Di Purwakarta, Ada Hasrat Kembali ke Akar
Sejak jadi Bupati Purwakarta lima tahun silam, Dedi Mulyadi menghabiskan banyak waktunya menggali akar budaya Sunda. Bagi dia, globalisasi dan segala keriuhannya lebih banyak membius budaya lokal ketimbang menghidupkannya.
Tak perlu heran, katanya, bila orang Sunda jadi lupa akar budayanya, jadi kebarat-baratan. Ironis, katanya, sebab semua itu sama sekali bukan tanda kemajuan.
“Memangnya apa sih yang disebut kemajuan itu? Main game? Game dapat merusak sistem saraf. Balapan motor? Itu kemunduran karena itu buat kita harus pakai produk luar, harganya mahal, dan bikin anak-anak malas.”
Berbincang via telp dengan Islam Indonesia belum lama ini, Dedi, masih 43 tahun, ingin orang banyak sesekali nakal dan mempertanyakan kembali klaim-klaim modernisasi. Sebab segala yang dianggap tradisional, kuno dan, sebab itu dihindari, bisa jadi justru awal sebuah kemajuan yang lebih berarti, katanya.
“Penggunaan media sosial yang diagung-agungkan itu bisa jadi justru kemunduran,” katanya.
Toh, kata Dedi, masyarakat Indonesia sudah lama punya memiliki nilai dan ikatan sosial yang kuat. Dan hubungan itu lebih hangat, komunal, sesuatu yang sukar didapatkan orang via pergaulan di media sosial.
Dedi menggambarkan titik tekan pemerintahannya belakangan ini pada penekanan nilai-nilai kesundaan. Bukan tanpa alasan. Dia bilang, pada budaya Sunda terangkum semua unsur kehidupan: tanah, air, udara, dan matahari.
“Tanah Sunda subur dan menghasilkan sistem pertanian yang memadai, airnya menyediakan sistem peternakan yang kuat, udaranya menghasilkan sistem pernafasan yang sehat dan bersih, dan mataharinya memiliki kelembutan untuk dua musim,” katanya bercerita. “Inilah tata nilai yang kesemuanya menghasilkan makanan, pakaian, bahasa, dan estetika yang memiliki nilai-nilai kesundaan yang kuat.”
Dedi bahkan ingin melangkah lebih jauh. Tak sekadar bernostalgia budaya, dia ingin mengembangkan nilai-nilai kehidupan Sunda dalam sistem administrasi pemerintahan, pendidikan, bahkan desain desa.
“Saya ingin semua itu jadi keunggulan masyarakat Purwakarta,” katanya.
Di dunia pendidikan, Dedi giat memperkenalkan budaya Sunda pada kalangan pelajar. Salah satunya via pengembangan sistem pendidikan berbasis peternakan, perikanan, dan pertanian. Dia, misalnya, mengajar siswa gemar menanam dan memanen padi, memelihara aneka ternak. Harapannya, di masa datang peternakan tradisional di Purwakarta bisa berganti menjadi peternakan yang berorientasi pasar seiring hadirnya generasi baru yang lebih peka dan giat bekerja.
Dedi — Kang Dedi begitu dia kerap disapa, juga sedang mencoba nilai kesundaan di kalangan anak-anak Purwakarta. “Saya sedang mendorong anak-anak kembali pada karakter kesundaan,” katanya. “Permainan kuno yang mengandalkan bahan-bahan sederhana di sekitar rumah, sehingga anak-anak tidak perlu mengeluarkan uang banyak beli mainan.”
Muhammad/Islam Indonesia
Leave a Reply