Satu Islam Untuk Semua

Monday, 27 January 2014

Indonesia Kehilangan Kiai Sahal


Indonesia berduka,  ulama saleh yang diteladani masyarakat Indonesia harus menghadap Sang Pencipta. Wafatnya ulama adalah hilangnya sebagian ilmu di dunia ini. Dan Indonesia kehilangan salah satunya, KH Sahal Mahfudz, tokoh PBNU yang menjabat sebagai Rais Aam di tubuh organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Menjelang ajalnya, KH Sahal tetap menunjukkan cara seorang seorang Muslim ingat kepada Sang Pencipta. Sakaratul maut baginya seperti kerinduan yang ingin segera dijemput. Mata terpejam, doa terpanjatkan, dzikir, dan surat-surat pendek Alquran terus mengalir dari bibir KH Sahal. Bacaan terdengar berat dari bibir KH Sahal, tetapi jelas dan terang sehingga membuat orang di sekitarnya merinding melihatnya.

Kesaksian ini datang dari dokter H Imron selaku dokter pribadi keluar Kh Sahal. H Imron mendengar lantunan hadlarah (bacaan sebelum tahlil) terucap dari KH Sahal meski tubuhnya terbaring lemah. H. Imron mengakui bahwa bacaan Kh Sahal yang terdengar jelas itulah yang membuat bulu kudu berdiri. Bacaan tidak berhenti sampai akhirnya KH. Sahal bertemu Sang Ilahi pada Jumat dini hari (24/1).

KH Sahal pun menghadap Kuasa dengan meninggalkan banyak teladan dalam kehidupan, terutama bagi keorganisasian yang menanunginya. Almarhum memberikan teladan yang cukup gamblang tentang arti konsistensi dalam berorganisasi.   

Dalam hayatnya sepanjang menjabat Rais Aam PBNU, almarhum selalu menegaskan pentingnya politik tingkat tinggi bagi NU dengan makna yang diyakini dan dipegang teguh hingga akhir hayatnya. Kh sahal menganggap bahwa Nu adalah entitas social-politik yang tidak bisa lepas dari tarik menarik kepentingan politik. Dan pesan dari beliau adalah Nu mampu mengelola situasi tarik-mnarik tersebut dengan baik dan santun.

Pada pidato terakhir almarhum dalam pembukaan rapat plemo PBNU di Wonosobo, beliau menyebut kesantunan berpolitik NU dengan istilah “high politic”. Beliau menekankan politik tingkat tinggi agar NU memosisikan diri sebagai penyelamat masyarakat. NU dalam harapannya, mampu menjadi panutan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, sumbangan besar dari Kiai Sahal adalah konstruksi ulang fikih. Dengan nalar dan kecerdasannya, Kiai Sahal melahirkan istilah fikih sosial. Fikih ini dilahirkan untuk menjadi sebuah ijtihad dalam melihat realita sosial tanpa menghilangkan substansi tekstual dari Alquran dan hadis.

 

Rekam Jejak

Kiai Sahal terlahir dengan nama Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd Salam Alhajaini dari pasangan Kiai Mahfudz bin Abd Salam Alhafidz dan Hj Badi’ah. Ia lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937. Kyai Sahal merupakan anak ketiga dari enam bersaudara.

Ia sudah hidup di pesantren, dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan mengabdi di pesantren. Pada tahun 1968 Kyai Sahal menikah dengan Hj Nafisah binti KH Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang dan memiliki putra bernama Abdul Ghofar Rozin.

Dedikasinya kepada pesantren, masyarakat, dan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Ia menguatkan tradisi dengan ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih ditambah keserasian dengan akhlak yang diajarkan dari ulama tradisional. Dalam istilah pesantren semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).

Minat baca Kiai Sahal sangat tinggi. Terbukti beliau punya koleksi 1.800 buku di rumahnya. Meskipun orang pesantren,  bacaannya cukup beragam seperti tentang psikologi hingga novel detektif. Alhasil, belum genap berusia 40 tahun dirinya telah menunjukkan kepintarannya dalam bidang fiqih. Dan pada berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya. 

Kiai Sahal adalah pemimpin Pesantren Maslakul Huda Putra sejak tahun 1963. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai pemimpin pesantren, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU. Sikapnya yang menonjol ialah mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.

Ia pun pernah bergabung dengan sejumlah institusi salah satunya yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu menjadi anggota BPPN3 selama dua periode dari tahun 1993-2003.

Ia juga pernah dianugerahi gelar Doktor Kehormatan Honoris Causa dalam bidang pengembangan ilmu fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam organisasi Kiai Sahal pernah menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010. Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30 juta orang itu. 

KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005. Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang sekarang masih diemban oleh beliau adalah sebagai Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah (1989-sekarang) dan pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (1963 – Sekarang).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *