Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 15 April 2014

Kala Kota Perdamaian Hancur (Bag. 1)


OnIslam.net

Jatuhnya Baghdad bukan hanya sekadar perubahan kekuasaan.

Pada 9 April 2003 ketika tentara AS memasuki Baghdad, ibukota Irak dan resmi menginvasi negara, kota tersebut mendadak dikenal hampir seluruh media internasional dengan sebutan “jatuhnya Baghdad.” Istilah ini kemudian sepanjang sejarah digunakan untuk menyebut kota itu sebagai wilayah yang ditaklukkan kekuatan lain. Tapi, dalam kasus Baghdad, itu berbeda, setidaknya karena ‘jatuh’ yang dialami Baghdad lebih dari sekadar perubahan kekuasaan.

Ketika dunia menyaksikan jatuhnya patung besar presiden Saddam Hussain di Baghdad Firdos Square secara dramatis, ini menandakan bahwa musim gugur yang jauh lebih besar sedang terjadi ketimbang sekadar invasi asing atau penggulingan penguasa. Betapa tidak, musim ini telah meggugurkan budaya kota, infrastruktur, pendidikan, sumber daya alam, kekayaan intelektual dan ilmiah. Segala sesuatu yang Baghdad, dan umumnya Irak, dikenal dan terkenal sepanjang sejarah, sedang diserang, dihina dan disiksa dengan kejam dan disaksikan oleh dunia.

Kekuatan Amerika menyerang tidak hanya menghancurkan warisan negara tetapi sejarah seluruh bangsa. Hari itu, hampir seluruh masyarakat di sana menangis tanpa henti, dengan amarah dalam diri.

Istilah al-‘Iraq—yang berarti pantai di sepanjang-panjangnya sungai, serta lahan penggembalaan sekitarnya—telah digunakan setidaknya sejak abad ke-8 oleh ahli geografi Arab untuk merujuk pada dataran aluvial besar Tigris dan Efrat Rivers, sebuah daerah yang dikenal Eropa sebagai Mesopotamia.

Nama Baghdad bagi dunia Barat secara simbolis merujuk pada ilmu pengetahuan Arab, yang memiliki dampak mendalam pada era Renaissance Eropa. Dalam sejarah, Baghdad menjadi kota kekuasaan para khalifah Abbasiyah dan lama difungsikan sebagai pusat dunia Arab.

Sejarah terulang

Menjadi kota terbesar kedua di dunia Arab (setelah Kairo, Mesir), dan kota terbesar kedua di Asia Barat (setelah Teheran, Iran), bersama dengan sumber daya yang kaya membuat Baghdad menjadi target utama bagi banyak kekuatan super sepanjang sejarah. Pasukan seperti Fatimiyah, Mongol, Turki Ottoman, Inggris dan baru-baru ini Amerika, semua mencoba untuk mengambil alih dan menguasai kota yang ironisnya pernah disebut oleh Al-Mansur sebagai Madinat al-Salaam atau Kota Perdamaian.

Ketika pasukan Amerika memasuki Baghdad, dampak kehadiran mereka segera terlihat, banyak sarjana dan sejarawan melihat tengah terjadi pengulangan invasi Mongol yang terjadi pada 1258. Salah satu periode terburuk sejarah Irak, yang menyebabkan berbagai kehancuran, kebakaran, pengepungan, atau penjarahan. Bangsa Mongol membantai sebagian besar penduduk kota, termasuk khalifah waktu itu, dan menghancurkan sebagian besar kota.

Kanal dan tanggul yang membentuk sistem irigasi kota juga hancur, beberapa universitas, perpustakaan dan penerbitan dihancurkan dan dibakar bersama dengan buku-buku yang dilemparkan ke sungai Tigris dan dikatakan bahwa sungai telah berubah warna karena tinta buku dalam jumlah besar ikut hanyut di dalamnya.

Para sarjana, ilmuwan dan humanis juga menjadi target mayoritas pembunuhan, dipenjarakan atau disiksa sampai mereka meninggalkan kota, dan ini kembali terjadi saat Amerika menginvasi Irak.

Menurut laporan resmi, lebih dari 5500 ilmuwan dan ulama Irak melarikan diri dalam rasa takut. Sementara itu, 200 universitas ditutup dan 530 ahli ilmiah semuanya telah dibunuh.

Invasi Mongol mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah. Peradaban Islam belum sepenuhnya pulih, tetapi invasi Amerika mengakhiri “identitas Irak yang sudah lama didirikan dengan, menciptakan sektarianisme, kemiskinan, buta huruf dan migrasi secara besar-besaran.”

 

Sumber: On Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *