Satu Islam Untuk Semua

Monday, 10 February 2014

Harun al Rasyid dan Harga Seteguk Air


www.cleanwateraction.org

“…. berapa yang rela engkau bayarkan untuk seteguk air itu?”

 

Suatu ketika Syaqiq al Balkhi tiba di Baghdad dalam perjalanannya menuju Makkah untuk berhaji. Tiba-tiba datanglah sekelompok utusan menemuinya dan memintanya untuk segera menghadap Harun al Rasyid.

Syaqiq yang kala itu tahu bahwa yang memintanya adalah raja, akhirnya menurut.

“Apakah engkau yang bernama Syaqiq, sang wali itu?” Tanya Harun ketika Syaqiq menghadapnya di istana.

“Benar, nama saya Syaqiq,” jawab Syaqiq, “tapi aku bukanlah wali.”

“Beri aku nasihat,” pinta sang raja tanpa basa basi.

Syaqiq diam sejenak, lalu berkata, “Engkau adalah sungai, sedangkan para pembantumu adalah anak sungai. Jika sebuah sungai jernih, maka ia tak akan terkeruhkan oleh anak sungainya. Namun bila sebuah sungai kotor, apa yang dapat diharapkan dari anak sungainya?”

“Lagi… ,” Harun memohon.

Syaqiq melanjutkan, “Misalkan engkau kehausan di tengah padang pasir hingga engkau hampir mati, lalu datanglah seseorang dengan membawa air, berapa yang rela engkau bayarkan untuk seteguk air itu?”

“Berapa pun yang diminta orang itu, pasti aku bayar,” jawab sang Raja.

“Jika orang itu meminta separo kerajaanmu, atau bahkan seluruh singgasana istanamu?” tanya Syaqiq.

“Aku akan berikan, demi nyawaku,” jawab Harun mantap.

Syaqiq bertanya lagi, “Misalkan air yang engkau minum itu tidak mau keluar dari tubuhmu, membuatmu sakit hingga hampir mati, lalu datanglah seseorang yang mengatakan, ‘Aku mampu menyembuhkanmu, asalkan dengan imbalan tahtamu’, apa yang akan kau lakukan?”

“Tentu aku akan memberikannya, demi nyawaku,” jawab Harun.

“Lalu, untuk apa kau menyombongkan kerajaan dan tahtamu, yang nilainya tak lebih dari sekadar tegukan air yang kau minum?” tukas Syaqiq, “untuk apa kau banggakan sesuatu hal yang akhirnya akan kau keluarkan juga dari tubuhmu?” lanjutnya.

Harun pun menangis tersedu, dan kemudian melepas kepergian Syaqiq dengan penuh penghormatan.

—–

Konon, kisah ini merupakan anekdot dari seorang sufi yang mendapat julukan sebagai Hatim Si Tuli—yang juga merupakan murid Syaqiq.

Syaqiq al Balkhi memiliki nama lengkap Abu ‘Ali Syaqiq ibnu Ibrahim al Azni al Balkhi. Konon, ia ahli di berbagai ilmu pengetahun dan banyak menulis buku. Namanya mulai muncul di tengah-tengah kalangan sufi, ketika ia—yang kala itu berprofesi sebagai saudagar kaya raya nan pandai itu menghijrahkan hidupnya pada dunia tasawwuf.

Ia pun kemudian belajar dari banyak guru sufi, salah satunya adalah Ibrahim ibnu Adham.

Dalam kisah ini, selain tentang kesombongan, Syaqiq memberikan nasihat lainnya yang diibaratkan sungai. Dalam kalangan tasawwuf, sungai atau telaga kerap dijadikan ilustrasi tentang bersih dan kotornya hati seseorang. Telaga yang menampung air kotor dan keruh tidak lain berasal dari sungai-sungai indra manusia.

Jika yang diterima itu bersih, maka yang dialirkan sungai pun ikut bersih. Sehingga, para kaum sufi mewajibkan dirinya untuk menjaga indra kecuali untuk sesuatu yang sangat dibutuhkan saja. 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *