagi ke sebuah pesantren salaf daerah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan.

Dari Jawa Barat, barulah Kiai Abbas menuju sebuah pesantren di Tegal, Jawa Tengah, yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan K.H. Hasyim Asyari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri Nahdlatul Ulama. Di tempat inilah, Kiai Abbasbertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti K.H. Abdul Wahab Chasbullah (arsitek pendiri NU yang menerima gelar Pahlawan Nasional 2014) dan K.H. Abdul Manaf yang turut mendirikan pesantren Lirboyo, Kediri.

Bermodalkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dengan keilmuan yang dipelajari dari Makkah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah, maka mulailah Kiai Abbas diamanahi untuk memimpin Pesantren Buntet.

Ketika usia Kiai Abbas mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu menuju puncaknya, pengajaran ilmu kanuragan (bela diri supranatural) dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Maka dengan berat hati ia terpaksa meninggalkan kegiatannya mengajar kitab kuning dan lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di masyarakat dengan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah. Tampaknya hal tersebut dia warisi dari kakeknya, yaitu Mbah Muqayyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda.

Semenjak keputusannya tersebut, Pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Pada masanya, Hizbullah merupakan kekuatan tangguh dan disegani musuh karena memperoleh latihan-latihan berat dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air). Kiai Abbas membuktikan bahwa pesantren merupakan tempat pergerakan para pejuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Bersambung.

(Eja/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *