Satu Islam Untuk Semua

Monday, 12 May 2014

Horor di Takokak (4): Mereka yang Terlupakan


foto:hendijo

“ …Kami cuma tulang-tulang berserakan…Tapi adalah kepunyaanmu…” (Chairil Anwar, Pujangga Angkatan 45)


TUJUHPULUH satu nisan putih berbaris rapi di atas tanah tinggi yang banyak ditumbuhi pohon rasamala. Tidak seperti di pekuburan kebanyakan, nisan-nisan putih itu sama sekali tak memiliki nama. Polos begitu saja.

Inilah makam para korban kejahatan perang tentara Belanda di Takokak. Sejatinya mereka terserak begitu saja di hutan-hutan, rimbunan pohon teh dan jurang-jurang curam. Namun atas insiatif para veteran Siliwangi setempat dan kebaikan hati para penduduk Takokak, pada 1985 kerangka-kerangka manusia tak dikenal itu lantas dipindahkan dari berbagai tempat ke sebuah lahan milik Dinas Kehutanan di Desa Pasawahan. Orang-orang Takokak menyebutnya sebagai Taman Makam Pahlawan Cigunung Tugu. Nama terakhir itu tentunya mengacu kepada sebuah tugu putih dengan ujung bintang yang berposisi persis di depan jalan menuju makam tersebut.

Hingga kini, makam-makam bersejarah itu belum mendapatkan perhatian yang penuh dari pemerintah setempat. Alih-alih perhatian, sekadar kunjungan pun, jarang sekali dilakukan oleh aparat.

Menurut Akri, salah seorang polisi hutan yang kerap nongkrong di pos dekat Taman Makam Pahlawan itu, sekitar sepuluh tahun lalu para veteran pejuang 45 setempat masih sering mendatangi tempat tersebut. “Setidaknya tiap memperingati HUT RI dan HUT Divisi Siliwangi para sesepuh itu selalu datang sekadar untuk berziarah dan membersihkan makam-makam tersebut,” ujarnya.

Namun seiring waktu, para veteran pun lambat laun mulai tak pernah lagi ke sana. Selain sebagian sudah meninggal, beberapa yang masih hidup pun sudah mulai sakit-sakitan. Jadilah Taman Makam Pahlawan Cigunung Tugu kembali berteman dengan serakan dedaunan pohon rasamala yang gugur ke bumi selama bertahun-tahun.

“Ya kalau sampah daun sudah menumpuk, sesekali saya dan kawan-kawan dari Dinas Kehutanan-lah yang membersihkan makam-makam itu,” kata Akri.

Hingga kini, tak ada angka pasti mengenai jumlah korban kegilaan militer Belanda di Takokak tersebut. Jumlah kerangka yang tujuhpuluh satu itu sesungguhnya baru sebagian yang ditemukan. Sebagian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cianjur dan sebagian lagi bisa jadi masih bersatu dengan hutan-hutan dan jurang-jurang serta ladang-ladang di Takokak.

Ketika terlibat dalam pemindahan kerangka-kerangka yang ditemukan di Pasirtulang pada 1985, Ukun (64) menyebut jika penggalian diteruskan sampai tuntas, ia yakin jumlah kerangka-kerangka tersebut akan mencapai angka ratusan.

“Makanya sebagai ciri bahwa di sini kemungkinan masih tertanam tulang belulang para pahlawan yang ditembak Belanda itu, penduduk desa sengaja membuat tanda-tanda ini,” ujar Ukun sambil menunjuk sebuah pohon kemuning dan seonggok batu sebesar kepala kerbau di ladang Pasirtulang.  

Orang-orang tua di Takokak seperti Andin dan Kholid sendiri tidak pernah percaya jika jumlah mereka yang dibantai tentara Belanda puluhan tahun lalu itu jumlahnya hanya puluhan. Yusup Supardi malah menyebut setidaknya jumlah keseluruhan korban bisa berkisar pada angka 200-an.

Tapi apalah artinya angka-angka tersebut dibandingkan pengorbanan keringat, darah bahkan nyawa para pejuang itu, sementara anak cucunya kini, alih-alih menghargai jasa mereka, sekadar mengingat pun lalai?

Bertanya tentang itu, tiba-tiba saya jadi teringat sebait puisi dari pujangga 45 Chairil Anwar: “ …Kami cuma tulang-tulang berserakan…Tapi adalah kepunyaanmu…Kaulah lagi, yang menentukan nilai-nilai tulang yang berserakan itu…Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, harapan atau tidak untuk apa-apa?…Kami tidak tahu…Kami Tidak lagi bisa berkata…Kaulah sekarang yang berkata! …


Sumber: Islam Indonesia (dalam judul berbeda pernah dimuat di surat kabar Pikiran Rakyat, 28 April 2014 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *