KAJIAN – Mengapa 1 Sunnah Nabi Dipahami Beragam oleh Para Ulama? (Bagian-1)

IslamIndonesia.id– KAJIAN -– Mengapa 1 Sunah Nabi Dipahami Beragam oleh Para Ulama? (Bagian-1)
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, Sunah Nabi merupakan induk dari sekian banyak disiplin ilmu agama. Ilmu ini pernah menjadi mahkota ilmu-ilmu keislaman. Sebut saja Badruddin Az-Zarkasyi (1344-1391) yang mengklasifikasikan ilmu-ilmu keislaman menjadi tiga bagian:
Pertama: Ilmu yang telah “matang tetapi belum terbakar” (nadhaja wa lam yahtariq) seperti nahwu (tatabahasa) dan ushul fiqh. Kedua: Ilmu yang “belum matang dan belum pula terbakar”, seperti sastra dan tafsir. Ketiga: Ilmu yang “telah matang dan terbakar pula”, yaitu fiqih dan hadis.
“Ilmu Fiqih dan Ilmu Hadis dikatakan matang dan terbakar karena kedua ilmu ini begitu banyak dibahas oleh para ulama. Istilah-istilah yang digunakan begitu ramai; sehingga tidak jarang setiap ulama mempunyai pengertian yang berbeda dengan ulama lain, walaupun istilah yang digunakan sama,” kata Quraish Shihab menyambut karya Syekh Al Azhar Mesir, Muhammad Al Ghazali, bertajuk ‘Studi Kritis atas hadis Nabi’ (Mizan, 1993).
Adapun Fiqih, lanjut penulis ‘Tafsir Al Misbah’ itu, dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang lahir dari hadis-hadis Nabi saw. Karena, walaupun ulama-ulama fiqih merujuk kepada Al-Quran, seringkali pemahamannya dikaitkan dengan hadis-hadis. Dan meskipun fiqih lahir dari hadis, namun pandangan dan pemahaman ulama-ulama hadis terhadap hadis, tidak jarang berbeda dengan pandangan ulama fiqih atau ‘ushul.
Ulama hadis misalnya, – karena memandang junjungan kita Muhammad saw. sebagai teladan, – mengarahkan perhatian mereka kepada segala apa saja yang berkaitan dengan pribadi agung itu, baik berkaitan dengan hukum atau tidak.
“Bahkan mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang dinisbahkan kepada beliau, baik sebelum maupun sesudah beliau diangkat menjadi nabi, adalah Sunah,” katanya.
(Baca juga: KAJIAN -Bagaimana Jika Ada hadis Bertentangan dengan Al-Qur’an?)
Sementara itu, ulama ushul fiqh membatasi bahasan-bahasan mereka, yang berkenaan dengan Rasul saw., hanya dalam persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah-kaidah hukum. Sedangkan ulama fiqih membatasi pembahasan mereka yang berkaitan dengan Rasul saw.hanya pada masalah-masalah yang berhubungan dengan perincian hukum syariat, yakni apakah ia wajib, Sunah, haram, makruh, atau mubah.
Pemahaman antara para ulama di atas juga berbeda berkaitan dengan suatu teks hadis. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang kontekstual. “Kedua ciri ini sebenarnya telah dikenal bahkan dipraktekkan oleh para sahabat Nabi saw,” katanya
Pria jebolan Al Azhar Mesir ini lalu memberi contoh riwayat. Suatu ketika, Nabi saw. memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan: “La yushaliyanna ahadukum al-ashra illa fi Bani Quraizhah” (Janganlah ada salah seorang di antara kamu yang shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah).
Perjalanan ke perkampungan tersebut ternyata begitu panjang, sehingga sebelum mereka tiba di tempat yang dituju, waktu Ashar telah habis. Di sini, mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi di atas. Ternyata sebagian memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di sana pada waktu masih Ashar.
“Jadi, bukan seperti bunyi teksnya yang melarang shalat Ashar kecuali di sana. Dengan demikian, mereka boleh shalat Ashar walaupun belum tiba di tempat yang dituju.”
Tetapi sebagian yang lain memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu, mereka baru melakukan shalat Ashar setelah waktu Ashar berlalu, karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah (tempat yang ditunjuk oleh teks perintah Nabi) setelah waktu Ashar berlalu.
Memang benar, bahwa para ulama mengenal istilah asbab al-wurud, yakni sebab diucapkan atau diperankannya sebuah hadis — atau dengan kata lain, “konteks sebuah hadis”. Namun, tidak jarang konteks dimaksud tidak diketahui secara pasti, atau kabur bagi sebagian peneliti, sehingga menimbulkan kekeliruan pemahaman.
Sebagian ulama, lanjut pria kelahiran Sulawesi ini, memahami sabda Nabi, “Man akala lahma jazurin falyatawadhdha'” (Siapa yang makan daging unta hendaklah berwudhu), sebagai argumentasi (dalil) batalnya wudhu akibat makan daging unta.
“Pemahaman ini keliru akibat tidak jelasnya konteks ucapan Nabi itu baginya,” katanya. [Bersambung …]
YS/IslamIndonesia
Leave a Reply