Satu Islam Untuk Semua

Friday, 11 April 2014

Doktor di Ladang Sayur


foto:greater-cina.basf.com

Sebuah riset dilakukan oleh Nuri Andarwulan selama 2 tahun.Hasilnya? Sebelas jenis sayuran lokal dinyatakan mengandung unsur penangkal racun. 

 

HUJAN deras baru saja turun di kawasan Darmaga, Bogor. Jejaknya menyisakan hawa dingin dan ribuan kristal air di dahan-dahan pepohonan. Suara burung-burung kecil ramai bersahutan, seolah duta alam yang tengah gembira menyambut datangnya senja. 

Di satu sudut komplek kampus IPB, terhampar tanah seluas kira-kira 1000 meter persegi. Sebuah saung besar berdiri kokoh di atasnya, terkepung rapat berbagai jenis sayuran asli bumi Pasundan. Ada tanaman katuk (Sauropus androgynus), kenikir (Cosmos caudatus H.B.K), kemangi (Ocimum sanctum Linn), kedondong cina (Polyscias pinnata), antanan (Cantella asiatica), beluntas (Pluchea indica Less), mangkokan (Nothopanax scutellarium), kecombrang (Nicolaia speciosa Horan), pohpohan (Pilea trinervia), daun gingseng (Talinum paniculatum) dan krokot (Portulaca oleracea). 

Kesebelas jenis tanaman tersebut masuk dalam kategori sayuran indigenous. Itu merupakan sayuran lokal yang sudah lama dikonsumsi oleh masyarakat tertentu di Indonesia. Dan sayuran indegenous itulah yang merupakan bagian utama dari proyek penelitian SEAFAST IPB (South East Asia Food and Agriculture Science Technology Institut Pertanian Bogor) yang dipimpin oleh Nuri Andarwulan. 

“Saya meneliti dibantu oleh beberapa rekan saya yakni Ratna Batari, Diny Agustini Sandrasari dan Prof.Hanny Wijaya,”ujar perempuan kelahiran Blitar setengah abad yang lalu itu 

Dua tahun Nuri dan timnya menjalankan proses penelitian. Hasil temuan mereka menyimpulkan bahwa kesebelas jenis tanaman tersebut ternyata mengandung senyawa antioksidan. Itu adalah sejenis senyawa yang dapat mengurangi akumulasi produk radikal bebas, menetralisir racun, mencegah inflamasi dan sekaligus melindungi penyakit genetik. 

”Bahkan khusus untuk antanan, kami menemukan bahwa jenis tanaman ini terkait erat dengan kecerdasan karena memiliki fungsi sebagai stimulator kerja otak,”ungkap doktor ilmu pangan dari IPB tersebut. 

Tapi yang jelas, kata Nuri, unsur yang terkandung dalam kesebelas jenis sayuran tersebut memiliki manfaat untuk membugarkan tubuh. Padahal kalau dilihat asalnya, unsur-unsur itu bukan termasuk dalam kelompok vitamin atau senyawa gizi. “Tapi menariknya jenis unsur-unsur tersebut bisa diserap oleh usus halus dan ikut dalam metabolisme tubuh sehingga bisa berperan sebagai antioksidan.” 

Ketertarikan Nuri meneliti antioksidan, sesungguhnya sudah berlangsung lama. Itu dibuktikan dengan kekonsistenannya mendalami soal tersebut sejak ia menjadi mahasiswa di Fakultas Teknologi Pangan IPB pada 1982-1986. “Begitu lulus S1, saya berpikir kok jarang mahasiswa atau peneliti kita mengambil spesialisasi ini. Ya sudah saya ambil terus sampai jenjang doktoral,” kenangnya 

Lantas mengapa ia mengambil sayuran lokal sebagai basis penelitiannya? Ternyata itu berhubungan dengan kebiasaan makan keluarga besarnya dulu di kawasan Muntilan, Magelang. Hampir setiap hari keluarga besar Nuri mulai nenek hingga ayah dan ibunya tidak terlepas dari menu daun-daunan seperti kenikir, kemangi dan mangkokan. 

“Saya menikmati sekali kalau ibu atau nenek mengolah sayuran-sayuran itu menjadi pecel atau urap,”kenang Nuri. 

Kebiasaan menyantap sayuran lokal itu dibawanya hingga dewasa.Bahkan saat sudah berumah tangga, alih-alih berhenti, Nuri malah menularkan hobi itu kepada sang suami. “Karena saya sangat paham manfaatnya, saya “paksa” suami saya untuk makan sayur-sayuran. Sekarang kami jadi memiliki kesamaan selera”kata istri dari Bambang Megabudi sembari tertawa. 

Hanya kepada dua putrinya, Nuri mengalami sedikit hambatan dalam menularkan hobinya tersebut. Laiknya anak muda zaman sekarang, putri-putrinya malah lebih menyukai fast food dibanding sayur-sayuran lokal tersebut.”Ini salah saya juga sebagai orang tua, yang kadang karena kesibukan terpaksa menoleransi makanan cepat saji.” 

Padahal menurut Nuri, rata-rata makanan cepat saji nyaris miskin vitamin dan gizi. Jenis makanan tersebut hanya menimbulkan berbagai macam masalah seperti penyakit jantung koroner dan obesitas.”Untungnya anak-anak saya masih mau makan buah,”ujarnya. 

Lantas apa yang diharapkan Nuri setelah ia memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat terkait dengan manfaat kesebelas jenis sayuran itu? Ia berharap pemerintah bisa merespon hasil riset ini dengan memberi dukungan kepada masyarakat dalam upaya pengembangan kesebelas jenis sayuran asli Indonesia tersebut. 

Harus diakui, menurut Nuri, pemerintah kurang melirik segmen ini. Alih-alih mendukung pengembangannya,untuk membiayai risetnya pun pemerintah belum bersedia. Padahal dengan hasil penelitian itu ada kemungkinan besar kesebelas jenis sayuran itu bisa menjadi komoditas ekspor seperti halnya kailan dari Thailand. 

“Itu memang terkait dengan kebijakan politik,”kata perempuan berjilbab tersebut. 

Namun ada dan tiadanya dukungan dari pemerintah, Nuri dan kawan-kawannya tetap bertekad meneruskan penelitian sayuran indigenous ini.Kini masih ada puluhan tanaman sayuran lokal lainnya yang menunggu diteliti. “Bismillah sajalah,untuk biaya riset ini insyaallah pihak IPB masih mau mendukung,”ujarnya sembari tersenyum. 

Hujan deras baru saja turun di kawasan Darmaga, Bogor. Jejaknya menyisakan hawa dingin dan ribuan kristal air yang tertabur di dahan-dahan pepohonan. Di satu sudut Kampus IPB, seorang perempuan berjilbab tengah berdiri. Mulutnya tak henti mengenalkan satu persatu jenis sayuran lokal yang menghampar dihadapannya.Sementara, senja pun turun perlahan di Darmaga.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *