Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 27 May 2012

Bukan Perpustakaan, Melainkan “Museum Buku”


OLEH : Adi Wijaya

PADA 17 Mei lalu, ada hari bersejarah terhelat; hari Buku Nasional. Hari yang sebenarnya tak boleh terlupakan. Namun, begitulah, masyarakat abai padanya. Lebih sibuk berkemas, bersiap menikmati libur panjangnya daripada baca buku. Termasuk membaca buku-buku sastra.

Kalaupun ada yang berusaha memperingati dan memaknainya, biasa dalam skala yang kecil-kecil. Ada memang yang cukup besar lagi meriah, yaitu Makassar Membaca Bersama di Trans Studio (16/5/2012). Seribuan orang meramaikannya. Namun, sulit membandingkannya dengan antusias anak negeri meramaikan konser Lady Gaga. 

Dari sini, ada pelajaran berharga yang mampu terpetik. Kepedulian masyarakat Indonesia pada buku masih teramat rendah. Padahal buku adalah jendela dunia. Bila tak berkesempatan berkeliling semesta raya, bukalah buku. Bacalah. Dan, silakan kelanai seluruh penjuru dunia. Bila ingin mempelajari kemajuan peradaban dunia tempo dulu, tak perlu memutar balik waktu. 

Telusuri lembar-lembar buku sejarah. Maka kita akan terbawa, mengembara sejarah masa lalu. Silakan dipilih sesuka hati. Kurun waktu sejarah mana yang hendak ditapaki. Membaca buku, memungkinkan semua itu.
Saat galau datang mendera, buku pun bisa jadi tempat pelarian sejenak. Ada buku bergenre motivasi dan pengembangan diri, yang bisa menghalau galau. Atau buku bernuansa religius, yang bisa menyirami kegersangan sanubari.

Betapa penting kehadiran buku. Sampai-sampai ada kata bijak berpesan, buku adalah gudangnya llmu, juga guru yang tak pernah marah. Kalau begitu membaca adalah kunci untuk membukanya. Kalau tak membaca, maka picik dan sempitlah cakrawala keilmuan. 

Ironisnya, fakta inilah yang sementara membadai di Indonesia. Ada hasil studi dari Vincent Granary. Tahun 1998 dirilis sebuah laporan pendidikan bertajuk, “Education in Indonesia From Crisis to Recovery.” Hasilnya cukup memerahpadamkan wajah bangsa kita. Membuat malu. Ternyata kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar, menduduki posisi terendah dengan nilai 51,7. Bandingkan dengan Filipina (52,6), Thailand (65,1), SIngapura (74,0), dan Hongkong (75,5).

Jangan bermimpi besar untuk menjadi bangsa yang mendunia. Apabila semangat membaca masih di bawah rata-rata. Karena sejarah telah membuktikan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang “gila baca”.  Semua peradaban yang pernah berjaya di dunia, menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya yang wajib ada.

Kita ambil misal peradaban Islam yang tegak pada masa kekhilafahan. Membentangkan peradabannya di dua pertiga wilayah dunia. Dan, mampu bertahan gemilang, selama 14 abad. Meraksasanya peradaban Islam saat itu, tak bisa dilepaskan dari membaca, menulis, buku, dan peran perpustakaan.

Sejak Islam menguasai teknologi pembuatan kertas, dunia literasi berkembang pesat. Jumlah buku yang dicetak pada masa Dinasti Abasyiah sangat melimpah. Ini didukung oleh semangat membaca masyarakat yang sangat tinggi. Orang-orang pun berlomba membeli dan mengoleksi buku. Bagi mereka, buku adalah investasi keilmuan yang tak lekang dimakan waktu. Digambarkan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, sama dengan pencapaian peradaban barat saat ini. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Untuk menyimpan buku-buku itu, maka menjamurlah perpustakaan. Hampir seluruh kota memiliki perpustakaan. Mereka menyebutnya Dar al-Ilm. Kala itu, perpustakaan tak sekadar menjadi tempat penyimpanan risalah. Ia juga sebagai pusat kajian ilmu pengetahun. Perpustakaan pun didirikan dengan desain yang megah dan representatif.

Tentang kemegahan perpustakaan, terekam oleh Al-Muqaddasi, seorang sejarawan Islam. Dalam catatannya ia bertutur, pada masa pemerintahan Adhud ad-Daula didirikan sebuah perpustakaan yang megah. Di Shiraz tempatnya. Perpustakaan itu berdiri di sebuah kompleks yang nyaman. Dikelilingi taman-taman hijau lagi merindang. Ada danau yang teramat asri. Ditambah lagi gemericik air yang menenangkan pikiran. Atapnya ditutupi kubah yang megah. Ada berkisar 360 ruangan disiapkan untuk menyimpan buku berdasarkan kategori. Indah sekali gambaran perpustakaan saat itu.

Bagaimana dengan perpustakaan saat ini? Sungguh berbeda jauh. Sejenak, luangkanlah waktu. Bertandang ke perpustakaan yang katanya gudang ilmu, gudang buku. Di beberapa kampus di Makassar misalnya. Tampakan luarnya memang mungkin indah dan bersahaja. Namun, tunggu dulu, coba selami lebih dalam. Masuk dan seksamai kondisi rak-rak bukunya. Banyak debu yang terselip di antara buku-buku tua. Buku yang sudah melapuk dengan lembaran menguning. Tak pernah disentuh, apalagi dibuka untuk dibaca. Koleksinya pun tak pernah bertambah. Selalu itu-itu saja. Para pemburu ilmu pun sering menggerutu; kecewa. Referensi yang hendak dicari, ternyata tak kunjung ditemui. 

Pengunjungnya pun bisa dihitung jari. Kalaupun ada yang datang, biasanya karena kepepet. Jarang ada yang memang meluangkan waktu, khusus untuk membaca, memburu ilmu, sehingga perpustakaan lebih mirip sebagai sebuah museum tua. Ia memberikan aura angker, dengan beberapa jejaring laba-laba menggantung di langit-langitnya. Buku-buku layaknya benda pusaka yang telah termakan usia.

Jadi, momentum hari buku bulan ini, jadikanlah titik mula menumbuhkan semangat membaca. Syukur-syukur bila kelak mampu bermetamorfosis menjadi semangat menulis. Yang terpenting, harus ada “Political Will” dari pemerintah. Membuat regulasi yang mampu melahirkan beragam karya buku yang berkualitas. Termasuk buku-buku sastra. Jangan pula lupa menghargai karya dan kesejahteraan penulisnya, sembari memperhatikan kondisi gudang ilmu; perpustakaan yang sekarang lebih serupa dengan museum buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *