Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 09 January 2014

Harapan dalam Sepotong Dongeng


foto:hendijo

Kisah seorang perempuan yang menyimpan asa kepada anak-anak Indonesia lewat cerita-cerita yang disampaikannya.

 

Perempuan 66 tahun itu bercerita penuh semangat. Satu tangannya memegang buku bersampul biru, satu tangannya yang lain bergerak kian kemari. Mimiknya berubah-ubah: kadang sedih, kadang gembira bahkan kadang terlihat lucu.”Saat bertemu sebuah bukit besaaaarrrr, si anak kucing pun bertanya: Hai Bukit maukah kamu menjadi ibuku, terus dia mengeluarkan suara…?”

Disodori pertanyaan tiba-tiba tersebut,  gadis kecil yang duduk di atas ranjang besi itu tersenyum. Bola matanya yang dihiasi bulu-bulu lentik bersinar. Lantas, tangan kanannya yang dipenuhi selang-selang inpus meraih salah satu buku cerita yang berserak di sekitarnya. Sambil tertunduk malu-malu, ia pun menggumam:”Meoooonggg…”

“Pinterrrr, siapa tadi nama kamu, Nak,”tanya perempuan itu sembari mengusap lembut rambut si kecil.

“Lusi.”

“Lusi, Ibu akan lanjutkan ya, kamu suka mendengar cerita ini?”

Lusi mengangguk.Dan beberapa saat kemudian penghuni cilik Kamar 112 Gedung A Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta itu pun sudah larut dalam alur cerita “Anak Kucing yang Manja”. Lantas siapakah sang pendongeng yang bisa membuat gadis cilik pengidap kanker darah itu tersenyum?

Dialah Murti Bunanta, doktor sastra anak sekaligus seorang ibu yang merasa resah dengan semakin terpinggirkannya cerita-cerita anak bermutu di kalangan masyarakat kita.”Terutama dongeng-dongeng  rakyat yang mengandung pesan-pesan moral untuk anak-anak, ”ujar salah satu dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.

Kegelisahan Murti juga tertuju kepada sebagian besar anak-anak Indonesia yang lebih suka menonton televisi dibanding membaca buku.  Katanya, mereka laksana pelanduk yang hampir mati di tengah pertarungan berbagai program televisi yang tidak mendidik. “Memang ada sebagian program televisi yang mendidik, tapi itu hanya bisa didapat dari program berbayar. Tentunya tidak semua rumah punya itu kan,” ungkapnya.

Kalaupun hadir bacaan untuk anak-anak, tapi lagi-lagi menurut Murti itu sangat jauh dari dunia sehari-hari anak-anak Indonesia. Sebut saja cerita Sinchan misalnya, ”Kita tak bisa pungkiri, isinya adalah hal-hal yang berkaitan dengan dunia orang dewasa, bukan untuk anak-anak,”ujarnya.

 

Mendirikan KPBA

Tahun 1987, Murti bersama Suyadi alias Pak Raden, kartunis G.M. Sudarta dan pengarang cerita anak Djoko Lelono mendirikan Kelompok Pecinta Bacaan Anak (KPBA). Tujuan utama didirikannya organisasi yang berada di bawah naungan Yayasan Murti Bunanta tersebut adalah untuk mengenalkan anak-anak kepada budaya sendiri.

“Kita tidak pernah akan selesai kalau bicara terus soal pendidikan karakter, tapi nihil dalam perbuatan,” ujar doktor sastra anak dari Universitas Indonesia itu.

Sejak itulah, KPBA melakukan kerja-kerja marathon. Mulai dari membuat latihan penulisan novel untuk remaja, membuat perpustakaan motor, melatih cara mendongeng, mendongeng dari satu tempat ke tempat lain hingga membuat kegiatan Festival Bercerita.Lantas dari mana datangnya dana dan tenaga pelaksana dari seluruh program KPBA itu?

”Untuk dana sebagian besar tentu saja dari keluarga Bunanta.  Sedangkan untuk aktivitas, KPBA digerakan oleh para sukarelawan kami yang hingga kini berjumlah 40-an. Mereka terdiri dari para profesional hingga para eksekutif yang perduli kepada perkembangan dunia anak,”kata Ketua KPBA tersebut.

Bersama KPBA, selain menulis cerita anak-anak Murti juga merintis upaya pengumpulan kembali dongeng-dongeng rakyat (folklore). Dengan sabar dan telaten, dikumpulkannya ”sepihan-serpihan” dongeng itu. Mulai dari mengingat kembali cerita-cerita sang ibu di waktu kecil hingga mendapatnya dari beberapa kawan.

Hasilnya, sekitar 40-an dongeng asli Indonesia lahir dari tangannya. Diantaranya adalah Sewidak Loro, Putri Kemang, Udang Bengkok, Pohon Beringin, Si Bungsu Katak, serta Kura-Kura dan Kancil. Dari sekian dongeng-dongeng itu, 29 diantaranya Murti terjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Tahun 2003, 29 dongeng dari 22 provinsi tersebut diterbitkan di Amerika Serikat dengan kemasan yang sangat mewah untuk ukuran Indonesia. Judul buku tersebut adalahIndonesian Folktales .”Berisi dongeng-dongeng  yang saya pilih sendiri secara khusus, terdiri dari cerita-cerita rakyat yang memiliki corak kuat dari budaya Indonesia,”katanya.

Tidak puas hanya dengan membuat bukunya, Murti juga membuat boneka-boneka sebagai alat peraga untuk mendongeng. ”Supaya lebih menarik dan lebih komunikatif dengan anak-anak,”kata penulis yang pernah meraih penghargaan The Janusz Korczak International Literary Prize dari pemerintah Polandia untuk salah satu buku dongengnya, Si Bungsu Katak.

 

Mendongeng untuk Anak Indonesia

Murti sangat meyakini anak Indonesia akan menjadi pelaku kebudayaan yang aktiv jika diberikan kesempatan untuk berekspresi. Masalahnya, menurut perempuan kelahiran Semarang ini, para orangtua dan pemerintah Indonesia kurang memberi jalan untuk menuju ke arah sana. Kalaupun pernah ada diselenggarakan sejenis festival anak, namun itupun hanya berlangsung musiman dan berorientasi bisnis semata.

 “Pengenalan budaya kepada anak tidak dilakukan secara mendalam dan seadanya saja,”ujar perempuan yang kerap diundang sebagai pembicara ke berbagai negara di dunia tersebut.

Itu berbeda dengan yang dilakukan pemerintah negara-negara seperti Amerika Serikat dan Thailand, yang secara serius  berupaya mengenalkan budaya sendiri sejak dini. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengenalkan kembali dongeng-dongeng rakyat kepada anak-anak.

Di Indonesia, KPBA coba merintis upaya tersebut. Tanpa mengenal lelah, selama 25 tahun, Murti dan kawan-kawan mengenalkan kembali dongeng-dongeng rakyat kepada anak-anak Indonesia. Caranya? Tentu saja lewat mendongengkan cerita-cerita rakyat tersebut secara langsung.

Murti  dan para sukarelawan KPBA tak pernah pilih-pilih tempat untuk mendongeng. Suatu hari, mereka bisa ada di kampung-kampung kumuh, namun di hari lain mereka bisa hadir di bangsal anak-anak milik sebuah rumah sakit pemerintah. “Kami berusaha menjadikan anak-anak tertarik untuk mendengarkan dongeng kami, syukur-syukur langsung mau membaca,”kata perempuan yang selalu membawa tumpukan buku cerita dan permen beraneka warna jika sedang “beroperasi” itu.

“Selalu jika selesai, kami memberikan buku-buku cerita itu secara cuma-cuma,”ujarnya.

Tidak hanya melakukan operasi mendongeng secara keliling, Murti melalui KPBA juga menyelenggarakan festival bercerita. Di setiap festival yang sudah dilaksanakan 9 kali ini, anak-anak akan disuguhi cerita-cerita anak dari berbagai tempat di Indonesia,”Bulan Juli tahun ini, kami akan menyelenggarakannya di Gedung Bentara Budaya Jakarta selama 4 hari berturut-turut,”ujar Mila Efendi, salah seorang sukarelawan KPBA.

Perempuan 66 tahun itu masih terus bercerita penuh semangat. Satu tangannya memegang buku bersampul biru, satu tangannya yang lain bergerak kian kemari. Mimiknya berubah-ubah: kadang sedih, kadang gembira bahkan kadang terlihat lucu. Ada sebuah harapan terpancar di wajahnya, ya sebuah harapan besar kepada anak-anak Indonesia.

 

 Sumber: Sumber Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *