Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 02 November 2014

Bibit-Bibit ISIS di Sekitar Kita (Bagian Terakhir)


Habib Ali Al-Jifri

Sebelum para pendukung pencerahan, pembebasan dan perubahan regional memperdebatkan klaim-klaim di atas, mari kita perjelas dulu. Di setiap masyarakat ada kesamaan paham bahwa kebebasan berekspresi tunduk pada serangkaian hukum dan batasan yang mengatur garis tipis antara prinsip kemudaratan—bahwa “tindakan seseorang harus dibatasi untuk mencegah kerugian bagi orang lain “— dan apa yang dianggap sebagai pelanggaran hukum.

Tapi dalam pelaksanaannya  orang bisa berbeda. Ada yang diatur oleh prinsip-prinsip hukum, ada yang diatur dengan prinsip-prinsip agama dan sisanya diatur oleh aturan tak tertulis yang umumnya ditafsirkan sebagai commom sense, akal sehat. Semua ini berarti bahwa setiap pembicara harus menyadari bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka katakan. Pernyataan bahwa ada masyarakat yang memiliki kebebasan mutlak dalam berekspresi adalah pernyataan yang naif. Kita harus sudah melampaui (kenaifan) itu dan berusaha untuk membangun masyarakat yang tunduk pada prinsip-prinsip tersebut di atas.

Ada sesuatu yang lebih pelik ketimbang pelbagai masalah terkait lembaga pendidikan, masjid dan media kita. Soalnya adalah: banyak dari kita memiliki mentalitas mirip ISIS.

Ada banyak kaum laki-laki, misalnya, yang terlalu keras dan kasar dalam hubungan mereka dengan istri dan anak-anak mereka. Termasuk juga orang-orang keranjingan mengendalikan (rumah tangga atau lingkungan) sehingga tidak mentolerir diskusi di rumah atau bahkan sekedar meninjau kembali keputusan-keputusan mereka, karena mereka berpikir itu merupakan penyimpangan dan pengingkaran atas hak patriarkal.

Mereka bahkan mungkin mengutip teks suci sebagai bukti untuk menegaskan hak-hak mereka sembari mengabaikan bahwa orang lain juga punya hak terhadap mereka. Mereka juga bisa sama-sama keras dan dominan dalam interaksi mereka dengan karyawan mereka atau bawahan, bahkan jika orang-orang yang bekerja untuk mereka adalah sopir atau pembantu rumah tangga.

Ideologi memalukan dan jahat ISIS adalah konsekuensi alami dari faktor-faktor itu. Jika kita tidak memiliki strategi yang berani dan menyeluruh untuk memperbaiki penyakit ini, maka seribu organisasi serupa lainnya akan muncul setelah kehancuran ISIS.

Opsi militer harus digunakan seperti pisau dokter bedah—dilakukan bersamaan dengan program penyembuhan yang komprehensif. Jika tidak, perang melawan ISIS hanya akan menjadikan ideologi yang sama kembali merekah—termasuk memperkuat keterikatan sebagian pemuda terhadap ideologi tersebut. Dan tindakan penyembuhan ini harus mencakup sisi spiritual, intelektual, dan moral.

Melawan mereka yang telah mengangkat senjata tidak boleh dikutuk. Bahkan, tindakan perlawanan itu bisa jadi wajib ketika situasi kritis. Namun, harus ada visi yang komprehensif untuk menangani ISIS beserta ideologi dan pemikiran yang mewakilinya.

Ulama, pemimpin keagamaan, intelektual dan media harus bekerja sama untuk menemukan solusi yang masuk akal. Pemerintah harus melakukan tugas mereka mengembangkan pikiran dan jiwa pemuda.

Mereka harus menyadari bahwa pelatihan kejuruan dan menciptakan lapangan kerja, meskipun penting, tidak cukup untuk memecahkan masalah — seperti yang sudah terbukti saat ini. Terlalu sering kita melihat upaya melawan ekstremisme yang keras hanya sebatas operasi ‘pedaman api’, didasarkan pada reaksi spontan atas kejadian sehari-hari.

Kini, waktunya telah tiba untuk mendapatkan solusi jangka panjang terhadap masalah-masalah bersama kita. ***

* Habib Ali Al-Jifri adalah ulama pendiri Tabah Foundation, sebuah institute penelitian di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Saduran ini merujuk pada opini Al-Jifri, “Defeating ISIL’s appeal starts long before youth hear the call of jihad”, yang diterbitkan pertama kali The National, koran berbahasa Inggris di Abu Dhabi, pada 18 Oktober 2014.

(MK/The National)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *