Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 22 January 2014

Desa Wayang, Harapan Baru Pertahankan Tradisi


BBC.CO.UK/pikiran-rakyat.com

Kepuhsari, sebuah desa di Wonogiri, Jawa Tengah ini menjadi sentra kerajinan wayang kulit sejak tiga bulan lalu, dan ramai dikunjungi para wisatawan, termasuk turis dari mancanegara.

Desa yang dapat ditempuh dua jam dari Solo atau Yogyakarta dengan kendaraan ini mayoritas berpenduduk perajin wayang kulit. Di desa yang berjumlah sekitar 6.000 jiwa ini, hampir sebagian besar, di depan rumah mereka ada meja, yang khusus dipersiapkan untuk membuat wayang kulit.

Setiap hari, usai bekerja dan sekolah penduduk di desa tersebut, mulai dari anak usia tujuh tahun sampai usia lanjut, mereka pun melakukan aktivitas rutinannya, yakni menatah atau melubangi wayang kulit.

Konon, sejak satu tahun terakhir, desa ini mulai berdandan untuk menjadikan Kepuhsari sebagai Wayang Village, desa wisata untuk menarik para pengunjung menyaksikan tradisi dan budaya yang sudah berjalan turun temurun ini.

Penggagasnya empat anak muda, Ariel Pradipta, Fiona Ekaristi, Patricia Sanjoto dan Rieke Caroline.

Lebih dari 30 rumah penduduk dijadikan ‘homestay’ atau siap untuk menampung pengunjung yang ingin menginap dan merasakan kehidupan di sentra kerajinan wayang kulit ini. Paket kunjungan yang ditawarkan ke turis pun beragam. Mulai dari satu hari sampai tiga hari.

“Desa Kepuhsari kami pilih karena memiliki nilai historis. Tradisi wayang kulit sudah ada di desa ini lebih seratus tahun lalu,” kata Fiona seperti dikutip dari pikiran-rakyat.com.

“Bukan hanya pembuatan wayang kulit, seni pendalangan juga telah mendarah daging. Bisa dibilang masyarakat desa ini telah akrab dengan kisah wayang beserta maknanya,” tambahnya.

Sujoko – yang bekerja sebagai perangkat desa Kepuhsari – juga mengikuti jejak ayahnya menjadi perajin. “Sudah sejak kecil kami menatah wayang. Putra saya yang berusia tujuh tahun juga sudah mahir. Jadi kalau tidak menatah wayang seperti warga lainnya, rasanya risih,” cerita Sujoko.

“Kami sering kali tidur di atas jam 2 pagi dan pada malam hari, bersama ayah saya, kami habiskan waktu di meja tatah. Tanpa bicara apapun. Hanya menatah,” kata Sujoko.

Dwi Sunaryo, salah satu generasi perajin wayang mengatakan bahwa profesi perajin wayang ini telah berjalan sampai 20 generasi sampai anaknya, Bambang Riyadi.

Bambang Riyadi diundang UNECSO ke Cina November lalu untuk mengikuti pameran kerajinan dan budaya. Ia meraih medali emas dari penyelenggara. “Produksi perajin desa ini digunakan oleh sejumlah dalang terkenal,” ujar Fiona.

Dari sekitar 100 turis yang datang ke Kepuhsari, sekitar setengah di antaranya adalah pengunjung dari mancanegara, sebagian besar dari Eropa, kata Fiona.

“Walaupun potensinya sangat besar, mereka tidak bisa menopang kehidupan dari kerajinan ini, karena penggemar wayang yang terbatas dan juga minat orang yang terus berkurang,” tambahnya.

Menariknya, selain bisa melihat-lihat kerajinan wayang sambil menikmati hidangan khas desa, para pengunjung desa wisata pun diperbolehkan untuk ikut mencoba menatah dan mewarnai wayang.

“Yang jelas, selain untuk menarik turis asing, kami juga ingin mengajak anak-anak muda Indonesia menikmati kekayaan budaya, termasuk wayang,” tutur Fiona.

“Desa wayang ini merupakan proyek pertama kami dan kami berharap akan terbentuk banyak desa lain di seluruh Indonesia yang juga mengangkat berbagai budaya dan tradisi,” tambahnya.

Sumber: BBC/Pikiran-rakyat.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *