Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 27 November 2019

Kata Sultan Soal Penguatan Intoleransi di Yogyakarta


islamindonesia.id-Kata Sultan Soal Penguatan Intoleransi di Yogyakarta

Setera Institute menyebut Yogyakarta bertengger di peringkat keenam tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Laporan hasil riset itu dipublikasikan pada 24 November 2019.

Menurut Setara, setidaknya terjadi 37 peristiwa intoleransi di Yogyakarta dalam lima tahun terkahir ini. Di antaranya penolakan terhadap warga untuk tinggal satu kampung karena berbeda keyakinan dengan penduduk setempat.

Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubowono X enggan berkomentar banyak terkait hasil riset Setara. Meski demikian, Sultan tidak membantahnya.

“Ya mungkin saja (memang demikian), (tapi) saya tidak tahu persis dasarnya apa,” kata Sultan seperti dikutip voaindonesia.com, 26 November.

Orang nomor satu di Yogyakarta ini mengaku, pihaknya telah berupaya menurunkan angka intoleransi. Salah satunya, Sultan mengeluarkan instruksi penanganan tindak intoleransi pada April lalu.

“Kita hanya bisa mencoba untuk menurunkan beban intoleransi itu,” ujarnya. “Sekarang sebetulnya perkembangan sudah terjadi, hanya sekarang modelnya alasannya kearifan lokal. Ganti motif, ganti isu.”

Pada 12 November, misalnya, polisi dan kelompok intoleran mendatangi rumah Ketua Paguyuban Padma Buwana, Utiek Supradi, dan membubarkan upacara leluhur Ki Ageng Mangir di Desa Mangir, Pajangan, Bantul. Sepuluh warga dilaporkan berdiri di depan rumah Utiek dan menghadang puluhan peserta upacara yang datang dari berbagai daerah.

“Polisi menganggap kegiatan kami tidak berizin dan meminta kami membatalkan karena ada warga yang keberatan,” kata Utiek.

Ia menjelaskan, penolakan upacara memperingati wafatnya Ki Ageng Mangir, bukan pertama kali. “Kami dianggap menyembah berhala. Yang menolak, orang-orang yang sama,” katanya.

Kepala Kepolisian Resor Bantul, Ajun Komisaris Besar Wacyu Tri Budi Sulistiono, membantah anak buahnya menghentikan upcara tersebut. Polisi, menurut Wacyu, datang ke lokasi untuk mengamankan agar tidak terjadi konflik.

Sebagian warga dusun itu keberatan dan mempertanyakan izin acara tersebut. “Polisi tidak menghentikan. Kami hanya minta upcara dipercepat karena rawan konflik,” kata Kapolres.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, menyebut Sultan Yogyakarta yang juga Gubernur setempat belum mampu menangani penguatan intoleransi di wilayah kekuasaanya. “Sultan dengan legitimasi kultural dan struktural, baik sebagai raja maupun gubernur, belum mampu mengefektifkan pengaruhnya dalam menangani penguatan intoleransi di Yogyakarta,” katanya seperti dilansir harian Tempo, 14 November.

Menurut Ismail, kelompok-kelompok intoleransi di Yogyakarta cenderung menguat. Banyak organisasi pengusung aspirasi intoleran menjadi Yogyakarta sebagai area dakwah. Mereka bahkan menguasai saluran-saluran komunitas di tingkat kampung.

Anggota Parampara Praja DIY, Amin Abdullah menyebut, Sultan sudah bertindak, antara lain dengan mengeluarkan instruksi gubernur.

“Setara sudah mengapreasiasi, bahwa surat edaran gubernur itu punya pengaruh, meskipun sedikit. Tetapi ada pengaruh, dan gubernur yang lain belum berani mengeluarkan semacam itu. Saya kira, dia sebagai pimpinan kultural, saya kira, cukup memberi jaminan kepada kedamaian. Sebagai tokoh kultural,” kata Amin seperti dikutip voaindonesia.com

Parampara Praja, adalah lembaga khas terkait keistimewaan DIY, yang bertugas sebagai dewan penasehat gubernur. Sesuai undang-undang, Sultan Keraton Yogyakarta merupakan Raja sekaligus Gubernur secara otomatis.

YS/islamindonesia/Foto: Krjogja.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *