Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 22 April 2014

Beragama dengan Rasa Marah


foto:muslimvillage.com

 “…I believe that Muslims have the same right to practice their religion as anyone else in this country.” (Barack Obama)

 

SAYA ingat orang-orang yang berkumpul di sekitar Ground Zero, New York beberapa waktu lalu. Mereka yang yang mengaku berasal dari sebuah masyarakat demokratis terbesar di dunia itu tiba-tiba berubah menjadi para tiran: menolak pembangunan sebuah masjid.

 “Rencana itu akan sangat melukai hati keluarga 3000 korban WTC 9/11,” kata Peter King, seorang senator diNew Yorkkepada pers beberapa waktu yang lalu. Benarkah?

Saya tidak percaya dengan logika yang dibangun di belakang pernyataan King tersebut. Bagi saya, pernyataan itu perlu “dikasihani” karena mengandung sisi kekuperan dari seorang Amerika yang katanya berpikiran modern. Bagaimana bisa sebuah entitas peradaban besar seperti Islam dipaksa harus “bertanggungjawab”  karena tindak laku sembrono “serombongan petualang” yang mengatas-namakan kesucian Islam?

King seharusnya mafhum para petualang politik memang selalu ada dalam setiap peradaban besar. Jika orang-orang Barat  mengenal Al Qaida sebagai monster yang menakutkan, maka orang-orang Palestina mengenal Gush Emunim (kelompok fundamentalis Yahudi) sebagai “para jagal yang paling sadis” untuk orang-orang Islam Palestina. Persis seperti orang-orang Islam India mengenal Shiv Sena (kelompok fundamentalis Hindu). Lalu apa yang salah dengan ajaran agama? Tidak ada.Berbicara soal agama dalam nada penuh kebencian adalah murni soal politik, yang terkenal seringkali kotor itu.

Praktek-praktek politik kotor yang seringkali mengerikan itu disebut John Naisbit dan Patricia Aburden sebagai fundamentalisme.Itu suatu ekspresi kultus keagamaan yang berakar pada alienasi dan dislokasi sosial di tengah arus modernisasi. “Fundamentalisme merupakan suatu gerakan emosional reaksioner yang berkembang dalam budaya-budaya yang sedang mengalami krisis sosial dan bersifat otoriter, tidak toleran dan bersemangat memaksa,” tulis Naisbit dan Aburden dalam Megatrend 2000.

Ada rasa marah dalam gayaberagama seperti ini, selain sikap literalis, simbolis formalistik dan retrogresif dalam memaknai ajaran-ajaran agama. Semua merupakan jenis orientasi keagamaan yang disebut Erich Fromm sebagai ciri–ciri bentuk beragama otoritarian (authoritarian religion). “Biasanya gaya beragama seperti ini akan bermuara kepada gejala sosial-psikologis  yang disebut sebagai gejala ”lari dari kebebasan”,”tulis Fromm dalam Escape from Freedom

Andaikan Anda menganggap saya terlalu “sekuler” karena terlalu banyak mengutip kata-kata orang-orang cerdas dari Barat, baiklah saya ingin menukil pendapat Dr. Yusuf Qadharawi, seorang pemikir Islam dari kalangan Ikhwanul Muslimin. Ketika menafsirkan Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 143, ulama Islam asal Qataritu menyatakan sikap ekstrim atau fundamentalis sebagai sikap ghuluw (berlebihan), tanatthu’  (arogan secara intelektual) dan tasydid  (mempersulit). “Semua sikap itu tentunya ini sangat dikecam dalam Islam,”tulis Qadharawi dalam Islam Ekstrim. Di Sorbone, seorang pemikir Islam sekelas Mohammad Arkoun bahkan menyebut fundamentalisme adalah perubah puisi Islam dari sesuatu yang ekspresif menjadi sebuah ideologi yang formalistik serta elitis.

Di Islam, Amerika Serikat dan negara-negara Barat menjadi salah satu penanggung-jawab terjadinya gejala fundamentalisme. Semua pihak sangat mafhum, dalam berbagai kebijaksanaan politik luar negrinya, Amerika Serikat selalu menerapkan metode standard ganda. Meskipun sering menekankan  bahwa demokrasi sebagai jalan yang terbaik  bagi seluruh umat manusia di dunia, namun jika demokrasi  tersebut ternyata  menghasilkan “pemihakan” kepada  gerakan-gerakan  Islam maka Amerika cs dengan segala cara dan bermacam dalih pasti akan “memotongnya”. Masih ingat bagaimana mereka  pernah “merampok” secara kasar  kemenangan FIS di Aljazair dan Partai Refah di Turki?

Judith Miller –wartawan senior The New York Times –memiliki alasan tersendiri dengan semua tindakan itu. Ia menyatakan bahwa apa yang dilakukan Amerika dan Barat terhadap gerakan – gerakan  Islam itu adalah sebagai suatu bentuk tindakan antisipatif. “Kita patut curiga bahwa wacana demokrasi bagi gerakan Islam tak lebih hanya merupakan bagian dari strategi antara guna mengamankan jalur menuju tercapainya perjuangan negara Islam yang justru anti demokrasi dan anti pluralisme,” kata Miller dalam Foreign Affair,1993.

Terus terang saya gagal memahami alasan Miller tersebut. Bagi saya, jika demokrasi adalah jalan yang terbaik bagi seluruh umat manusia hari ini, maka ia harus dilaksanakan secara adil, konsisiten dan sejujur-jujurnya. Mengapa? Karena semangat demokrasi memutlakkan semua manusia memiliki hak.Termasuk hak membangun masjid, gereja, vihara, pura, sinagog  atau sekadar menentukan jalan hidup masing-masing. 

 

*) Jurnalis Islam Indonesia

 

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *